Monday, 07 November 2011
JAKARTA– Dibatalkannya penerapan penghapusan remisi bagi napi perkara korupsi dan teroris menjadi hanya pengetatan persyaratan pemberiannya mengundang reaksi kritis dari kalangan akademisi.Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf berpandangan, bila tujuan utamanya adalah menimbulkan efek jera,maka penghapusan remisi bagi pelaku tindak pidana khusus seperti korupsi perlu dipermanenkan, tidak bersifat sementara apalagi hanya berupa pengetatan. 
Dia juga menilai kebijakan penghapusan remisi bagi koruptor tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). “Semua narapidana memang memiliki hak untuk remisi. Tapi, itu bisa dihapus karena kejahatan korupsi sudah melanggar hak ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat.Apakah penjahat seperti itu layak diberi pemotongan masa tahanan dan pembebasan bersyarat? Kita ini jangan kaku dalam menggunakan logika hukum. Harus lihat kondisi masyarakat di saat hukum itu berlaku juga,” ujarnya kepada SINDOkemarin.
Meski begitu, kata Asep, penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat perlu dibarengi kebijakan di hulu. Misalnya, dengan adanya pembuktian terbalik,denda yang sangat besar bagi koruptor dalam rangka memiskinkan, penyitaan harta kekayaan dan hukuman minimal yang diterapkan dengan baik. “Jadi mereka akan berpikir,sudah hukumannya berat dan tidak ada remisi juga bisa miskin. Maka setiap orang akan takut melakukan korupsi,”tandas Asep.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran (Unpad) I Gede Pantja Astawa mendukung penuh revisi UU No 12/1995 dan PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. “Supaya kita tidak sewenang-wenang terhadap narapidana meski niatnya baik yaitu ingin memberi efek jera,”ujarnya. Dia mengingatkan, kebijakan baru ini jangan sampai menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum model baru seperti terjadi sebelumnya.
Napi perkara korupsi seolah mudah sekali menikmati remisi sementara napi pidana umum hanya mendapat pemotongan masa tahanan yang kecil. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Saldi Isra berpandangan, pengetatan remisi sebaiknya dijadikan penghapusan remisi khusus bagi koruptor dan teroris. Dia menilai terobosan Menteri Hukum dan HAM ini adalah langkah maju dalam penegakan hukum di Tanah Air.
“Karenanya, pembahasan regulasinya pun harus dipercepat.Perlu ada goodwilldari pemerintah dan DPR,”ungkapnya. Wakil Jaksa Agung Darmono menilai kebijakan penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat efektif menimbulkan efek jera.“Kalau koruptor tidak diberi ampunan,mereka tentu akan kapok,”tegasnya. krisiandi sacawisastra/ kholil/hendry sihaloho/ purwadi/robbi khadafi
Dia juga menilai kebijakan penghapusan remisi bagi koruptor tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). “Semua narapidana memang memiliki hak untuk remisi. Tapi, itu bisa dihapus karena kejahatan korupsi sudah melanggar hak ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat.Apakah penjahat seperti itu layak diberi pemotongan masa tahanan dan pembebasan bersyarat? Kita ini jangan kaku dalam menggunakan logika hukum. Harus lihat kondisi masyarakat di saat hukum itu berlaku juga,” ujarnya kepada SINDOkemarin.
Meski begitu, kata Asep, penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat perlu dibarengi kebijakan di hulu. Misalnya, dengan adanya pembuktian terbalik,denda yang sangat besar bagi koruptor dalam rangka memiskinkan, penyitaan harta kekayaan dan hukuman minimal yang diterapkan dengan baik. “Jadi mereka akan berpikir,sudah hukumannya berat dan tidak ada remisi juga bisa miskin. Maka setiap orang akan takut melakukan korupsi,”tandas Asep.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran (Unpad) I Gede Pantja Astawa mendukung penuh revisi UU No 12/1995 dan PP No 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. “Supaya kita tidak sewenang-wenang terhadap narapidana meski niatnya baik yaitu ingin memberi efek jera,”ujarnya. Dia mengingatkan, kebijakan baru ini jangan sampai menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum model baru seperti terjadi sebelumnya.
Napi perkara korupsi seolah mudah sekali menikmati remisi sementara napi pidana umum hanya mendapat pemotongan masa tahanan yang kecil. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Saldi Isra berpandangan, pengetatan remisi sebaiknya dijadikan penghapusan remisi khusus bagi koruptor dan teroris. Dia menilai terobosan Menteri Hukum dan HAM ini adalah langkah maju dalam penegakan hukum di Tanah Air.
“Karenanya, pembahasan regulasinya pun harus dipercepat.Perlu ada goodwilldari pemerintah dan DPR,”ungkapnya. Wakil Jaksa Agung Darmono menilai kebijakan penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat efektif menimbulkan efek jera.“Kalau koruptor tidak diberi ampunan,mereka tentu akan kapok,”tegasnya. krisiandi sacawisastra/ kholil/hendry sihaloho/ purwadi/robbi khadafi
