TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan gugatan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011, UU MK yang digelar di MK hari ini, Jumat (16/9/2011), menggagendakan mendengar pendapat Pemerintah, dan DPR RI.
Dalam sidang yang diketuai oleh Ketua MK, Mahfud MD, pihak Pemerintah, diwakilkan oleh Dirjen Perundang-undangan Kemenkuham, Wahiduddin Adam.
Menurutnya, Pemerintah berpendapat sejumlah pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2011 tentang tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terkait kontitusionalitas norma.
"Pasal 4 ayat (4) f, g, h dan Pasal 10 UU MK tidak terkait konstitusionalitas norma," kata, Wahiduddin dalam sidang pleno pengujian UU MK yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Jumat (16/9/2011).
Selain itu, Pasal 15 ayat (2d,h) UU MK yang mengatur syarat usia minimal dan pengalaman hakim konstitusi merupakan kebijakan pembuat undang-undang (legal policy).
Ia mengutip pertimbangan putusan MK No. 15/PUU-V/2007 yang intinya menyatakan pencantuman syarat usia minimum atau maksimum untuk jabatan tertentu dalam pemerintahan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Sementara Pasal 26 ayat (5) UU MK yang mengatur sistem penggantian antar waktu jabatan hakim konstitusi juga telah memberikan kepastian hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003.
Sementara untuk Adanya unsur pemerintah, DPR, MA dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi menurutnya tidak terlepas dari komposisi pengisian jabatan hakim konstitusi yang masin-masing mengajukan tiga nama dari DPR, Pemerintah, dan MA.
"Ini semata-mata untuk check and balances. Lagipula ada unsur lain dalam MKH yaitu KY dan MK, sehingga tak mungkin hakim kontitusi terlapor dibela lembaga asalnya," kata Wahiduddin.
Adanya ketentuan larangan ultra petita, Wahiduddin berdalih setiap pengujian undang-undang para pemohon tidak hanya bergantung pada keaktifan hakim konstitusi dan prinsip ex aquo et bono (putusan yang adil), tetapi juga hakim konstitusi diberikan keleluasaan (kebebasan) untuk menjatuhkan putusan sesuai keyakinannya.
Sebagaimana diketahui, sejumlah akademisi yaitu Prof Saldi Isra, Prof Yuliandri, Prof Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zainal Arifin Mochtar, Much Ali Syafa'at, dan Feri Amsari menguji sejumlah pasal UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK.
Mereka menguji Pasal 4 ayat (4) huruf f, g, h; Pasal 10; Pasal 15 ayat (2d, h); Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2c, d, e); Pasal 45A; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (1), (2), (2a); Pasal 59 ayat (2); dan Pasal 87 UU MK.
Mereka menilai sejumlah pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 karena berpotensi merusak dan melemahkan MK. Karenanya, mereka meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.

 
	 
	
