SENIN, 14 NOVEMBER 2011 | 04:41 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. tak mempersoalkan rencana Komisi Yudisial menyadap hakim yang nakal. Menurut dia, rencana yang dipayungi hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 itu adalah bagian dari fungsi pengawasan terhadap hakim yang dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Mahfud mengatakan tak khawatir. Dia bahkan mengaku telah menyetorkan semua nomor telepon anak-istrinya serta laporan harta kekayaan dan nomor rekening tabungannya. "Mulai dari yang ratusan juta sampai yang cuma ratusan ribu," katanya di Jakarta, Minggu 13 November 2011.

Beberapa pengamat hukum juga tak mempersoalkan rencana komisi tersebut. Hanya, Komisi Yudisial diminta bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan. "Biar lebih optimal dan tidak menimbulkan kesan tumpang-tindih," kata pengamat hukum Universitas Andalas, Saldi Isra.

Saldi menilai penyadapan itu sebagai langkah perbaikan bagi wajah hukum dan peradilan di Indonesia Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, sependapat. Menurut Asep, penyadapan berguna untuk mengungkapkan hakim-hakim yang diindikasikan bermasalah. Menurut dia, hakim sangat rentan menerima suap terkait dengan perkara yang ditanganinya.

Sementara itu, dalam kasus suap, pemberi dan penerima sama-sama terkena hukuman. "Karena itu, jadi banyak yang tidak berani mengatakan dirinya disuap karena bisa dijerat juga," kata Asep. "Dengan penyadapan, semua bisa terungkap." Tapi dalam pelaksanaannya, kata Asep,

Komisi Yudisial harus meminta kepada kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu, Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri mengatakan penyadapan hanya untuk hakim yang terindikasi melanggar kode etik. Indikasi itu bisa didapatkan dari laporan masyarakat, media massa, dan lembaga swadaya masyarakat serta informasi yang dihimpun Komisi Yudisial.

l RIKY FERDIANTO | RIRIN AGUSTIA

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/11/14/brk,20111114-366358,id.html