Potensi Pelanggaran

dalam

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden

Oleh Saldi Isra

Pendahuluan

Setidaknya, ada empat alasan (raison d’etre) untuk melakukan pemilihan presiden langsung. Pertama, memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada orang lain. Kedua, menghindari intrik-intrik politik yang terjadi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dengan sistem perwakilan. Ketiga, presiden dan wakil presiden yang terpilih akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat. Keempat, menciptakan perimbangan (checks and balances) antara presiden dan wakil presiden dengan lembaga perwakilan.

Karena alasan-alasan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus melakukan perubahan terhadap Pasal 6 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dari (1) presiden ialah orang Indonesia asli, dan (2) presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak menjadi:

Pasal 6

1. Calon presiden dan wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

2. Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pasal 6A

1. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

3. Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

4. Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

5. Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Kemudian, untuk melaksanakan Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 disetujui dan disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Meskipun UUD 1945 hanya menghendaki pengaturan tentang syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden, undang-undang dapat mengelaborasi sepanjang tidak bertentangan dengan aturan dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi.

Beberapa Perdebatan Awal

Jadwal Pemungutan Suara

Dari awal pembahasan UU Pilpres sudah muncul perdebatan tentang jadwal pemungutan suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Perdebatan ini tidak dimaksudkan pada tanggal pelaksanaan tetapi lebih kepada apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan bersamaan atau terpisah dari pemilihan umum legislatif. Kalau dibaca di dalam konstitusi, wajar muncul perdebatan karena UUD 1945 tidak memberikan aturan yang tegas tentang jadwal pemungutan suara. Pasal 22E ayat (1) hanya menentukan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pada salah satu pihak, frasa “lima tahun sekali” dimaknai bahwa pemilihan umum hanya sekali saja dilaksanakan dalam lima tahun. Artinya pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak. Sementara di pihak lain, frasa “lima tahun sekali” tidak bermakna bahwa pemilihan umum hanya dapat dilaksakan sekali saja dalam lima tahun. Artinya, tidak ada persoalan kalau pemilihan umum legislatif dipisah dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun secara konstitusional tidak ada persoalan, rencana sebagian kekuatan politik di DPR meletakkan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilihan umum anggota legislatif memang menimbulkan kecurigaan terutama kalau dikaitkan dengan rencana pemberlakuan threshold tertentu bagi partai politik peserta pemilihan umum untuk dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Argumentasinya sangat sederhana, threshold hanya mungkin dilaksanakan kalau pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota legislatif.

Perdebatan itu berakhir dengan ditetapkan rumusan Pasal 4 UU Pilpres bahwa Pemungutan suara untuk pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil Pemilihan umum bagi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengan catatan, berdasarkan ketentuan Pasal Pasal 3 ayat (4) UU Pilpres, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus sudah menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum masa jabatan Presiden berakhir. Meskipun dilaksanakan terpisah, Pasal 3 ayat (3) UU Pilpres menegaskan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Kalau dibaca rumusan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sudah jelas yaitu pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sayangnya, rumusan yang sangat jelas itu direkayasa oleh berbagai kekuatan politik yang ada di DPR. Rekayasa ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (4) UU Pilpres bahwa pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya lima belas persen dari jumlah kursi DPR atau dua puluh persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilihan umum anggota DPR. Meskipun belum akan dilaksanakan dalam pemilihan umum tahun 2004, threshold itu bertentangan dengan UUD 1945.

Sebenarnya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak mengaitkan sama sekali dengan hasil pemilihan umum anggota DPR. Oleh karena itu, segala upaya yang mencoba mengaitkan peluang untuk dapat mencalonkan seseorang menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dengan hasil pemilihan anggota DPR adalah pengingkaran terhadap UUD 1945 (inkonstitusional). Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 hanya membatasi antara partai politik peserta pemilihan umum dengan partai politik bukan peserta pemilihan umum. Artinya, jika sebuah partai sudah memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum, maka partai politik yang bersangkutan dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden

Dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 ditentukan, calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Dalam Pasal 6 UU Pilpres ditentukan Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat:

a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;

c. tidak pernah mengkhianati negara;

d. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden;

e. bertempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

f. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;

g. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

h. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;

i. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

k. terdaftar sebagai pemilih;

l. memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi;

m. memiliki daftar riwayat hidup;

n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

o. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

p. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana makar berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

q. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun;

r. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat;

s. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI;

t. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Sepintas memang tidak ada masalah dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 UU Pilpres. Meskipun syarat yang tidak terukur masih ada, syarat terukurnya jauh lebih menonjol jika dibandingkan dengan syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang ada pada masa sebelumnya. Persoalannya tidak terletak di situ, tetapi pada “kegagalan” DPR mengelaborasi lebih jauh beberapa syarat mendasar yang terdapat dalam UUD 1945. Padahal, salah satu tujuan pembentukan UU adalah menjelaskan norma-norma yang masih sangat umum di tingkat konstitusi. Misalnya, syarat tidak pernah mengkhianati negara dan mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Terkait dengan persyaratan itu, isu yang paling menonjol saat ini adalah keberatan Abdurrahman Wahid dan para pendukungnya terhadap kehadiran Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Keputusan No 26/2004). Wahid dan para pendukungnya menilai, kehadiran Keputusan No 26/2004 di-design untuk menghalangi langkah Wahid menuju kursi RI-1.

Sebenarnya, kalau dibaca dengan cermat Keputusan No 26/2004, tidak ada yang salah dengan syarat mampu secara rohani dan jasmani bagi calon presiden. Pasal 4 huruf d Keputusan No 26/2004 persis sama bunyinya dengan Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 6 huruf d UU No 23/2003, mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam konteks itu, kehadiran Keputusan No 26/2004 adalah melaksanakan syarat mampu secara rohani dan jasmani yang ada dalam UUD 1945 dan UU No 23/2003.

Memang kemudian ada elaborasi KPU dalam Pasal 6 Ayat (3) huruf c Keputusan No 26/2004, persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dilengkapi dengan surat keterangan hasil pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani dari Tim Pemeriksa yang ditetapkan oleh KPU. Dengan ketentuan itu, calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak mampu secara rohani dan jasmani berdasarkan hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa, dinilai tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.

Rasanya, keberatan Wahid dan pendukungnya bukan pada syarat mampu secara rohani dan jasmani tetapi lebih kepada elaborasi yang terdapat dalam Pasal 6 Ayat (3) huruf c SK No 26/2004. Kalau memang Wahid dan pendukungnya tidak menerima syarat mampu secara rohani dan jasmani, keberatan itu sudah harus diperjuangkan sejak proses perubahan UUD 1945 dan pembahasan UU No 23/2004 di DPR. Apalagi, syarat mampu secara rohani dan jasmani yang terdapat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sangat terkait dengan pengalaman Wahid menjadi presiden.

Meskipun elaborasi syarat mampu secara rohani dan jasmani adalah untuk melaksanakan perintah UUD 1945 dan UU No 23/2003, tetapi inkonsistensi KPU terhadap syarat lain harus dipertanyakan. Mengapa KPU tidak melakukan elaborasi juga terhadap beberapa syarat lain yang terdapat dalam Pasal 6 UU No 23/2004. Padahal, syarat-syarat itu sama pentingnya dengan syarat mampu secara rohani dan jasmani. Misalnya, syarat tidak pernah mengkhianati negara dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Berkenaan dengan syarat tidak pernah mengkhianati negara, Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 6 huruf c UU No 23/2003 menentukan, calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi syarat tidak pernah mengkhianati negara. Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 6 huruf c ditegaskan, yang dimaksud dengan tidak pernah menghianati negara adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara serta tidak pernah melanggar UUD 1945.

Setidaknya, dari aspek hukum tata negara, klausul tidak pernah melanggar UUD 1945 yang diletakkan dalam syarat tidak pernah mengkhianati negara harus dirumuskan dan dielaborasi lebih jauh oleh KPU. Bagaimanapun, tidak tertutup kemungkinan ada di antara calon presiden dan calon wakil presiden yang pernah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Kemungkinan itu sangat terbuka dilakukan oleh calon yang pernah dan/atau sedang menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Terkait dengan hal di atas, menarik menyimak Siaran Pers Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (26/04) bahwa diperlukan standar obyektif KPU untuk menentukan dan menilai calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak pernah mengkhianati negara dan tidak pernah melanggar UUD 1945. Logikanya, calon yang pernah mengkhianati negara dan pernah melakukan pelanggaran-pelanggaran konstitusi ketika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, sangat potensial untuk melakukan kesalahan serupa.

Hal yang sama juga harus dilakukan terhadap syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Pasal 6 huruf j UU No 23/2004 menentukan, calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Kemudian Penjelasan Pasal 6 huruf j menegaskan, yang dimaksud dengan tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pencandu narkoba, dan zina.

Kalau mau jujur, syarat yang terdapat dalam Pasal 6 huruf j di atas tidak kalah rumitnya dibandingkan dengan syarat tidak pernah mengkhianati negara. Sayang, niat baik untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela tidak mungkin diwujudkan karena KPU alpa mengelaborasi lebih jauh. Rasanya, adanya keharusan melakukan tes narkoba dalam Pasal 7 Ayat (1) Keputusan No 26/2004 tidak cukup untuk mendeteksi perbuatan tercela yang dilakukan oleh calon presiden dan calon wakil presiden.

Potensi Pelanggaran dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Kampanye

Pasal 1 Ayat (11) UU Pilpres menyatakan, Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon. Pengertian yang terdpat dalam Pasal 1 Ayat (11) UU Pilpres persis sama dengan pengertian kampanye yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara (PP No 9/2004). dalam Pasal 72 UU No. 23/2003.

Bagi banyak kalangan, pngertian yang jelas tentang kampanye sangat diperlukan untuk membedakan antara kegiatan kampanye dengan bukan kampanye. Oleh karena itu, KPU harus lebih cermat memberikan pengertian kampanye dalam Keputusan KPU tentang Kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden. Kecermatan ini diperlukan karena sebelumnya, dalam kampanye pemilu legislatif, pengertian kampanye yang terdapat dalam SK KPU Nomor 701/2003 berbeda dengan pengertian kampanye yang terdapat dalam UU Pemilu Legislatif. Akibat perbedaan itu, sulit untuk menindak peserta pemilu yang melakukan kampanye di luar jadwal kampanye resmi yang sudah ditetapkan.

Di luar pengertian itu, dalam pelaksanaan kampanye ada beberapa titik penting yang berpotensi menimbulkan pelanggaran.

Pertama, Pasal 36 Ayat (1) UU Pilpres menentukan bahwa kampanye dilaksanakan melalui: (a) pertemuan terbatas, (b) tatap muka, (c) penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, (d) penyiaran melalui radio dan/atau televisi, (e) penyebaran bahan kampanye kepada umum, (f) pemasangan alat peraga di tempat umum, (g) rapat umum, (h) debat publik/debat terbuka antarcalon, dan (i) kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Berkaca pada pengalaman masa kampanye pemilu legislatif, penyelenggaraan rapat umum sangat potensial melanggar praturan perundang-undangan yang berlaku terutama peraturan lalulintas.

Sementara itu, Pasal 36 Ayat (2) menegaskan, pasangan calon wajib menyampikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat dan Ayat (4), penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Penegasan kedua aturan hukum ini dapat tidak berarti apa-apa karena tidak adanya ancaman (sanksi) yang dapat diberikan kalau selama masa kampanye calon tidak menyampaikan visi, misi, dan program mereka.

Kedua, iklan dan kampanye di media cetak dan media elektronik. Pasal 37 Ayat (1) UU Pilpres menegaskan: media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada Pasangan Calon untuk menyampaikan tema dan materi kampanye, selanjunya Ayat (2) menegaskan: media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada Pasangan Calon untuk memasang iklan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka kampanye.

Kalau dibaca dengan cermat, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 Ayat (1) dan (2) sudah secara eksplisit menentukan bahwa media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menyampaikan tema dan materi kampanye serta iklan pemilu. Sayangnya, UU Pilpres tidak menentukan secara tegas sanksi apa yang dapat diberikan kepada pasangan calon yang memonopoli penggunaan media cetak dan elektronik untuk melakukan kampanye. Melihat strategisnya posisi media cetak dan elektronik, bukan tidak mungkin, pasangan calon bermodal besar akan memanfaatkan kelemahan ini guna mendapatkan dukungan maksimal untuk memenengkan pemilihan.

Ketiga, larangan dalam masa kampanye. Selama masa kampanye, Pasal 38 UU Pilpres secara tegas melarang: (a) mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (b) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau Pasangan Calon yang lain, (c) menghasut atau mengadu domba antarperseorangan maupun antarkelompok masyarakat, (d) mengganggu ketertiban umum, (e) mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Pasangan Calon yang lain, (f) merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Pasangan Calon, dan (g) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Kemudian, Pasal 39 Ayat (3) UU Pilpres menentukan Pejabat negara yang menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan: (1) tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, (2) menjalani cuti di luar tanggungan negara, dan (3) pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.

Keempat, ancaman money politics (politik uang). Pasal 42 Ayat (1) UU Pilpres menegaskan, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Selanjutnya, dalam Ayat (2) ditegaskan, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai Pasangan Calon oleh KPU.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pilpres secara tegas melarang pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Larangan ini penting karena kampanye adalah sarana mendapat dukungan rakyat melalui penyampaian visi, misi, dan program. Sayangnya, larangan itu hanya ditujukan kepada pasangan calon dan/atau tim kampanye. Bagaimana kalau politik uang itu dilakukan oleh para simpatisan pasangan calon? Misalnya, dalam kampanye pemilu lagislatif yang lalu, beberapa saat setelah Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berbicara di Lapangan Gasibu, Bandung Jawa Barat, terlihat sebuah mobil Kijang hitam dengan tempelan striker kepala banteng membangi-bagikan uang kepada sejumlah simpatisan PDI Perjuangan (Kompas, 23/03-2004).

Dana kampanye

Dari awal dana kampanye termasuk salah satu substansi UU Pilpres yang dianggap bermasalah. Hampir semua materi yang tersangkut dana kampanye dilakukan secara tertutup. Misalnya, pembicaraan akhir dana kampanye dilakukan dalam pertemuan tertutup di Forum Lobi Panitia Khusus (pansus) Rancangan UU Pilpres. Pertemuan tertutup itu menyepakati antara lain, tidak adanya pembatasan sumbangan dana kampanye yang berasal dari pasangan calon presiden dan wakil presiden (Kompas, 20/06-2003).

Keenganan untuk mengatur secara rinci dan membatasi secara maksimal dana kampanye terdorong oleh kalkulasi bahwa dana yang diperlukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden akan lebih besar dibandingkan dana yang diperlukan untuk pemilihan umum legsilatif. Misalnya, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Siti Adi Trigandari dan ekonom senior Sri Edi Swasono memperkirakan bahwa seorang calon presiden membutuhkan dana sekitar Rp. 20 triliyun sebagai biaya kampanye sejak awal pemilihan hingga terpilih menjadi presiden pada pemilihan umum 2004 (Media Indonesia, 11/04-2003).

Meskipun besaran yang dikemukakan oleh kedua ekonom itu masih debatable, jumlah dana yang diperlukan akan mendorong semua calon untuk mendapatkan dana dari berbagai sumber. Hampir dapat dipastikan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari partai politik besar atau partai politik yang sedang berkuasa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan dana kampanye dalam jumlah yang tidak terbatas. Semua calon menyadari, ketersediaan dana dalam jumlah besar akan menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Masalah dana kampanye, baik pemilihan umum anggota legislatif maupun pemilihan umum presiden dan wakil presiden, telah mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Berdasarkan pengalaman pemilihan umum yang sudah pernah dilaksanakan, kita tidak pernah memberikan perhatian secara optimal tentang sumber dan penggunaan dana kampanye. Kini, ketika penyelenggaraan pemilihan umum memerlukan adanya jaminan rasa keadilan, akuntabilitas dan trasparansi pengelolaan dana kampanye, pengaturan sumber dan penggunaan dana kampanye menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, kalau dikaitkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden langsung.

Berkenaan dengan dana kampanye calon presiden dan wakil presiden, dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Pilpres menentukan bahwa dana kampanye dapat diperoleh dari (a) pasangan calon, (b) partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mencalonkan, dan (c) sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. Selanjutnya dalam Ayat (3) ditegaskan, sumbangan dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp. 100 juta dan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp. 750 juta.

Kemudian, Pasal 45 Ayat (1) UU Pilpres melarang calon presiden dan wakil presiden menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari (a) negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, dan warga negara asing, (b) penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, dan (c) pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selanjutnya Ayat (2) menyatakan, pasangan calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkan kepada KPU selambat-lambatnya 14 hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara. Kemudian, Ayat (4) secara eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU.

Paling tidak ada empat kritik yang sering dikemukakan oleh berbagai kalangan terhadap dana kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pertama, tidak ada ketentuan batas maksimal dana kampanye yang diperbolehkan untuk digunakan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, batas maksimal sangat diperlukan untuk mencegah pengumpulan dana di luar batas kewajaran. Bukan tidak mungkin dana kampanye akan berasal dari hasil korupsi. Bahkan, terbuka kemungkinan bagi para konglomerat hitam untuk memberikan bantuan keuangan dalam jumlah besar kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Target para konglomerat itu jelas, agar tetap mendapat perlakuan khusus dan terbebas dari keharusan membayar semua kewajiban mereka kepada negara.

Kedua, dengan tidak adanya pembatasan, segala cara dapat dipergunakan oleh semua tokoh partai politik yang menduduki posisi strategis dalam jajaran pemerintahan untuk mengumpulkan dana kampanye. Peluang ini dapat terjadi karena tidak adanya larangan bagi pejabat publik mulai dari presiden sampai kepada kepala daerah untuk ikut berkampanye. Semua pejabat itu potensial memperalat posisinya untuk mengumpulkan dana kampanye. Gejala ke arah ini sudah terlihat yaitu adanya upaya untuk menggunakan semua kekuatan politik dalam setiap proses pemilihan kepala daerah.

Ketiga, ancaman pidana bagi yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (4) hanya dapat dijatuhkan kepada orang yang memberikan sumbangan. Sementara pasangan yang menerima tidak diberikan ancaman, baik ancaman administrasi berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU ataupun ancaman pidana. Semestinya, ancaman harus diprioritaskan kepada pasangan calon yang melanggar batas maksimal sumbangan dana kampanye baik yang berasal dari perorangan maupun dari swasta. Memang ada ancaman sanksi pembatalan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh KPU terhadap pelanggaran Pasal 45 ayat (1), sayangnya ketentuan ini tidak diikuti dengan mekanisme pembatalan yang lebih eksplisit sebagaimana dalam praktik money politics.

Keempat, tertutupnya peluang untuk melakukan akses langsung online terhadap rekening dana kampanye menunjukkan adanya itikad tidak baik beberapa kekuatan politik di DPR. Semestinya, untuk menjamin penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara adil, akuntabel dan trasparan, harus diberi kesempatan untuk melakukan akses langsung terhadap sumber dan penggunaan dana kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akses online ini terkait dengan tugas pengawasan terhadap sumbangan dan rekening khusus dana kampanye pemilihan umum presiden.

Pemunggutan dan Penghitungan Suara

Berkaca pada pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif, ada beberapa titik rawan penyelewengan yang harus diwaspadai dalam pemungutan dan penghitungan suara.

Pertama, tambahan surat suara 21/2 (dua setengah) persen dari jumlah pemilih. Pasal 48 Ayat (1) UU Pilpres menentukan, jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih dan ditambah 21/2 persen dari jumlah pemilih. Surat suara tambahan sangat potensial disalahgunakan. Potensi ini muncul karena tidak jelasnya pengawasan terhadap surat suara tambahan. Misalnya, sejauh ini tidak jelas bagaimana posisi surat suara tambahan dalam pemilihan umum legislatif yang lalu. Apakah surat suara itu dipakai? Kalau ya, berapa jumlah surat suara itu dipakai? Kalau tidak, di mana dan bagaimana posisi surat suara tambahan dalam pemilu legislatif yang lalu?

Kedua, penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). Berkaca pada pengalaman pasca-penghitungan suara pemilu legislatif, ada beberapa keberatan yang diajukan karena ada perbedaan antara penghitungan suara di TPS dengan jumlah suara yang dilaporkan ke panitia pemilihan kecamatan (PPK). Salah satu modusnya, berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara hanya diisi satu lembar sementara saksi didorong untuk menandatangani lembar berikutnya yang belum diisi.

Ketiga, rekaputilasi hasil suara di tingkat kecamatan. Salah satu penyebab keruwetan penyelesaian penetapan hasil pemilu legislatif karena banyaknya protes peserta pemilu terhadap cara penghitungan di PPK. Banyak peserta pemilu menilai terjadi manipulasi rekap suara di tingkat PPK. Bahkan, berdasarkan hasil temuan Panitia Pengawas Pemilu, kemungkinan itu terjadi pada proses input data hasil penghitungan suara dari kecamatan (PPK) ke Pusat Tabulasi Nasional Pemilu. Indikasi itu terjadi karena proses pengiriman data secara elektronik itu dinyatakan tertutup bagi saksi dan pemantau (Media Indonesia, 08/04-2004).

Penutup

Barangkali, beberapa potensi pelanggaran pemilu presiden dan wakil presiden yang disampaikan dalm pertemuan ini masih harus dielaborasi lebih jauh. Bagaimanapun, kejahatan pemilu pengawas pemilu termasuk kejahatan yang dikelola dengan sangat canggih. Oleh karena itu, Panwaslu di segala tingkatan, harus mampu mengidentifikasi semua kecurangan itu. Ini penting artinya guna menghasilkan pemilu presiden dan wakil presiden yang berkualitas.

Bio-Data Singkat

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Menyelesaikan Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Andalas Tahun 1995 dengan predikat Summa Cumlaude dan Master of Public Administartion (MPA), pada Institute of Postgraduate Studies and Reserch Tamat 2001 di University of Malaya Kuala Lumpur-Malaysia. Mengikuti Course on Law and Governance in Developing Countries di Van Vollenhoven Institute Faculty of Law Leiden University Tahun 2003. Sejauh ini, sudah menghasilkan 3 buku dan 16 tulisan telah dipublikasikan berbagai jurnal ilmiah. Selain mengajar, aktif menulis di beberapa media cetak nasional seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia dan lain-lain.

Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pelatihan Panwas Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Bagi Anggota dan Sekretaris Panwas Pemilu Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat , Diselenggarakan oleh Panwas Pemilu Sumatra Barat, di Hotel Pusako Bukittinggi, 19-20 Mei 2004.

Tentang persyaratan sebelumnya dapat dibaca dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Khusus untuk Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1973 baca: Saldi Isra, (1998), Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden: Beberapa Pemikiran ke Arah Perbaikan, dalam Jurnal Tingkap, Vol.1, No.1, April, Pusat Kajian Sosial, Budaya dan Ekonomi Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pngetahuan Sosial, IKIP Padang.

Praktik serupa tidak hanya terjadi dalam kampanye PDI Perjuangan tetapi juga dilakukan oleh peserta pemilihan umum yang lain. Misalnya, Ny Sintje Sondakh Mandey --istri Gubernur Sulawesi Utara-- dan Ny Arianne Fredirk Nangoy --istri Walikota Manado-- membagi-bagikan uang kepada massa pada saat kampanye Partai Golkar. Bahkan, berdasarkan laporan yang diterima Panitia Pengawas Pemilu Sulawesi Utara, Ny Arianne membagi uang pecahan Rp. 50.000 kepada massa kampanye dengan cara menghamburkannya (Kompas, 19/03-2004). Di Pengadilan Negeri, kasus politik uang ini dinyatakan tidak terbukti.

Pasal 45 Ayat (3) UU Pilpres menegaskan bahwa pasangan calon yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan pada Ayat (2) dikenai sanksi pidana.

Saldi Isra, (2003), Mewaspadai Dana Kampanye Capres, dalam Media Indonesia, 02 Juli, Jakarta.

Saldi Isra, (2003), Kampanye dengan Uang Haram (Jilid 2)”, dalam Kompas, 29 April, Jakarta.