JAKARTA (Suara Karya): DPR menyatakan pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu putaran, meskipun dapat dikategorikan sebagai pilihan kebijakan pembuat UU, namun hal tersebut dikaitkan persyaratan hakim konstitusi sebagaiman dimaksud Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Pemilihan Ketua MK Satu Putaran Sesuai Konstitusi
- Detail
- Kategori: Berita
- Ditulis oleh admins
- Dilihat: 3219
	
Jumat, 16 September 2011 
JAKARTA (Suara Karya): DPR menyatakan pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu putaran, meskipun dapat dikategorikan sebagai pilihan kebijakan pembuat UU, namun hal tersebut dikaitkan persyaratan hakim konstitusi sebagaiman dimaksud Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. "Pilihan itu memiliki latar belakang alasan yang kuat dikaitkan dengan  persyaratan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat  (5) UUD 1945," kata Anggota DPR Dimyati Natakusumah, dalam sidang di  Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Jumat. Hal ini diungkapkan Dimyati  saat membacakan jawaban DPR terhadap permohonan pengujian Undang-undang  (UU) nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan atau UU nomor 24 tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi (MK).   Menurut Dimyati, DPR berpendapat bahwa pemilihan ketua MK dan wakilnya  dalam satu putaran tidak semata didasarkan pada sisi efektivitas dan  efisiensi, akan tetapi berdasarkan persyaratan hakim konstitusi memiliki  kapasitas negarawan.   Dia juga mengungkapkan bahwa Pemilihan ketua dan wakil ketua MK yang  dikaitkan dengan pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yaitu hakim konstitusi  harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,  negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak  merangkap sebagai pejabat negara Hal ini diungkapkan Dimyati terkait  pengujian Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g) dan ayat (4h) UU MK yang mengatur  tentang pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu putaran.   Pengujian UU MK yang baru ini diajukan oleh sejumlah akademisi, yakni  pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Prof Saldi Isra bersama  dengan Prof Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zaenal Arifin Mochtar, Moh  Ali Syafa'at, Prof Yuliandri, dan Feri Amsari.   Pemohon menilai UU MK yang baru ini berpotensi merusak MK sebagai  pemegang kekuasaan kehakiman yang independen. Mereka menguji Pasal 4, Pasal 15, Pasal 27A, Pasal 57, dan Pasal 59  Perubahan UU MK. Tentang Pasal 15 UU MK, Dimyati mengemukakan batasan  usia 47 sebagai hakim konstitusi merupakan pilihan DPR dengan dasar pada  usia tersebut, seseorang telah memiliki kematangan sebagai negarawan.  "Pengaturan batasan usia minimal untuk menduduki jabatan publik tertentu  dalam UU, DPR mengutip pertimbangan MK dalam beberapa perkara yang  menyatakan penentuan batasan usia minimal merupakan pilihan kebijakan  pembuat UU untuk menentukannya," jelasnya.   Untuk Pasal 26 ayat (5) UU MK, Dimyati mengatakan masa jabatan hakim  konstitusi lima tahun dapat menimbulkan konsekuensi hukum manakala  terjadi pemberhentian ditengah jalan, seperti meninggal dunia,  mengundurkan diri dengan alasan meninggal dumia, umur 67 tahun,  kesehatan. Menurut dia, DPR mengambil kebijakan bahwa pengisian jabatan  hakim yang diberhentikan merupakan penggantian hakim dalam masa jabatan.   "Oleh karena itu, hakim konstitusi yang menggantikan melanjutkan sisa  jabatan hakim konstitusi yang digantikan," papar Dimyati. Sedangkan  Pasal 27A tentang pengajuan hakim MK dikaitkan dengan kelembagaan,  menurut Dimyati, secara moral ketiga lembaga yang mengajukan, yakni DPR,  pemerintah dan Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab atas perilaku  hakim konstitusi yang diajukan.   Dia juga mengaskan bahwa sepanjang berkaitan dengan perilaku hakim tidak  cukup alasan untuk menyatakan akan terjadi intervensi dari  lembaga-lembaga yang mengajukan hakim konstitusi terhadap pelaksanaan  tugasnya. "Penempatan wakil dari masing-masing lembaga sebagai unsur dalam majelis  kehormatan memiliki alasan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,  keluhuran martabat, serta perilaku hakim," katanya.   Untuk Pasal 57 UU MK yang tidak membolehkan putusan MK tidak memiliki  kewenangan membentuk norma baru, Dmyati mengatakan bahwa pembentukan UU  secara konstitusional adalah kewenangan pemerintah dan DPR. "Jika MK  dalam putusannya membuat norma baru maka MK telah meleihi kewenangan  yang diberikan oleh UUD," tuturnya.  Untuk itu, pihaknya menyatakan bahwa perubahan UU MK ini tidak  bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.  Menanggapi pernyataan DPR tentang pemilihan ketua dan wakil ketua MK  satu putaran, Hakim Konstitusi Akil Moctar menanyakan jika ada hakim  yang abstein.   Menurut Akil, dari sembilan hakim MK, jika satu hakim abstein, enam  memilih ketua dan dan dua sisanya memilih hakim yang berbeda, bagaimana  menentukan wakilnya yang membutuhkan suara terbanyak kedua. "Ini kan  tidak mungkin diselesaikan satu putaran, jika dipaksakan dua putaran  akan menabrak UU, dan itu akan dipertanyakan legalitasnya," kata Akil.   Menanggapi pertanyaan ini, Dimyati mengatakan bahwa hal tersebut bisa  dituangkan dalam peraturan internal MK untuk mengaturnya.(*/Antara) source: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=286881
 
JAKARTA (Suara Karya): DPR menyatakan pemilihan ketua dan wakil ketua MK dalam satu putaran, meskipun dapat dikategorikan sebagai pilihan kebijakan pembuat UU, namun hal tersebut dikaitkan persyaratan hakim konstitusi sebagaiman dimaksud Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
