Pasal UU Perlindungan Saksi
Dinilai Merusak
"Penegak hukum setinggi Susno saja tidak bisa diproteksi UU, apalagi yang lebih rendah."
KAMIS, 19 AGUSTUS 2010, 12:02 WIB
Ita Lismawati F. Malau, Suryanta Bakti Susila
Saldi Isra

VIVAnews - Ahli tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, menilai Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berpotensi merusak tujuan awal pembentukan undang-undang tersebut. Dia pun menilai pasal ini bertentangan dengan UUD 1945. 

Adapun bunyi pasal ini adalah: 'Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.'

"Memang ada ruang yang bisa menimbulkan banyak penafsiran dalam ketentuan pasal ini," kata Saldi dalam sidang di uji materiil Pasal 10 ayat 2 UU 13/2006 di gedung MK, Kamis 19 Agustus 2010. 

Dia mencontohkan frasa 'saksi yang juga tersangka.' Frasa ini, lanjut dia, bisa menimbulkan multipersepsi. "Apakah saksi duluan, atau tersangka duluan? Ini bisa menimbulkan kekeliruan dalam penerapan," kata Saldi.

Hal ini lah, menurut Saldi, yang terjadi pada pemohon prinsipal, Susno Duadji. "Penegak hukum setinggi Susno saja, tidak bisa diproteksi UU, apalagi orang yang posisinya lebih rendah," kata dia.

Profesor ini menilai, pasal ini melanggar asas pembentukan perundang-undangan dimana aturan dalam UU harus jelas dan tidak menimbulkan banyak tafsir.

Selain itu, Saldi juga membedah pasal ini dengan pendekatan sistemik. Pasal 10 ayat (2), kata dia, masuk dalam Bab II yang berjudul 'Perlindungan Saksi dan Korban.' Pemahaman Saldi sebagai ahli, semua norma yang ada dalam bab ini harus memberikan perlindungan saksi dan korban. Dia menilai, alih-alih melindungi, Pasal 10 ayat (2) ini justru secara terang-terangan dapat mengancam saksi dan korban.  "Ini yang dialami permohon prinsipal." 

Dalam sidang, Saldi pun memberikan argumentasi bahwa Pasal 10 ayat (2) tidak memberikan mafaat dalam skala yang lebih besar, pemberantasan korupsi. 

Selain merusak kepastian hukum--karena tidak ada kejelasan dan multitafsir--, pasal ini juga membuat saksi dan korban takut memberikan keterangan. Padahal, kata dia, saksi terutama whistleblower menjadi faktor utama pengungkapan kasus skandal suap, korupsi, dan mafia hukum. "Berpotensi merusak asas kemanfaatan karena pasal ini menimbulkan ketakutan bagi saksi kasus korupsi," kata dia. 

Pasal 10 ayat (2) ini, tambahnya, justru memberikan pesan bagi publik  bahwa tidak ada jaminan bagi saksi dan korban. "Ketentuan itu makin menyulitkan penegak hukum untuk mendapatkan saksi kunci skandal suap atau korupsi."

Pada akhirnya, penegak hukum makin sulit membongkar mafia hukum, terutama di internal institusi penegak hukum itu sendiri. "Sekelas Susno saja bisa mendapat perlakukan seperti saat ini, apalagi penegak hukum di level rendah." 

Pada kesimpulan akhirnya, Saldi menilai pasal ini bertentangan dengan UUD 1945. Untuk itu, MK harus mendudukkan pasal yang digugat Susno itu pada posisi yang tepat. "Makin hari, makin sulit menemukan orang yang mau mewakafkan waktu dan dirinya untuk membongkar mafia hukum."

Sumber:http://nasional.vivanews.com/news/read/171984-saldi--pasal-uu-psk-merusak