PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI

DEWAN PERWAKILAN DAERAH*

Oleh Saldi Isra§

Abstract

The DPD does not have power to pass legislation. It can only introduce or give advice on a certain range of Bills in the DPR. With this limited power, DPD acts only as a sub-ordinate of DPR. Such a limitation gives rise to the opinion that the idea to create DPD in order to provide a way for a new kind of representative from the regions to enter into the world of decision-making in the national level has failed. This article tries to potray the DPD’s role in legislation and how to strengthen that function in the legislation process.

Pendahuluan

Hasil perubahan UUD 1945 menempatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai badan perwakilan tingkat pusat yang baru[1] di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terkait dengan DPD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945, Denny Indrayana mengatakan bahwa pembentukan DPD merupakan salah langkah untuk melakukan reformasi lembaga legislatif[2] terutama dengan tidak jelasnya posisi dan peran Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum perubahan UUD 1945. Meskipun demikian, kehadiran DPD tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia menggunakan model sistem lembaga perwakilan dua kamar (bicameral).[3]

Berdasarkan hasil kajian sejumlah kalangan, lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945 merupakan lembaga legislatif tiga kamar[4] dengan menempatkan MPR sebagai kamar tersendiri dalam lembaga perwakilan rakyat. Hal itu disebabkan oleh Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”. Dalam hal ini Bagir Manan menegaskan, MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunannya yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD.[5] Dalam susunan dua kamar (bikameral), tambah Bagir Manan, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri.[6] Dengan demikian, hasil perubahan UUD 1945 tidak menempatkan MPR menjadi sidang gabungan (joint session) antara DPR dengan DPD.

Hal ini berbeda dengan lembaga legislatif di Amerika Serikat, misalnya, yang menempatkan Congress sebagai gabungan (joint session) antara House of Representatives dan Senate. Dalam Article I Section 1 Konstitusi Amerika Serikat dinyatakan, “... Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives”. Dari rumusan Article I Section 1 tersebut, Congress merupakan penggabungan Senate dan House of Representatives sebagai institusi. Joint session digunakan untuk menyelesaikan wewenang bersama Senat dan DPR.

Berbeda dengan sistem bikameral di Amerika Serikat, dalam UUD 1945 MPR merupakan penggabungan dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dengan perumusan seperti itu, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembaga perwakilan rakyat. Artinya, hasil perubahan UUD 1945 meletakkan lembaga perwakilan rakyat ke dalam sistem trikameral dengan kewenangan terbesar (supremasi) berada di DPR. Meskipun MPR merupakan salah satu kamar, hanya DPR dan DPD yang bersentuhan dalam fungsi legislasi. Persetuhan fungsi legislasi itu dapat dibaca dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Sekalipun terdapat ruang DPR dan DPD bersentuhan dalam fungsi legislasi, kata “dapat” dalam Pasal 22D Ayat (1) tersebut membuat DPD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi yang mengajukan rancangan undang-undang.[7] Hal itu terjadi karena Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 21 UUD 1945 menyebutkan Presiden dan anggota DPR “berhak” mengajukan rancangan undang-undang. Selain dibatasi dengan kata “dapat” mengajukan rancangan undang-undang, Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang.[8] Di samping itu, DPD diberi wewenang untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

Dengan frasa “dapat mengajukan”, “ikut membahas” dan “memberikan pertimbangan” sebagaimana dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 sangat tidak sebanding dengan wewenang Presiden dan DPR berupa “pembahasan dan persetujuan bersama” dalam fungsi legislasi. Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD nyaris tidak punya peran fungsi legislasi. Hal itu makin nyata dengan adanya Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.

Melihat kewenangan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian yang amat menarik. Menurut peneliti dari Australian National University ini, DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy).[9] Kombinasi ini, tambah Stephen Sherlock, merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik sistem bikameral manapun di dunia.[10] Lebih jauh Stephen Sherlock menambahkan:

But the DPD does not pass legislation, it can only introduce or give advice on a certain range of Bills in the DPR… Its role in law-making is limited to certain areas of policy, its powers are only advisory and no Bill is actually required to pass through it in order to be passed, yet at thesame time it has the strong legitimacy that comes from being a fully elected chamber.[11]

Masalahnya, bagaimana memperkuat fungsi legislasi DPD agar mampu menyalurkan aspirasi daerah dalam proses perumusan kebijakan di tingkat nasional terutama dalam pembentukan undang-undang?

Bikameral dan Fungsi Legislasi: Kerangka Pemikiran Ringkas

Sistem dua kamar pada hakikatnya mengidealkan adanya dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarkhi. Lalu kemudian, menurut Robert L. Madex, Jeremy Bentham-lah yang paling mula mengeluarkan istilah bikameral tersebut.[12] Merujuk pendapat Allen R. Ball dan B. Guy Peters, kebanyakan parlemen modern menerapkan sistem dua kamar.[13] Berkaitan dengan model yang ada, Giovanni Sartori membagi lembaga perwakilan rakyat bikameral menjadi tiga jenis, yaitu (1) sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya; (2) sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua dua kamar nyaris sama kuat; dan (3) perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang. [14]

Dalam hubungan dengan tiga model bikameral yang dikemukakan Giovanni Sartori itu, Denny Indrayana mengemukakan bahwa sebaiknya weak bicameralism dihindari karena akan menghilangkan tujuan bikameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya menjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar (unicameral).[15] Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu seimbang antara Majelis Rendah dan Majelis Tinggi memang seakan-akan melancarkan fungsi kontrol antara kamar di parlemen, namun sebenarnya juga berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Karenanya, yang menjadi pilihan tepat adalah terwujudnya sistem strong bicameralism.[16]

Di samping tiga model bikameral berdasarkan tingkatan kekuatan tersebut, Giovanni Sartori juga membedakan membedakan bikameral menjadi tiga jenis berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan di antara kedua kamarnya, yaitu: (1) bikameral yang unsurnya sama (similar bicameralism); (2) bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism) dan (3) bikameral yang unsurnya sangat berbeda (differentiated bicameralism).[17] Karena model dua kamar dari unsur yang sama mudah terjebak ke dalam model unikameral, sebaliknya apabila terlalu berbeda potensial menimbulkan deadlock dalam proses legislasi maka perlu dicari perpaduan yang dapat menghasilkan likely bicameralism.[18] Mengacu kepada jenis-jenis bikameral yang diajukan oleh Giovanni Sartori itu, Denny Indrayana mengemukakan bahwa bikameral ideal sebaiknya mengarah kepada perpaduan antara strong bicameralism dengan likely bicameralism.[19]

Berbeda dengan Giovanni Sartori, hubungan antar-kamar terutama kuat dan lemahnya (strong versus weak bicameralism) menurut Arend Lijphart ditentukan oleh tiga aspek.[20] Pertama, the first important aspect is the formal constitutional power that the two chambers have. Dalam aspek ini, imbuh Lijphart, pola umum yang terjadi bahwa kamar kedua (second chamber) cenderung menjadi subordinat kamar pertama (first chamber). Misalnya, dalam proses pengusulan legislasi, negative vetoes kamar kedua seringkali diabaikan oleh kamar pertama.[21]

Kedua, the actual political importance of second chambers depends not only on their formal power but also their method of selection. Dalam hal ini Arend Lijphart menjelaskan, keseluruhan kamar pertama dipilih secara langsung sedangkan sebagian besar kamar kedua tidak dipilih secara langsung. Karena perbedaan ini, kamar yang tidak dipilih langsung akan mengalami lack the democratic legitimacy. Sebaliknya, pemilihan langsung kamar kedua dapat menjadi kompensasi untuk meningkatkan kekuasaan karena pembatasan-pembatasan yang dilakukan.[22] Karena legitimasi yang diperoleh dengan metode pemilihan itu, sistem bikameral dapat dikalisifikasikan menjadi symmetrical atau asymmetrical. Dalam hal ini, Lijphart menegaskan, “symmetrical chambers are those with equal or only moderatly unequal constitutional powers and democratic legitimacy. Asymmetrical chambers are highly unequal in these respect”.[23]

Ketiga, the crucial difference between the two chambers of bicameral legislature is that second chambers may be elected by different methods or designed so as to overrepresant certain minorities. Dalam kasus ini, tambah Lijphart, perbedaan komposisi kamar disebut bikameral incongruent. Contoh paling nyata terjadi pada kamar kedua digunakan pada kamar federal untuk mewakili unit-unit komponen yang lebih kecil dalam federasi.[24]

Pilihan atas model dua kamar (bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat dijelaskan C.F. Strong dengan mengutip pendapat Lord Bryce, “no lesson of constitutional history has been more deeply imbided than that which teaches the uses of second chamber”.[25] Karena argumentasi itu, Lord Bryce mengatakan, kamar kedua (second chamber) mempunyai empat fungsi, yaitu (1) revision of legislation, (2) initiation of noncontroversial bills, (3) delaying legislation of fundamental constitutional importance so as ‘to enable the opinion of the nation to be adequately expressed upon it’, dan (4) public debat.[26] Dengan adanya kamar kedua, monopoli proses legislasi dalam satu kamar dapat dihindari. Oleh karena itu, Dahlan Thaib menegaskan bahwa sistem dua kamar memungkinkan untuk mencegah pengesahan undang-undang yang cacat atau ceroboh.[27]

Sementara itu, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dapat pula dilihat dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.[28] Karena itu, dengan adanya dua majelis (two-chambers) akan sangat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.[29]

Berkaca pada praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga perwakilan bukan merupakan isu baru. Untuk mengatasi ketimpangan itu diupayakan memberikan ”kompensasi” kepada kamar lain yang lebih lemah. Jika model yang ada model tidak memberikian hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi (Upper House) diberi kewenangan mengubah, mempertimbangkan, atau menolak rancangan undang-undang yang berasal dari Majelis Rendah (Lower House). Sekiranya hal itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak untuk menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Menurut Kevin Evans, jika konstitusi tidak memberi hak untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang, menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan Majelis Tinggi dalam fungsi legislasi.[30] Sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam fungsi legislasi, penundaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Majelis Tinggi untuk mengoreksi rancangan undang-undang yang telah disetujui Majelis Rendah.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral, adalah efisiensi dalam proses legislasi. Karena harus melalui dua kamar, banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Maka negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut.[31] Jika terkelola dengan baik, kemungkinan sistem dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.[32]

Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945, frasa “ikut membahas” masih memungkinkan bagi DPD untuk berperan lebih maksimal dalam fungsi legislasi. Namun kemungkin itu menjadi tertutup karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No. 22/2003) makin membatasi peran DPD dalam fungsi legislasi). Pembatasan itu terjadi karena frasa “ikut membahas” direduksi menjadi Pembahasan Tingkat I. Padahal, untuk rancangan undang-undang yang berada dalam wewenang DPD keikusertaan DPD dapat dioptimalkan sebelum tahapan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Optimalisasi peran DPD dalam fungsi legislasi dapat dilakukan dengan pengaturan di tingkat undang-undang sepanjang hal itu tidak menghilangkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 bahwa pembahasan dan persetujuan bersama dilakukan DPR dan Presiden.

Di samping itu, UU No 22/2003 terlalu banyak menyerahkan pengaturan hubungan DPR dan DPD dalam fungsi legislasi ke dalam Tatib DPR. Karena UU No. 22/2003 mendelegasikan pengaturan hubungan DPR dan DPD dalam pembentukan undang-undang ke dalam Tatib DPR, Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPD hanya mengatur persiapan dan pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dan tidak membuat pengaturan tentang hubungan DPD dan DPR dalam membahas rancangan undang-undang yang menjadi wewenang DPD.[33] Sementara itu, Tatib DPR mengatur secara detail pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD. Seharusnya, untuk fungsi legislasi yang terkait dengan kewenangan DPD, pengaturannya harus bersifat inter-chamber dan merupakan muatan peraturan di tingkat undang-undang.

Berkenaan dengan pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD, Pasal 134 Tatib DPR pada dasarnya menentukan bahwa rancangan undang-undang tersebut (termasuk penjelasan, keterangan, dan naskah akademis) disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR. Setelah itu, dalam rapat paripurna DPR berikutnya, Pimpinan DPR akan memberitahukan dan membagikan rancangan tersebut kepada seluruh anggota DPR. Kemudian, Badan Musyawarah DPR menunjuk Komisi atau Badan Legislasi untuk membahas rancangan tersebut, serta mengagendakan pembahasan dengan alat kelengkapan DPD yang terkait.[34] Dalam Pasal 134 Ayat (8) Tatib DPR 2005/2006 dinyatakan:

Rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh Komisi atau Badan Legislasi dan alat kelengkapan DPD disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas rancangan undang-undang tersebut.

Dari penjelasan itu, frasa “ikut mebahas” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan sebagai pembahasan pendahuluan sebelum rancangan undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Kalaupun DPD diundang, kehadiran DPD sebatas memberikan pandangan atau pendapat atas rancangan undang-undang yang termasuk dalam kewenangan DPD. Sedangkan pembahasan yang substansial berupa pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah rancangan undang-undang, menurut Pasal 137 Ayat (1) huruf c Tatib DPR 2005/2006 hanya dilakukan oleh DPR dan Presiden. Berikut ini (lihat Gambar) alur pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD.

Sumber: Sekretariat Jenderal DPD-RI

Tarkait dengan alur pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD tersebut, hasil kajian Kelompok Kerja Amandemen UUD 1945 Forum Rektor Indonesia menyatakan:

Pola hubungan “kamar-kamar legislatif” ini boleh saja disebut tipe hibrida, yaitu “legislatif tiga kamar” (three-chamber legislative process) tapi dengan fungsi pengambilan keputusan hanya di tangan dua kamar (DPR dan Presiden) yang menghasilkan pola “legislasi parlementer yang ganjil.”[35]

Melihat hubungan DPR, Presiden, dan DPD dalam fungsi legislasi yang terkait dengan kewenangan DPD, pendapat Kelompok Kerja itu punya alasan yang cukup mendasar karena ketiga lembaga itu menjadi terlibat dalam proses legislasi untuk rancangan undang-undang yang dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Namun keterlibatan DPD hanya terjadi pada proses awal pada Pembicaraan Tingkat I. Pada tahap itu, fungsi legislasi berlangsung dalam proses tripartit. Namun ketika proses memasuki pembahasan lebih lanjut dan pengambilan persetujuan bersama, DPD tidak lagi terlibat karena proses legislasi kembali ke DPR dan Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.

Keterbatasan kewenangan DPD tidak hanya terjadi dalam UUD 1945, UU No. 22/2003, dan Tatib DPR, tetapi juga terjadi dalam prtaktik. Misalnya, sebagai bentuk pelaksanaan kewenangan yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, sejak tahun 2005 sampai dengan penghujung bulan Maret 2008, DPD telah menetapkan 149 keputusan dan menyampaikan keputusan itu kepada DPR dalam bentuk usul rancangan undang-undang; pandangan dan pendapat DPD; pertimbangan DPD; hasil pengawasan, dan pertimbangan yang berkaitan dengan anggaran (lihat Tabel 1). Dalam kenyataannya, Wakil Ketua DPD Irman Gusman menyatakan, DPR mengabaikan keputusan DPD tersebut termasuk pertimbangan yang berkaitan dengan rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.[36]

Tabel 1

Rekapitulasi Pelaksanaan Tugas DPD Yang Telah Disampaikan ke DPR[37]

 

No

Keputusan DPD Tentang

2005

2006

2007

2008

Jumlah

1

Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD

2

2

6

-

10

2

Pandangan dan Pendapat DPD

3

23

33

16

75

3

Pertimbangan DPD

2

1

2

-

5

4

Hasil Pengawasan DPD

11

12

10

5

38

5

Pertimbangan yang Berkaitan dengan Anggaran

6

6

6

3

21

J u m l a h

24

44

57

24

149

 

Sumber: Sekretariat DPD-RI. Data 2008 sampai tanggal 27 Maret 2008.

Khusus untuk fungsi legislasi, dari 10 rancangan undang-undang yang diusulkan DPD (lihat Tabel 2), tidak satupun dari rancangan undang-undang itu ditindaklanjuti oleh DPR sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pasal 134 Tatib DPR 2005/2006. Padahal, Pasal 134 Ayat (2) Tatib DPR mengamanatkan kepada Pimpinan DPR menyampaikannya dalam rapat paripurna setelah rancangan tersebut diterima. Namun demikian, Tatib DPR tidak mengharuskan Pimpinan DPR memerintahkan Badan Musyawarah DPR menindaklanjuti rancangan undang-undang dari DPD yang telah disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Dengan demikian, dalam Tatib DPR 2005/2006 terdapat semacam celah (loop hole) yang memungkinkan DPR mengabaikan rancangan undang-undang yang berasal dari DPD. Apalagi, Tatib DPR tidak mencantumkan tindak-lanjut rancangan undang-undang dari DPD sebagai salah satu tugas Badan Musyawarah DPR.[38]

Tabel 2

Usul Rancangan Undang-Undang Dari DPD-RI

 

No

Nama Rancangan

Undang-Undang

Keputusan

Disampaikan ke DPR

Alat Kelengkapan

1

Pembentukan Kabupaten Gorontalo Utara

Nomor 27/DPD/2005

13 Oktober 2005

PAH I dan

PPUU

2

Hak Keuangan/Administratif Pimpinan/Anggota Lembaga Negara RI serta Mantan Pimpinan dan Anggota Lembaga Negara RI

Nomor 28/DPD/2005

13 Oktober 2005

PPUU

3

Kepelabuhanan

Nomor 24/DPD/2006

31 Agustus 2006

PAH II

4

Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 53/DPD/2006

19 Desember 2006

PPUU

5

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD

Nomor 8/DPD/2007

8 Februari 2007

PPUU

6

Lembaga Keuangan Mikro

Nomor 23/DPD/2007

28 Maret 2007

PAH II

7

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Nomor 24/DPD/2007

28 Maret 2007

PPUU

8

Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Nomor 40/DPD/2007

19 Juli 2007

PAH I dan PPUU

9

Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Nomor 41/DPD/2007

19 Juli 2007

PAH II dan PPUU

10

Perubahan Ketiga Atas UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta

Nomor 46/DPD/2007

26 September 2007

PPUU

 

Sumber: Sekretariat Jenderal DPD-RI (diolah).

Berdasarkan penjelasan di atas, keterbatasan wewenang DPD dalam fungsi legislasi dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD1945 makin dibatasi oleh UU No. 22/2003 dan Tatib DPR 2005/2006. Bukan hanya itu, dalam praktik pun, DPR tidak pernah menindaklanjuti rancangan undang-undang yang berasal dari DPD. Karena itu, peran DPD makin tidak kelihatan dalam fungsi legislasi. Dengan kondisi seperti itu, sekiranya Pasal 22D Ayat (2) tidak memberi wewenang ikut membahas rancangan undang-undang tertentu, DPD tidak hampir tidak berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam fungsi legislasi.

Mencermati keterbatasan kewenangan itu, penguatan fungsi legislasi DPD menjadi sebuah keniscayaan. Secara hukum, penguatan tersebut dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945. Bagaimanapun, menjadi sulit untuk melakukan penguatan fungsi legislasi DPD tanpa menyentuh UUD 1945. Terkait dengan hal itu, Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar dalam tulisan “Menelisik Model Kamar Parlemen” mengemukakan bahwa penguatan fungsi legislasi seharusnya dilakukan dengan menata ulang secara komprehensif fungsi legislasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.[39] Sebagaimana dikatakan Kevin Evans, bisa saja DPD tidak terlibat secara utuh membahas rancangan undang-undang sebagaimana DPR, namun untuk membangun checks and balances DPD seharusnya diberi ruang untuk mengoreksi dan/atau menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR.

Membaca gagasan kehadiran DPD dalam sistem ketatanegaraan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, gagasan agar DPD diberi ruang mengoreksi dan/atau menolak rancangan pernah muncul dalam pembahasan perubahan UUD 1945. Misalnya, untuk memberikan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada DPD, Fraksi Golkar mengusulkan seperi berikut ini:

Rancangan undang-undang yang menyangkut APBN, Otonomi daerah, hubungan kekuasaan dan keuangan antar pusat dan daerah, pemekaran wilayah dan perubahan batas wilayah, serta pengelolaan sumber daya alam harus mendapat persetujuan Dewan Utusan Daerah (DUD) sebelum diajukan untuk diundangkan Presiden.

Begitu juga dengan Fraksi PDKB, keberadaan DPD dalam fungsi legislasi adalah untuk membangun mekanisme checks and balances dalam bentuk menolak atau menyetujui setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR.[40] Mengelaborasi maksud itu, juru bicara Fraksi PDKB, G. Seto Harianto mengatakan:

Jadi, fungsi DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang harus bahwa dialah yang memegang kekuasaan. Bahwa kemudian ada checks and balances itu bisa dilakukan dengan dengan menempatkan atau memberikan wewenang kepada Presiden dalam mengundangkan. Jadi kalau tidak diundangkan tidak berlaku, sedangkan DPD memiliki wewenang untuk menerima atau menolak, tidak mengubah substansi...[41]

Gagasan awalnya, DPD hendak diberikan kewenangan legislasi yang seimbang dengan DPR untuk rancangan undang-undang tertentu yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah. Namun hal itu tidak terjadi karena MPR khawatir dengan kewenangan legislasi yang seimbang akan memperlambat proses legislasi. Lagi pula, mayoritas anggota MPR beranggapan, memberikan kewenangan legislasi yang kuat kepada DPD bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, secara praktis, berdasarkan hasil penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistants (IDEA) adalah benar bahwa semua negara federal menganut sistem bikameral, tetapi separo dari seluruh negara yang berbentuk negara kesatuan ternyata menganut sistem bikameral. Di samping itu, dari 54 negara yang dianggap sebagai negara demokratis: 32 negara memilih bikameral dan 22 negara memilih unikameral. Untuk sistem pemerintahan, dari 40 negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer: 32 negara (80%) memilih sistem bikameral dan 8 negara memilih unikameral. Sementara itu, dari 10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial: delapan negara (80%) negara memilih sistem bikameral dan hanya dua negara yang memilih model unikameral.[42]

Dengan dasar praktik seperti itu, memberikan kewenangan legislasi yang kuat kepada DPD dinilai bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah argumentasi yang tidak mempunyai dasar pijakan sama sekali. Oleh karena itu, argumentasi itu harus ditinjau ulang sehingga kehadiran DPD dapat memberikan kontribusi bermakna dalam sistem lembaga perwakilan rakyat Indonesia.

Penutup

Penjelasan tersebut membuktikan, gagasan penguatan fungsi legislasi bukanlah hal baru dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, melanjutkan perubahan UUD 1945 menjadi agenda mendesak. Secara konstutusional, UUD 1945 memberi ruang kelanjutan reformasi konstutusi. Sementara menunggu perubahan itu, penguatan bisa saja dilakukan dengan membangun kebiasaan ketatanegaraan (convention). Bagaimanapun, tanpa menguatkan fungsi legislasi, kehadiran DPD sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses pengembilan keputusan di tingkat nasional (pusat) akan kehilangan maknanya yang hakiki. Tak terbantahkan, penguatan fungsi legislasi DPD menjadi ujian sesungguhnya political will pelaku politik di negeri ini.

Daftar Pustaka

Abd. Rahman, 2007, Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Perwakilan Indonesia, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, 30 Juni, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar.

Allen R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Modern Politics and Government, edisi ke-6, Macmillan Press Ltd.

Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press.

Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta.

Bivitri Susanti, 2007, Penguatan Kewenangan DPD dan Pasal-Pasal Lain yang Terkait di Bidang Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, 30 Juni, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar.

-------------------, 2003, Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MAPI) Jakarta.

C.F. Strong, 1973, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form, Sidwick & Jackson Limited, London.

Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Jakarta.

------------------------, 2005, DPD, Antara (ti)Ada dan Tiada, dalam Menapak Tahun Pertama “Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus Anggota DPD-RI Riau, the Peripheral Institute.

Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press.

Hendry Cambell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definition and Phrases and English Jurisprudence, Ancient and Modern, West Group, Minnesota.

Indra J. Piliang, 2006, Keanggotaan DPD dan Sistem Bikameral, dalam Agus Haryadi dkk, Bikameral Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR-RI, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta

-----------------------, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Kelompok Kerja Amandemen UUD 1945, 2007, Kajian Akademik Penyempurnaan Hasil Amandemen UUD 1945, Forum Rektor Indonesia.

Kevin Evans, 2002, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

M. Fajrul Falaakh, 2002, Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkamar Tiga), dalam Harian Kompas, 19 April, Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 2008, Proses Perubahan UUD 1945 dan Implikasinya bagi Ketatanegaraan, makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, 16-18 November, Jakarta.

Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Robert L. Maddex, 1996, The Illustrated Dictionary of Constitutional Concepts, Congressional Quarterly Inc., Washington.

Saldi Isra, 2004, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1., Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

Saldi Isra & Zainal Arifin Mochtar, 2007, Konsep Ideal Bikameral Yang Sesuai dengan Keadaan dan Pemerintahan Demokratis di Indonesia, Laporan Kajian, Parliamentary Reform Inititives and DPD Empowerment (PRIDE) Sekretariat Jenderal DPD bekerja sama dengan UNDP, Jakarta.

-------------------------------------------, 2007, Menelisik Model Parlemen (Catatan untuk Penataan Kelembagaan DPD Indonesia), dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 14, No.2, Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah, Yogyakarta.

Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.

Stephen Sherlock, 2005, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.



* Sebagian tulisan ini diambil dari naskah disertasi penulis yang berjudul ”Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

§ Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang. Sekarang tercatat sebagai Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

[1] Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 53.

[2] Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Jakarta, hal. 372.

[3] Lihat misalnya Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 141; dan Indra J. Piliang, 2006, Keanggotaan DPD dan Sistem Bikameral, dalam Agus Haryadi dkk, Bikameral Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR-RI, Jakarta, hal. 67.

[4] Lihat misalnya M. Fajrul Falaakh, 2002, Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkamar Tiga), dalam Harian Kompas, 19 April, Jakarta, hal. 4; Bivitri Susanti, (2003), Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MAPI) Jakarta; dan Saldi Isra, 2004, Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1., Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

[5] Bagir Manan, 2003, DPR, DPR, dan MPR…, hal. 75. Lihat juga Abd. Rahman, 2007, Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Perwakilan Indonesia, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar, 30 Juni.

[6] Bagir Manan, ibid.

[7] Bivitri Susanti, 2007, Penguatan Kewenangan DPD dan Pasal-Pasal Lain yang Terkait di Bidang Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan, makalah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, diselenggarakan oleh Univ. 45, Makassar, 30 Juni.

[8] Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

[9] Stephen Sherlock, 2005, Indonesia’s Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Robert L. Maddex, 1996, The Illustrated Dictionary of Constitutional Concepts, Congressional Quarterly Inc., Washington, hal. 28.

Dalam Hendry Cambell Black ditegaskan, bicameral system: a term applied by Jeremy Bentham to the division of legislative body into two chambers... Lebih jauh lihat Hendry Cambell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definition and Phrases and English Jurisprudence, Ancient and Modern, West Group, Minnesota, hal. 111.

[13] Allen R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Modern Politics and Government, edisi ke-6, Macmillan Press Ltd., hal. 190.

[14] Giovanni Sartori, 1997, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, New York University Press, hal. 184.

[15] Denny Indrayana, 2005, DPD, Antara (ti)Ada dan Tiada, dalam Menapak Tahun Pertama “Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus Anggota DPD-RI Riau, the Peripheral Institute, hal. 15.

[16] Ibid.

[17] Giovanni Sartori, op.cit., hal 184-186.

[18] Denny Indrayana, 2005, DPD, Antara…, hal. 15.

[19] Ibid.

Denny Indrayana mencontohkan, kongres di Amerika Serikat adalah contoh nyata dari perpaduan ideal tersebut karena House of Representatives-nya berbagi kewenangan dan saling kontrol dengan Senate untuk melaksanakan fungsi parlemen tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsur-unsur kongresnyapun terjaga dengan memadukan antara sistem kepartaian di House of Representatives dan representasi negara bagian di Senate.

[20] Arend Lijphart, 1999, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, Yale University Press.…, hal. 205.

[21] Ibid.

Ditambahkan Arend Lijphart, pengabaian paling nyata terjadi dalam sistem pemerintahan parle-menter karena (sebagian besar) dalam sistem ini kabinet secara eklusif bertanggung jawab kepada kamar pertama.

[22] Ibid., hal. 206.

[23] Ibid., hal. 206-207.

[24] Ibid., hal. 207.

Dalam isu ini C.F. Strong menegaskan, in the case of federal state there is a special argument in favour of a second chamber which is so arranged as to embody the federal principle or to enshrine the popular will of each of the states, as distint from that of the federation as a whole. Lebih jauh liaht C.F. Strong, 1973, Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form, Sidwick & Jackson Limited, London, hal. 178.

[25] C.F. Strong, ibid., hal. 177.

[26] Dalam Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 14-15.

[27] Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

[28] Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya.

[29] Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

[30] Kevin Evans, 2002, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

[31] Saldi Isra & Zainal Arifin Mochtar, 2007, Konsep Ideal Bikameral Yang Sesuai dengan Keadaan dan Pemerintahan Demokratis di Indonesia, Laporan Kajian, Parliamentary Reform Inititives and DPD Empowerment (PRIDE) Sekretariat Jenderal DPD bekerja sama dengan UNDP, Jakarta, hal. 60.

[32] Bandingkan dengan Bagir Manan, 2003, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

[33] Lihat Pasal 123-135 Keputusan DPD-RI No. 29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata tertib DPD-RI.

[34] Pasal 134 Ayat (5) Tatib DPR 2005/2006 menegaskan, Komisi atau Badan Legislasi akan mengundang sebanyak-banyaknya 1/3 dari jumlah alat kelengkapan DPR untuk membahas rancangan undang-undang yang berasal dari DPD.

[35] Kelompok Kerja Amandemen UUD 1945, 2007, Kajian Akademik Penyempurnaan Hasil Amandemen UUD 1945, Forum Rektor Indonesia, hal. 49.

[36] Wawancara tanggal 15 Maret 2008.

[37] Uraian lebih lengkap mengenai tugas DPD ini, terutama tahun 2005 dan 2006, dapat dibaca dalam Dewan Perwakilan Daerah, 2006, Himpunan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2005-2006, Sekretariat Jenderal DPD-RI, Jakarta.

[38] Lihat Pasal 31 Tatib DPR 2005/2006.

[39] Saldi Isra & Zainal Arifin Mochtar, 2007, Menelisik Model Parlemen (Catatan untuk Penataan Kelembagaan DPD Indonesia), dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 14, No.2, Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah, Yogyakarta.

[40] Risalah Rapat ke-37 PAH III BP MPR, hal. 317.

[41] Risalah, ibid., hal. 322.

[42] Moh. Mahfud MD, 2008, 2008, Proses Perubahan UUD 1945 dan Implikasinya bagi Ketatanegaraan, makalah disampaikan dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, 16-18 November, Jakarta.