Kompas 12 Agustus 2003
Perekrutan Hakim Konstitusi
Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat
dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
Melalui rapat paripurna luar biasa (06/08-2003), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhasil menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi. Peristiwa itu terasa luar biasa tidak hanya karena dilaksanakan pada saat masa reses tetapi juga karena kemampuan anggota DPR “mencuri” waktu di tengah penyelenggaraan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR). Hasil paripurna luar biasa itu memberikan titik terang untuk tidak terjadinya pelanggaran konstitusi berjamaah antara DPR dan Presiden.
Dari semua proses yang telah dan akan dilakukan, persetujuan RUU hanya menjadi salah satu tahapan penting saja dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi. Tahapan penting lainnya yang segera di depan mata adalan pengisian (rekrutmen) Hakim Konstitusi. Sesuai dengan tenggat waktu yang terdapat dalam Pasal III Aturan Peralihan (AP) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, proses rekrutmen Hakim Konstitusi harus selesai dilakukan oleh DPR, Mahkamah Agung (MA), dan Presiden.
Mencermati perkembangan selama masa pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi, mayoritas publik menginginkan pengisian Hakim Konstitusi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sangat obyektif. Keinginan itu terkait dengan pengalaman pengisian pejabat negara sebelumnya yang sangat kental dengan kalkulasi politik jangka pendek. Sebagai penjaga konstitusi (guardian of constitution), pertimbangan politik sesaat dalam rekrutmen Hakim Konstitusi sangat berpotensi merusak keberadaan Mahkamah Konstitusi.
***
Jauh hari, dalam tulisan Membangun Mahkamah Konstitusi (Kompas, 23/06-2003), saya mengingatkan bahwa Undang-Undang Mahkamah Konstitusi harus mampu meletakkan dasar yang kokoh dalam proses rekrutmen Hakim Konstitusi. Semua itu hanya mungkin dilakukan kalau undang-undang mampu (1) menciptakan kriteria dan standar bagi ketiga institusi yang menjadi sumber rekrutmen, (2) membuka ruang adanya partisipasi publik selama proses rekrutmen berlangsung, dan (3) mengelaborasi Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 terutama untuk mendapatkan hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Kalau dibaca dengan teliti, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara rinci kriteria dan standar rekrutmen yang harus dilakukan. Undang-undang hanya menentukan bahwa pemilihan Hakim Konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang mengajukan Hakim Konstitusi. Memang ada tambahan yang harus dijadikan catatan khusus bahwa proses seleksi itu dilakukan secara obyektif dan akuntabel yang didahului dengan pencalonan secara transparan dan partisipatif.
Dengan dibukanya ruang kepada lembaga-lembaga yang berwenang mengajukan Hakim Konstitusi untuk menentukan proses rekrutmen, maka sulit dapat diharapkan adanya tempat untuk partisipasi publik secara lebih luas. Kiranya, partisipasi publik hanya mungkin diharapkan di DPR karena lembaga ini memang mempunyai aturan seleksi pejabat negara dalam bentuk fit and propert test. Sementara itu, untuk calon yang berasal dari Presiden dan MA tidak mungkin diharapkan seperti proses yang dilakukan oleh DPR. Setidaknya, sampai akhir minggu lalu, Presiden belum mempublikasikan nama-calon yang akan diseleksi. Hal yang sama terjadi juga di MA.
Bagi DPR, khusus dalam melakukan rekrutmen Hakim Konstitusi, akan lebih baik kalau mekanisme fit and propert test dimodifikasi yaitu dengan melibatkan tokoh-tokoh yang punya pengetahuan memadai tentang konstitusi dan ketatanegaraan. Misalnya, dengan adanya persyaratan bahwa calon Hakim Konstitusi berusia tidak lebih dari 67 tahun, amat layak difikirkan untuk melibatkan beberapa orang tokoh senior seperti Sri Soemantri, Ismail Suny, Solly Lubis, dan Ruslan Abdul Gani selama fit and propert test.
Dengan cara seperti itu, DPR akan mampu memperkecil kemungkinan pertarungan politik antar-fraksi. Tidak hanya itu, kehadiran tokoh-tokoh senior itu mampu digunakan oleh DPR untuk mengetahui kemampuan penguasaan konstitusi dan ketatanegaraan calon Hakim Konstitusi. Setidaknya, kesan lucu yang muncul selama ini bahwa orang yang menyeleksi mempunyai kemampuan di bawah yang diseleksi dapat dihindari. Saya percaya, kalau ini dilakukan, proses dan hasil rekrutmen yang dilakukan oleh DPR akan diterima lebih luas oleh publik.
Semetara itu, bagi Presiden, sebaiknya segera mengumumkan calon yang akan diseleksi. Sebab, dilihat dari konteks proses yang partisipatif, keterlambatan mempublikasikan nama-nama calon dapat mengurangi hak publik untuk berpartisipasi secara maksimal. Tidak ada salahnya juga jika Presiden melakukan fit and propert test seperti mekanisme yang ada di DPR. Pelaksanaan itu dapat saja dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan Jaksa Agung sepanjang dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
Barangkali, yang jauh lebih mencemaskan adalah kecenderungan yang terjadi di MA. Menurut Ketua Bagir Manan, MA tidak akan memberikan kesempatan kepada masyarakat berpartisipasi selama proses rekrutmen berlangsung. Bahkan dengan alasan sudah tahu dengan semua calon hakimnya, Bagir Manan menyatakan bahwa MA tidak merencanakan melakukan fit and propert test terhadap calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan (Media Indonesia, 09/08-2003).
Dilihat dari prinsip pencalonan yang dilaksanakan secara transaparan dan partisipatif, partisipasi merupakan sebuah keniscayaan. Bisa saja, Ketua MA sudah mengenal semua hakim yang akan dicalonkan tetapi hak publik untuk menilai nama-nama yang dinominasikan sebagai calon Hakim Konstitusi tidak bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi, Penjelasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengisyaratkan bahwa calon harus dipublikasikan di media massa agar publik mempunyai kesempatan memberikan masukan terhadap nama-nama yang akan diseleksi sebagai Hakim Konstitusi.
Tidak hanya itu, partisipasi publik penting artinya untuk mendapatkan Hakim Konstitusi sesuai dengan kehendak konstitusi. Ini erat kaitannya dengan Pasal 24C ayat (5) yang mensyaratkan bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Barangkali, segala upaya yang memungkinkan hadirnya calon Hakim Konstitusi yang bermasalah dapat dikurangi dengan adanya tekanan publik.
***
Publik menyadari, dalam situasi seperti sekarang ini tidak mudah mendapatkan sembilan orang Hakim Konstitusi yang secara kumulasi dapat memenuhi persyaratan Pasal 24C ayat (5). Bahkan, persyaratan itu jauh lebih berat jika dibandingkan dengan syarat during good behaviour yang terdapat dalam Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat (AS). Kesulitan ini akan semakin bertambah karena Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara limitatif membatasi bahwa calon Hakim Konstitusi berumur tidak lebih dari 67 tahun.
Meskipun demikian, kondisi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mendapatkan Hakim Konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Saya percaya, peran publik dalam proses rekrutmen dapat membantu menentukan Hakim Konstitusi yang ideal. Kecuali, memang sudah ada design untuk melakukan pembusukan sejak dini terhadap Mahkamah Konstitusi.

