Sidang Bersama DPR-DPD
Thursday, 22 July 2010
Sekiranya tidak ada aral merintang, pada 16 Agustus 2010, sehari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ke-65 Kemerdekaan Indonesia,akan terselenggara praktik baru penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut hubungan antara presiden,Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Praktik baru tersebut adalah sidang bersama antara DPR dan DPD untuk mendengarkan pidato kenegaraan presiden. Bukan tidak mungkin, dengan political will DPR dan DPD, pidato kenegaraan presiden itu dapat menjadi semacam state of the union address-nya Indonesia. Jika selama ini pidato kenegaraan presiden tiap 16 Agustus lebih merupakan tradisi yang tumbuh dalam praktik ketatanegaraan (konvensi), mulai tahun ini praktik itu lahir dari perintah undang-undang.
Amanat menyelenggarakan sidang bersama tersebut diperintahkan secara eksplisit oleh Pasal 199 Ayat (5) dan Pasal 268 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).Tidak tanggung-tanggung, kedua ketentuan tersebut menempatkan pidato kenegaraan presiden sebagai gong pembuka tahun sidang DPR dan DPD.
Masalahnya, mungkinkah sidang bersama tersebut dapat diselenggarakan tahun ini? Bagi sebagian besar kalangan yang concern terhadap dinamika ketatanegaraan setelah perubahan UUD 1945, masalah tersebut menjadi pertanyaan penting dan mendasar di tengah ketidakharmonisan hubungan antara DPR dan DPD. Apalagi sejauh ini tata tertib DPR dan DPD belum mengakomodasi bagaimana pelaksanaan sidang bersama DPR dan DPD untuk mendengar pidato kenegaraan presiden.
Amanat Undang-Undang
Meski belum ada peraturan tata tertib yang mewadahi penyelenggaraannya, sidang bersama DPR dan DPD harus dilaksanakan. Sebagaimana dikemukakan di atas, agenda kenegaraan ini menjadi pembuka secara resmi masa sidang DPR dan DPD. Dalam hal ini Pasal 199 Ayat (5) dan Pasal 268 Ayat (5) UU MD3 secara eksplisit mengamanatkan: sebelum pembukaan sidang pada 16 Agustus,anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sidang bersama merupakan amanat undang-undang yang tidak boleh diabaikan karena alasan belum adanya peraturan tata tertib. Seharusnya, merujuk waktu pengesahan UU MD3 (29 Agustus 2009), aturan pelaksanaan sidang bersama sudah sejak jauh-jauh hari diselesaikan.Karenanya,DPR dan DPD tidak dapat menggunakan Pasal 405 yang menyatakan bahwa peraturan pelaksana harus telah ditetapkan paling lambat setahun sejak pengundangan UU MD3 sebagai alasan pembenar untuk meniadakan sidang bersama tahun ini.
Hal yang perlu digarisbawahi, sesuai ketentuan Pasal 199 Ayat (5) dan Pasal 268 Ayat (5) UU MD3, sidang bersama merupakan pembuka masa sidang DPR dan DPD. Karenanya, tanpa sidang bersama untuk mendengarkan pidato presiden, sidang -sidang DPR dan DPD potensial menimbulkan problem serius dalam praktik penyelenggaraan negara. Bukan tidak mungkin, suatu saat ada pihak-pihak tertentu yang mempersoalkan keabsahan keputusan politik DPR dan DPD karena kealpaan menyelenggarakan sidang bersama.
Karenanya, alasan belum adanya tata tertib terasa naif untuk menghindari penyelengga raan sidang bersama tahun ini. Sebetulnya, untuk memenuhi penyelenggaraan rapat bersama, Pasal 199 Ayat (5) dan Pasal 268 Ayat (5) memberikan alternatif dalam frase “sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.” Dengan adanya frase tersebut sidang bersama dapat diselenggarakan oleh DPR atau DPD.
Dalam pengertian itu, pimpinan DPR dan DPD harusnya mampu menelusuri siapa yang lebih siap di antara DPR dan DPD untuk menyelenggarakan sidang bersama.Yang tidak boleh dilakukan, DPR dan DPD melaksanakan sidang bersama terpisah satu sama lainnya. Karena itu, langkah dan terobosan pimpinan kedua lembaga menjadi sebuah keniscayaan demi terlaksananya amanat UU MD3.
Bagaimanapun, guna memulai tradisi baru dalam praktik ketatanegaraan, kedua lembaga ini harus mampu membuang berbagai perbedaan. Tanpa itu, misi UU MD3 untuk mempertemukan DPR dan DPD dalam bentuk sidang bersama sulit tercapai. Padahal, penyelenggaraan sidang bersama dapat menjadi modal awal untuk membangun desain lembaga perwakilan rakyat ke depan. Misalnya DPR dan DPD secara bersama-sama menyusun tata cara penyelenggaraan sidang bersama.
Bukan tidak mungkin, aturan semacam itu akan menjadi modal awal untuk membentuk mekanisme inter-chamber antara DPR dan DPD terutama untuk persentuhan kewenangan kedua lembaga sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sekiranya upaya bersama itu tidak tercapai, untuk pertama kali sidang bersama dilaksanakan oleh lembaga yang mau dan mampu membentuk peraturan tata tertib pelaksanaan sidang bersama. Bagaimanapun, cara demikian tidak melanggar amanat UU MD3.
Kesempatan Sejarah
Sekalipun UU MD3 hanya menyebut DPR dan DPD, sidang bersama sebenarnya melibatkan pihak lain, yaitu presiden. Karenanya, desain menuju sidang bersama harusnya melibatkan pihak presiden. Pelibatan itu menjadi penting karena praktik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir presiden selalu menyampaikan pidato di hadapan DPR tanggal 16 Agustus dan di DPD tanggal 23 Agustus.
Selama ini, dalam kegiatan 16 Agustus, anggota DPD diundang. Pada acara 23 Agustus, DPD bersama elemen dari daerah. Sebetulnya tradisi yang telah berlangsung dan terpelihara selama beberapa tahun terakhir masih dapat dipertahankan sebagai bagian dari kekayaan praktik penyelenggaraan negara. Namun untuk membangun tradisi baru, ruang untuk melaksanakan sidang bersama yang disediakan oleh UU MD3 dapat dimanfaatkan untuk menyederhanakan praktik yang ada.
Penyederhanaan itu tidak hanya dimaksudkan untuk mencegah presiden datang dua kali ke tempat yang sama dalam waktu yang berdekatan. Tradisi baru yang dimaksudkan di sini, sidang ersama DPR dan DPD mendengarkan pidato kenegaraan presiden merupakan penggabungan kegiatan 16 Agustus (dengan DPR) dan 23 Agustus (dengan DPD).
Dalam acara tersebut presiden akan menyampaikan pidato yang tidak hanya berisi nota keuangan dan pembangunan daerah, tapi juga menjadi arena untuk menyampaikan banyak hal yang akan dilakukan presiden dalam satu tahun ke depan. Karena substansinya lebih luas dari sekadar nota keuangan dan pembangunan daerah, pidato presiden akan menjadi pidato kenegaraan dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam pidato kenegaraan tersebut, presiden tidak hanya tampil berbicara di hadapan anggota DPR dan anggota DPD,tapi juga sedang melakukan komunikasi langsung dengan seluruh rakyat Indonesia. Saya membayangkan, suasana akan tampak agung karena dalam penyampaian pidato kenegaraan presiden itu, para pemimpin DPR dan DPD secara bersama-sama memimpin rapat bersama.
Tidak hanya keagungan tersebut, duduk bersama memberi makna simbolik yang berbeda di mata masyarakat Makna simbolik itu akan memberikan nilai yang jauh lebih positif sekiranya di ujung prosesi naskah RUU APBN yang disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya yang disampaikan kepada pimpinan DPR oleh Presiden juga diserahkan secara simbolik kepada pimpinan DPD.
Setidaknya, penyampaian kepada pimpinan DPD untuk menunjukkan bahwa UUD 1945 menghendaki pertimbangan DPD dalam pembahasan RUU APBN.Saya percaya, jika hal itu benar-benar terjadi gunjingan di sekitar buruknya hubungan antara DPR dan DPD akan menguap secara signifikan. Kini, kesempatan membuat dan membangun sejarah sedang berada di depan mata DPR dan DPD. Semoga, ego yang mungkin ada pada kedua lembaga ini tidak menghilangkan kesempatan yang disediakan UU MD3.(*)
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusako, FH Unand, Padang
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/339482/