MAJALAH DETIK, EDISI 166  | 2 - 8 FEBRUARI 2015

BERBEDA dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono, duet Joko Widodo-Jusuf Kalla memang tak memberikan target apa pun soal seratus hari pemerintahannya. Padahal, bagi sebagian masyarakat, momentum seratus hari pertama bisa digunakan untuk melihat seberapa besar pemerintahan baru bergerak sesuai dengan kehendak pemilih yang telah memberi mandat melalui pemilu. Selain itu, hitungan seratus hari sekaligus menilai komitmen awal dalam memenuhi pohon janji selama masa kampanye.

Dibanding SBY-Boediono, kondisi yang dihadapi Jokowi-JK dalam seratus hari pertama memang jauh lebih terjal dan berliku. Bak pengantin baru, keduanya nyaris tak menikmati bulan madu. Sejak dari awal mereka dihadapkan pada impitan persoalan yang tak sederhana, seperti rongrongan dari lawan-lawan politiknya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Dalam perjalanan, tekanan juga datang dari sebagian partai politik yang mendukung pencalonan mereka.

Tentu saja kondisi semacam itu bukan menjadi alasan untuk tidak mulai memenuhi pohon janji selama masa kampanye. Bahkan, untuk hadir sebagai pemerintah yang kuat, kemampuan keluar dari berbagai tekanan menjadi batu ujian dalam menghela roda pemerintahan hingga lima tahun.

Penegakan Hukum

Tak terbantahkan, penegakan hukum merupakan salah satu agenda besar yang mesti dikelola secara tepat oleh siapa saja yang memerintah negeri ini. Pasangan Jokowi-JK menyadari hal ini, sehingga berikrar untuk memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya seperti tercantum dalam Nawa Cita.

Ihwal ini, dalam Nawa Cita dinyatakan akan mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan. Bentuk penegasan dukungan agenda pemberantasan korupsi, Jokowi-JK akan memastikan sinergi di antara kepolisian, Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK. Selain itu, diperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dalam penegakan hukum kasus korupsi.

Tapi secara jujur harus dikemukakan, dalam seratus hari pertama ini, belum terlihat adanya upaya konkret pemenuhan janji dalam Nawa Cita tersebut. Alat ukur sederhana yang dipakai adalah bagaimana Presiden memilih dan mengisi tiga jabatan penting di lingkungan pemerintahan, yaitu pengisian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI.

Ketika Presiden Jokowi memilih Menteri Hukum dan HAM dari partai politik, publik masih dapat mengerti dan memahami pilihan itu. Penilaian umum yang muncul, karena Presiden memerlukan figur yang lebih mudah berkomunikasi dengan semua kekuatan politik di DPR, terutama untuk memudahkan pelaksanaan agenda legislasi. Tapi, ketika Presiden Jokowi juga memilih H M. Prasetyo sebagai Jaksa Agung, meski pernah lama berdinas sebagai jaksa, publik menilainya lebih sebagai representasi Partai NasDem. Beruntung perdebatan cepat mereda karena sosok Prasetyo tak begitu kontroversial.   

Awan Gelap

Mendekati seratus hari pemerintahan Jokowi-JK, wilayah penegakan hukum dilingkupi gumpalan awan gelap. Kondisi ini dimulai dengan beredarnya kabar bahwa mantan ajudan Megawati Soekarnoputri, Komjen Budi Gunawan, akan diusulkan menjadi calon Kapolri menjadi nyata. Komitmen Jokowi dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, pun digugat banyak pihak. Sebab, nama yang bersangkutan pernah masuk daftar sejumlah perwira tinggi kepolisian yang terindikasi memiliki rekening tambun alias rekening tak wajar.

Ketika KPK kemudian menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka hanya selang beberapa hari setelah diajukan Presiden ke DPR, sejumlah kalangan berpan- dangan nama itu akan langsung ditarik kembali dan diganti nama lain. Namun, entah kekuatan apa yang berada di balik proses ini, Jokowi tidak melakukan hal itu.

Awan gelap menuju seratus hari menjadi kian pekat ketika penetapan status tersangka bagi Budi Gunawan merambat menjadi serangan hebat ke KPK. Tiba-tiba Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan langkah penangkapan.

Dalam batas penalaran yang wajar, sulit menyatakan bahwa tindakan “tidak senonoh” yang dialami Bambang Widjojanto tak terkait sama sekali dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka.

Bahkan, tidak akan selesai di Bambang Widjojanto, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang lain sangat berpeluang terus berlangsung.

Melihat perkembangan yang terjadi, sulit dibantah, seratus hari pemerintahan Jokowi-JK benar-benar diselimuti awan gelap nan pekat. Saat ini publik tak hanya resah melihat upaya sistematis untuk melemahkan KPK, tapi juga sedang menunggu perkembangan yang terjadi di lembaga antirasuah ini.

Yang paling ditakutkan, kisruh ini akan berujung pada kematian KPK. Karena itu, tidak berlebihan jika banyak pihak berharap Presiden Jokowi mengajukan nama lain ke DPR sebagai calon Kapolri.

Jika ini dilakukan, Jokowi tak hanya menyelamatkan agenda penegakan hukum dalam Nawa Cita, tetapi juga dapat menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.

 

Lebih jauh dari itu, jika gagasan tersebut dilaksanakan, Jokowi-Kalla mampu sedikit memberi embusan angin untuk menggusur awan gelap tersebut. Artinya, ini dapat menjadi sedikit menyelamatkan muka Jokowi-JK dalam peringatan seratus hari pemerintahan mereka. Semoga!