Oleh:

Saldi Isra*

Tindakan badan anggaran mengembalikan wewenang pembahasan anggaran kepada pimpinan DPR merupakan bentuk penyalahgunaan dan pengingkaran terhadap UUD 1945."

POSTULAT `power tends to corrupt, absolute po wer corrupt absolutely', yang dikemukakan Lord Acton, semakin mendapat pembenaran empiris dalam praktik lembaga perwakilan di negeri ini. Bukti teranyar dapat dilacak ketika Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui surat bernomor 118/BA/DPR RI/ IX/2011, mengembalikan pembahasan RAPBN 2012 kepada pimpinan DPR. Surat tersebut muncul sebagai reaksi terhadap langkah Komisi Pemberantasan Korup si (KPK) memanggil pimpinan badan ang garan untuk menjadi saksi kasus suap yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).

Meski dibungkus lebih halus dengan frasa `mengembalikan kewenangan pembahasan', tindak an bandan anggaran tersebut me rupakan manuver berbahaya.
Selain merupakan bentuk serangan terbuka atas upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK, langkah badan anggaran dapat dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan fungsi anggaran DPR. Selain itu, sekiranya dile takkan dalam prinsip dasar penegakan hukum, upaya pengembalian pembahasan RAPBN kepada pimpinan DPR merupakan bentuk pengingkaran atas prinsip bahwa setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Celakanya, sekalipun mendapat badai kritik, manuver yang dilakukan badan anggaran itu mendapat pembenaran dari mayo ritas pimpinan DPR.
Karena itu, tidaklah berlebihan bila mayoritas publik menilai bahwa langkah Badan Anggaran DPR merupakan bentuk lain dari resistensi laten DPR terhadap kehadiran dan sepak terjang KPK selama ini.
Bahkan, apabila diletakkan dalam konteks yang agak lebih luas, manuver badan anggaran dapat dikategorikan sebagai bentuk perlawanan terbuka terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Kuasa lebih DPR Dalam desain sistem ketata nega raan Indonesia, DPR memang memiliki kekuatan ekstra setelah perubahan UUD 1945. Bila merujuk pada hasil perubahan, UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Bahkan, dengan maksud menjalankan fungsi-fungsi itu, UUD 1945 memberi DPR hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Tidak hanya bagi lembaga, secara in divi dual anggota DPR memiliki hak meng ajukan per tanyaan, hak me nyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Apabila diletak kan dalam bingkai sistem pemerin tahan presidensial, semua hak (baik lembaga maupun individu) tersebut dimaksudkan un tuk mengimbangi p o s i s i p re s i d e n yang berada pada episentrum kekua saan. Secara filo sofis, desain de mikian dimaksud kan agar tercipta mekanisme saling kontrol dan saling imbang (checks and balances) antara lembaga legislatif dan eksekutif. Na mun yang terjadi di tataran praktik tidak demikian, DPR mengguna kan segala kuasa lebih yang diberi kan UUD 1945 guna membangun praktik supremasi DPR. Banyak fak ta membuktikan, kasus kuasa lebih konstitusional yang dimiliki DPR justru berkem bang menjadi praktik korupsi politik (political corruption).

Dengan pe nguatan fungsi dan hak yang diberi kan UUD 1945, serta berkaca dari penga laman yang ada, Mochtar Pabottingi (2009), peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyebut posisi DPR sebagai `kuasa lebih konstitusional'. Sekiranya kuasa lebih DPR digunakan untuk membangun governance yang mengabdi pada kepentingan publik, kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Terkait dengan kemungkinan tersebut, Susan Rose-Ackerman (1999) mengatakan bahwa kuasa politik yang terkontrol merupakan salah satu kunci untuk menghadang laju penyalahgunaan kekuasaan termasuk praktik korupsi.

Dalam konteks itu, tindakan badan anggaran mengembalikan wewenang pembahasan anggaran kepada pimpinan DPR merupakan bentuk penyalahgunaan dan pengingkaran terhadap UUD 1945. Dengan langkah itu, badan anggaran secara terbuka melakukan serangan dan tekanan kepada KPK. Padahal, dalam proses pene gakan hukum, langkah memanggil siapa saja yang diduga terkait dengan sebuah tindak pidana merupakan tindakan normal untuk memotret peristiwa itu secara utuh.

Dalam konteks itu, langkah badan anggaran tidak hanya menggambarkan secara nyata betapa kuatnya resistensi mereka terhadap upaya penegakan hukum. Lebih dari itu, perlawanan terbuka yang dilakukan badan anggaran dapat saja membenarkan dan menguatkan meluasnya praktik mafia anggaran di DPR.
Misalnya, jauh sebelum kasus suap Kemenakertrans terkuak ke permukaan, salah seorang anggota badan anggaran Wa Ode Nurhayati menjelaskan kepada publik betapa dahsyatnya jejaring mafia anggaran di DPR.

Bila itu ditambah dengan kicauan yang keluar dari mulut mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, sulit mengatakan bahwa penjelasan Wa Ode bukan fakta yang terjadi di badan anggaran.
Karena itu, begitu KPK berupaya menjamah penyusunan anggaran di badan anggaran, pimpinan badan tersebut segera menjadikan upaya penegakan hukum sebagai bentuk gangguan atas fungsi anggaran DPR. Sejauh ini, publik membaca bahwa resistensi badan anggaran merupakan strategi yang harus dilakukan agar KPK tidak bergerak lebih jauh dalam menjamah jejaring mafia anggaran di DPR. Intimidasi via RDP Jamak dipahami, jika langkah penegakan hukum berpotensi merugikan anggota partai politik dan partai politik sendiri, DPR acap kali menggunakan instrumen rapat dengar pendapat (RDP) untuk `bertemu' de ngan lembagalembaga penegak hukum.

Instrumen itu pula yang digunakan DPR untuk mempersoalkan tindakan KPK dengan menggelar RDP dengan kepolisian dan kejaksaan, Kamis (29/9). Untungnya, karena alasan tidak boleh bertemu dengan pihak yang sedang beperkara, KPK tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Sekiranya hadir, bukan tidak mungkin DPR akan menggunakan RDP untuk mengintimidasi KPK.

Dalam desain besar pemberantasan korupsi, penegak hukum sadar bahwa dukungan politik DPR diperlukan.
Bagaimanapun, di satu sisi, bagi negara dengan praktik korupsi yang sangat masif, dukungan politik sangat diperlukan dalam agenda percepatan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, sering pula penegak hukum terpenjara dalam segala macam permintaan DPR, salah satunya menutup sejumlah kasus. Sebagaimana pernah diwarta kan Media Indonesia (30/4 & 1/5/2010), melalui RDP Komisi III dengan KPK, komisi hukum DPR itu mem pertanyakan langkah KPK menahan sejumlah kepala daerah yang berasal dari partai politik.

Celakanya, di ujung teror itu, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan penanganan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan rekan mereka dari sejumlah partai politik, di antaranya kasus penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005-2007 Kabupaten Boven Digul yang merugikan keuangan negara sebesar Rp49 miliar. Permintaan yang sama juga ditujukan dalam kasus penyalahgunaan dana APBD 2000-2007 Kabupaten Langkat yang merugikan negara Rp31 miliar dengan tersangka bekas Bupati Langkat Syamsul Arifin.
Selain di daerah, Komisi III DPR juga meminta penghentian penanganan skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.

Terkait dengan intimidasi tersebut, dalam tulisan berjudul `Makelar Kasus Berjubah Legislatif?' (Media Indonesia, 3/5/2010) dinyatakan, tindakan seperti itu merupakan bentuk pelanggaran atas kode etik yang sangat serius. Sebagaimana diketahui, kode etik DPR menegaskan bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatan untuk memengaruhi proses peradilan guna kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Bahkan, apabila mau bertindak lebih jauh, manuver badan anggaran itu dengan mudah dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice), yang bisa diancam dengan pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal 12 tahun.
Kepongahan DPR?
Adakah manuver badan anggaran ini merupakan gambaran dari kepongahan DPR?
Pertanyaan itu begitu masuk akal bila dimunculkan ke permukaan. Alasannya sangat sederhana, sampai sejauh ini tidak ada di antara pimpinan DPR yang melihat manuver itu sebagai sebuah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi.
Bahkan, pimpinan DPR dan Komisi III akan melaksanakan RDP dengan KPK.

Yang dikhawatirkan publik, RDP akan berubah menjadi forum untuk mengintimidasi KPK. Gejala itu dapat dibaca dari pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie yang mengemukakan agar KPK tidak lagi melanjutkan pemeriksaan terhadap anggota badan anggaran.

Dalam hal ini, sangat menarik un tuk menyimak `seru an' anggota dewan da ri Fraksi Partai Demokrat, Didi Ira wadi Syamsuddin, yang disam paikan via Blackberry Messenger, `Sehubungan dengan ide penundaan pimpinan badan anggaran adalah kurang bijak sebab akan semakin memicu spekulasi negatif kepada badan anggaran'. Ditambahkan Didi Irawadi, `KPK memeriksa untuk kepentingan rakyat. Jadi tidak ada alasan meminta KPK menunda pemeriksaan badan anggaran'.
Seruan itu membuktikan tidak semua anggota DPR membenarkan sikap badan anggaran.
Namun, perbedaan-perbedaan di kalangan internal DPR tidak muncul ke permukaan.

Karena anggota badan anggaran me rupakan perwakilan fraksi, setiap fraksi yang berbeda sikap dengan badan tersebut seharusnya melakukan langkah konkret dan tegas.
Misalnya, sebagai perwakilan fraksi, mereka yang tidak setuju seharusnya memberikan sanksi kepada wakil fraksi yang menggunakan institusi DPR untuk membentengi diri dari proses hukum. Karena sikap perbedaan itu tidak muncul, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa manuver badan anggaran sekaligus menjadi potret kepongahan DPR.

*Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang dan Visiting Scholar Gakushuin University, Tokyo

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/10/03/ArticleHtmls/Manuver-Banggar-Kepongahan-DPR-03102011017005.shtml?Mode=1