Saldi Isra

Media Indonesia, 22 Agustus 2016

Dalam beberapa tahun terakhir, MPR RI memperingati salah satu hari penting dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, yaitu Hari Konstitusi. Penanggalan yang dipilih untuk memperingati Hari Konstitusi ialah 18 Agustus.

Jika melacak sejarah perkembangan konstitusi, pilihan pada 18 Agustus didasarkan pertimbangan: konstitusi yang berlaku pada saat ini, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditetapkan pendiri negara dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945.

Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan sampai 71 tahun merdeka pula, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pernah pula berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (1950-1959).

Bahkan, sekalipun konstitusi yang didesain pendiri bangsa telah diubah empat kali oleh MPR pada 1999-2002, pilihan 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi memiliki akar dan nilai historis yang kuat karena sekaligus menggambarkan ketersambungan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan konstitusi yang berlaku sekarang.

Karena itu, di tengah suasana memperingati Hari Konstitusi, pada tempatnya direnungkan desain konstitusi (UUD 1945) membangun praktik ‘konstitusionalisme’ dan ‘demokrasi konstitusional’.

Sebagaimana dinukilkan Cass R Sunstein dalam Designing Democracy, What Constitution Do (2001), tujuan utama membentuk konstitusi ialah untuk menciptakan prakondisi bernegara yang mampu menjadikan kehidupan berdemokrasi berjalan secara baik (to create the preconditions for a well-functioning democratic order).

Karena itu, salah satu bentuk keberhasilan membentuk konstitusi ialah membangun konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional. Konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional Secara sederhana, konstitusionalisme ialah paham penyelenggaraan negara, yaitu adanya pembatasan kekuasaan di antara cabang-cabang kekuasaan negara. Pembatasan itu kemudian melahirkan konsep checks and balances di antara lembaga negara.

Tak hanya itu, pembatasan juga dibangun dalam desain adanya jaminan terhadap hak-hak dasar warga negara. Dalam penyelenggaraannya, jaminan terhadap hak dasar warga negara sekaligus menimbulkan kewajiban melindungi hak-hak dasar tersebut.

Ihwal hubungan di antara cabang-cabang kekuasaan negara, konstitusi harus dapat membuat desain sedemikian rupa agar relasi di antaranya tidak menimbulkan penumpukan kuasa pada salah satu cabang kekuasaan negara. Desain hubungan yang seimbang akan menjadi kunci dalam membangun relasi di antara lembaga negara.

Bila desain bernegara dibangun dengan wewenang atau kuasa yang lebih besar terhadap lembaga tertentu, relasi yang terbangun tak mungkin mewujudkan mekanisme checks and balances dalam pengertian yang sesungguhnya.

Sementara itu, demokrasi konstitusional ialah pemerintahan yang kekuasaan politik dan kekuasaan pemerintah dibatasi konstitusi atau undang-undang dasar.

Dalam pandangan Miriam Budiardjo (2008), demokrasi konstitusional merupakan gagasan bahwa pemerintahan demokratis ialah pemerintah yang terbatas kekuasaannya. Pandangan demikian sejalan dengan tujuan dibentuknya konstitusi sebagai langkah konkret melakukan pembatasan kekuasaan. Bagaimanapun, kekuasaan yang tanpa pembatasan akan cenderung diselewengkan atau disalahgunakan.

Desain konstitusi yang baik harus mampu mencegah penumpukan kuasa di tangan satu lembaga. Dalam batas penalaran yang wajar, penumpukan kekuasaan pada satu cabang atau lembaga negara tertentu potensial menghadirkan penyalahgunaan kekuasaan. Ihwal ini, Lord Acton mengingatkan kekuasaan cenderung disalahgunakan, semakin memupuk kekuasaan di satu tangan atau lembaga absolut maka penyalahgunaannya akan makin absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).

Pandangan Lord Acton tersebut menjadi postulat yang meniscayakan pentingnya pembatasan kekuasaan.

Dalam pengertian itu, gagasan pembatasan kuasa bergerak dinamis di tengah putaran demokrasi konstitusional. Terkait dengan penjelasan di atas, dalam teori hukum tata negara, kehadiran konstitusi tidak hanya membatasi cabang kekuasaan dalam negara, tetapi juga untuk mengatur bagaimana keseimbangan relasi di antara lembaga-lembaga negara.

Desain yang menuju pada keseimbangan itu dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan di satu lembaga negara saja. Tidak hanya dalam praktik kenegaraan Barat, ide dan demokrasi konstitusional bergerak sejalan dengan perkembangan sejarah Indonesia. Perdebatan ketika merumuskan UUD 1945, misalnya, merupakan bentuk nyata pencarian dan perumusan ide awal negara demokrasi konstitusional Indonesia.

Hasil perubahan

Terlepas dari segala perdebatan di sekitar hasil perubahan UUD 1945, hukum dasar yang berlaku sekarang telah menghasilkan desain baru dalam relasi antarlembaga negara. Rancang bangun yang paling menonjol antara lain diubahnya kuasa MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Sebelum perubahan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sekarang, daulat tetap di tangan rakyat tetapi dilaksanakan menurut UUD. Dengan perubahan itu, MPR tidak lagi berada di puncak piramida kekuasaan negara sehingga tidak dimungkinkan membuat desain lembaga-lembaga negara bertanggung jawab ke MPR. Sekalipun bukan lembaga tertinggi negara, MPR masih memiliki kewenangan tertentu yang dilaksanakan untuk kebutuhan tertentu pula.

Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, hanya MPR-lah yang dapat melakukan perubahan formal terhadap UUD 1945. Selain itu, MPR dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai dengan ujung proses yang ditentukan Pasal 7B UUD 1945. Begitu pula dalam hal kekosongan jabatan wakil presiden, MPR memilih penggantinya.

Sama halnya bila presiden dan wakil presiden berhenti, diberhentikan, dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatan secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang untuk mengisi kekosongan tersebut. Karena wewenang MPR lebih pada kondisi tertentu, desain pembatasan kuasa di antara lembaga negara lebih fokus kepada pemegang kuasa legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dalam kuasa legislatif, UUD 1945 menentukan DPR memiliki fungsi-fungsi konstitusional dan menentukan hak-hak konstitusional anggota DPR. Bila fungsi dan hak anggota tersebut dilaksanakan dengan baik, checks and balances antara DPR dan pemegang kuasa eksekutif (presiden) bisa terlaksana dengan baik.

Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang menghendaki pembahasan dan persetujuan bersama presiden dan DPR bagi setiap rancangan undang-undang, misalnya, telah memberikan horizon baru dalam fungsi legislasi. Sekalipun masih terus berupaya menemukan formula yang tepat penggunaan ‘pembahasan dan persetujuan bersama’ dalam pembentukan undang-undang, hingga saat ini ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan (3) mampu mewadahi keinginan presiden dan DPR dalam membentuk undang-undang.

Ihwal ini, studi Djayadi Hanan (2014) menunjukkan pengaturan Pasal 20 ayat (2) dan (3) berhasil menjembatani hubungan DPR dan presiden dalam proses legislasi. Konsekuensi pengaturan tersebut, bilamana dalam penyelenggaraan terdapat kualitas undang-undang yang tidak memadai atau penyelesaian undang-undang berada di bawah target program legislasi nasional, pihak yang bertanggung jawab ialah presiden dan DPR.

Begitu pula dengan hak-hak konstitusional anggota DPR, penggunaannya pun memberikan ruang bagi semua anggota DPR, misalnya melakukan pengawasan atas penyelengaraan roda pemerintah yang dilakukan eksekutif. Sampai sejauh ini, hampir tidak pernah ada agenda eksekutif yang lepas dari pengawasan anggota DPR.

Karena itu, eksekutif tak bisa ‘bergerak’ bebas tanpa pengawasan anggota DPR. Pengalaman setelah perubahan UUD 1945 jelas jauh berbeda dengan bentangan empiris pada saat penyelenggaraan pemerintah, misalnya ketika era Orde Baru. Tidak hanya antara pemegang kuasa eksekutif dan pemegang kuasa legislatif, pemegang kuasa yudikatif juga dapat melakukan penilaian terhadap kerja legislasi dilakukan pembentuk undang-undang.

Ihwal ini, dengan merujuk ketentuan Pasal 24C UUD 1945, konstitusionalitas undang-undang yang dihasilkan presiden dan DPR (termasuk yang melibatkan DPD) bisa dinilai Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal terdapat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, MK diberi wewenang untuk menyatakannya tidak memiliki kekuatan mengikat. Dengan pengaturan kewenangan MK sebagai salah pemegang kekuasaan kehakiman tersebut, pembentuk undang-undang menjadi lebih berhati-hati.

Momentum evaluasi

Secara akademik, hampir semua hasil penelitian yang terkait dengan UUD 1945 pascaperubahan menyimpulkan bahwa substansi konstitusi lebih demokratis bila dibandingkan dengan sebelum perubahan. Namun, sejumlah kajian akademik pun sampai pada kesimpulan bahwa masih terdapat beberapa substansi yang memerlukan kajian komprehensif. Misalnya di ranah segitiga DPR-DPD-MPR, UUD 1945 hasil perubahan masih menyisakan persoalan.

Di antara persoalan memerlukan ‘perhatian’ berkaitan dengan posisi DPD yang tidak determinan ihwal relasi pemegang kekuasaan legislatif. Sekiranya posisi DPD bisa dioptimalkan sehingga bisa terbangun mekanisme checks and balances di internal lembaga legislatif.

Begitu pula dengan MPR, sebagai lembaga yang yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, posisi dan peran ideal MPR harus ditempat secara tepat, misalnya dengan substansi hasil perubahan menjadi tidak tepat memosisikan MPR sebgaimana dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Pemikiran yang mengarah atau menghendaki MPR sebagaimana posisi sebelum perubahan UUD 1945 sulit tertampung dari desain dan pengaturan setelah perubahan.

Artinya, menggerakkan MPR kembali berada di puncak piramida semua lembaga negara jelas tak sejalan dengan keinginan pengubah UUD 1945 dan demokrasi presidensial yang disepakati. Karena itu, jikalau hendak mulai memikirkan ke arah perubahan, harusnya sejalan dengan ide konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional yang ada dalam konstitusi. Bergerak ke arah yang berbeda sangat mungkin menghadirkan rangkaian anomali dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam konteks itu, peringatan Hari Konstitusi yang berlangsung setiap tahun dapat dijadikan sebagai momentum untuk menilai dan mendiskusikan masalah dan praktik konstitusi setelah perubahan. Kalau akhirnya hasil dari semua proses tersebut akan bermuara para perubahan konstitusi, prosesnya harus dilakukan secara terencana, matang, hati-hati, dan parstisipatif dari semua komponen bangsa. ( Sumber: Media Indonesia, 22 Agustus 2016)

Tentang penulis:

Saldi Isra Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas