Butuh Lebih dari Seorang Sri
Kompas Cetak, Jumat, 14 Mei 2010 | 03:37 WIB
Pertanyaan besar yang muncul mengiringi kepindahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Bank Dunia adalah kelanjutan reformasi birokrasi.
Anggota Komisi XI DPR, Andi Rahmat, menilai Sri Mulyani berhasil meletakkan dasar reformasi di Kementerian Keuangan (Kemkeu) dan cukup mendapat apresiasi masyarakat. ”Setidaknya bila diukur dari persepsi kepuasan masyarakat atas layanan kantor pajak. Kepercayaan itu modal penting mendorong kinerja instansi pemerintah,” kata Andi.
Komisi XI yang membidangi sektor keuangan dan perbankan merupakan mitra utama Kemkeu dalam pembahasan anggaran pemerintah. Salah satu sumber perdebatan panjang adalah perlu-tidaknya renumerasi. ”Akhirnya Komisi XI sepakat dengan teori bila mau perbaiki mekanisme birokrasi harus ada sistem reward and punishment yang baik,” kata Andi.
Meski mengakui reformasi Kemkeu punya cukup fondasi untuk berlanjut, Andi mengingatkan ketergantungan pada figur, disadari atau tidak di kalangan internal dan eksternal, harus ditinggalkan.
Pengamat ekonomi Iman Sugema menilai reformasi birokrasi di Kemkeu masih tahap sangat awal. Pejabat dan pegawai di Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan Perbendaharaan Negara sudah terbiasa menikmati penghasilan ratusan kali jauh lebih tinggi dari gaji dan tunjangan resmi. ”Implikasinya, kita tak bisa melaksanakan reformasi dengan hanya menaikkan gaji dan tunjangan karena tidak pernah bisa mengimbangi godaan korupsi,” kata Iman.
Menurut Iman, peningkatan kesejahteraan harus diikuti penegakan hukum dan membongkar habis praktik mafia. ”Baru setelah itu dituntut peningkatan kinerja. Tanpa ketiga langkah itu, tidak banyak bisa diharapkan dari reformasi yang baru berjalan 3-4 tahun. Itu pun dengan catatan ada dukungan politik kuat dan komitmen semua pihak,” kata Iman.
Efek jera, evaluasi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai, dengan sistem yang belum mapan, tetap diperlukan figur orang nomor satu yang punya kemampuan, integritas, dan komitmen yang menjadi contoh bawahan. Karena itu, tugas pengganti Sri Mulyani jauh lebih berat. Ia harus melanjutkan reformasi sekaligus memperbaiki kelemahan sistem. ”Pengganti Sri Mulyani harus menambal banyak lubang. Dengan reformasi birokrasi pun masih terjadi kasus penyelewengan kekuasaan dan korupsi seperti Gayus dan yang lain. Berarti, banyak kelemahan reformasi selama ini,” kata Saldi.
Kasus Gayus menunjukkan banyak celah bisa dimanfaatkan pegawai di berbagai tingkatan karena lemahnya pengawasan. Saldi sepakat, perbaikan renumerasi harus diikuti sistem penghargaan dan pengenaan sanksi. Pelanggaran sekecil apa pun tidak bisa lagi diselesaikan lewat mekanisme internal lembaga itu karena tidak memberikan efek jera. ”Kalau ada orang ketahuan menyalahgunakan wewenang lalu hanya diturunkan pangkatnya, dipindahkan ke bagian lain, dibebastugaskan, tidak akan bikin kapok. Tindak pidana terkait pelanggaran administrasi juga harus diproses hukum,” kata Saldi.
Menkeu yang baru juga harus berani menghadapi tekanan politik dari kelompok yang kepentingannya terusik reformasi. ”Jadi, butuh figur yang juga berani mengatakan tidak,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani menambahkan satu kriteria lagi. ”Tolong pilih pejabat yang bersedia mendengar masukan para pemangku kepentingan supaya kebijakan bisa diterapkan dan bukannya merugikan,” katanya.
Hariyadi menilai perlu perampingan organisasi di Kemkeu dan peningkatan kompetensi pegawai. Sebagaimana pernah diakui Sri Mulyani, Kemkeu sebenarnya hanya perlu sepertiga dari seluruh jumlah pegawai saat ini. ”Perampingan dan peningkatan kemampuan paling penting untuk membuat birokrasi lebih efektif dan efisien,” kata Hariyadi.
Karena itu, ia meminta pemerintah tidak buru-buru menganggap reformasi birokrasi di Kemkeu sudah berhasil lalu mengadopsinya ke kementerian dan lembaga lain. ”Saya kira perlu evaluasi dulu,” ujarnya.
Iman Sugema mengingatkan, kesalahan besar ketika meletakkan tugas reformasi birokrasi hanya di pundak satu orang. ”Sri Mulyani sekalipun tidak mampu melakukan sendiri. Harus ada political will semua komponen bangsa mendukung reformasi birokrasi. Khusus untuk menkeu, karena tugasnya paling berat, kalau perlu diberi perlindungan khusus,” kata Iman.
Andi Rahmat sepakat bentuk konkret dukungan politik di DPR adalah evaluasi yang sifatnya bukan menghakimi atau mencari kesalahan, tetapi untuk perbaikan. Gagal atau berhasilnya reformasi birokrasi butuh lebih dari seorang Sri. (DOTY DAMAYANTI)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/14/03373219/butuh.lebih.dari.seorang.sri
