KEUANGAN NEGARA

Rabu, 27 Juli 2011

JAKARTA (Suara Karya): Undang-Undang APBNP 2011, yang pekan lalu disahkan forum rapat paripurna DPR, potensial disalahgunakan para calo anggaran.
Itu, menurut ekonom Dradjad Wibowo, dikarenakan banyak alokasi anggaran bersifat sementara dan belum jelas peruntukannya.
Bagi Dradjad, pembahasan APBNP 2011 di DPR tidak mencerminkan perencanaan anggaran yang taat azas. "Ketika disahkan dalam rapat paripurna, sejumlah pos anggaran belum final dibahas," katanya di Jakarta, kemarin.
Secara hukum, itu memang tidak masalah. Tapi, kata Dradjad, bukan berarti angka-angka APBN atau APBNP bisa dibuat sementara -- rinciannya dibahas belakangan. Tapi kalau dibudayakan, praktik itu menunjukkan kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam penganggaran.
Selain itu, perencanaan anggaran menjadi tidak taat azas karena bujet negara dibahas dengan angka asal comot dulu dan urusan belakangan. Di sisi lain, "Itu juga memperbesar kesempatan bagi tindak korupsi dalam jumlah sangat besar," ujar Dradjad.
Menurut dia, peluang korupsi dalam pelaksanaan APBNP 2011 menjadi sangat besar karena angka belanja yang tidak final niscaya menjadi santapan empuk calo-calo anggaran.
Dilihat dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), menurut Drajad, UU APBNP 2011 bertentangan dengan konstistusi dan Tap MPR tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga bisa diuji-materikan ke Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, Dradjad menantang kalangan praktisi hukum untuk mencari prinsip-prinsip ketatanegaraan yang paling relevan. "Saya yakin UU APBNP 2011 ini sangat mudah dibatalkan," katanya seolah memberi semangat.
Rapat paripurna DPR, pekan lalu, mengesahkan RUU APBNP 2011 menjadi undang-undang. Meski demikian, UU APBNP 2011 menyisakan sejumlah pos anggaran yang bersifat sementara dan masih perlu difinalkan, seperti belanja pegawai, belanja barang, juga belanja modal.
Berdasar laporan Badan Anggaran DPR, 2011, belanja negara dalam APBNP 2011 tercatat Rp 1.320,75 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja pegawai sebesar Rp 182,88 miliar, belanja barang Rp 139,79 triliun, belanja modal Rp 136,88 triliun, dan bantuan sosial Rp 66,05 miliar masih merupakan angka-angka sementara.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menuturkan bahwa penyempurnaan UU APBNP 2011 oleh DPR dan pemerintah dimungkiinkan selama tidak keluar dari patokan yang sudah disepakati. "Termasuk soal pos-pos belanja negara. Meski angka patokannya tertulis sementara, realisasinya tidak boleh melampaui patokan," katanya.
Menurut Harry, perubahan APBN 2011 memang menjadi perdebatan karena alokasinya sudah ditetapkan, meski sebatas angka sementara. "Harusnya angka yang ditetapkan adalah angka patokan. Kalau ditetapkan tepat di angka itu, tidak ada pembahasan lagi," ujarnya.
Harry menyebutkan, angka belanja dalam APBNP 2011 merupakan angka patokan maksimal. Jika realisasi angka belanja melebihi angka patokan tersebut, maka pengesahan APBNP 2011 bisa dikatakan menyimpang atau bias.
"Subjek teknisnya belum selesai karena yang disepakati adalah prinsip. Masih ada ruang-ruang untuk pembahasan. Tetapi angka-angka sementara itu adalah angka maksimal," tutur Harry.
Bagi pengamat tata negara Saldi Isra, APBNP 2011 seharusnya tidak boleh diubah-ubah lagi. Dia sering menemukan penyelewengan undang-undang dengan menghilangkan ataupun menyisipkan pasal-pasal siluman seperti dalam kasus RUU Kesehatan.
Menurut Saldi, seharusnya angka-angkia dalam APBN tidak boleh berubah sama sekali. "Jangankan menukar ayat atau pasal, mengganti koma juga tidak boleh," katanya. Begitu juga dengan UU APBNP 2011, dia meminta pemerintah agar tidak melakukan perubahan setelah UU tersebut disahkan.
Di lain pihak, Menkeu Agus Martowardojo memastikan tidak akan ada lagi perubahan atas angka dalam APBNP 2011."Sudah final. Itu nggak berubah. Sudah diketok," katanya di Jakarta, kemarin. (Indra/Asep)


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=283716