Bedah Buku: Tidak Tepat, Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Sepenuhnya di Tangan DPRDitulis oleh dinal

Kamis, 10 Juni 2010 09:11

Jakarta, 10/6/2010 (Komisi Yudisial) - Bila proses legislasi dilihat sebagai suatu keutuhan dan tidak hanya sebagai proses produksi yang sederhana maka tidak tepat bila dikatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang sepenuhnya berada di tangan DPR. Demikian pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, dalam bukunya Pergeseran Fungsi Legislasi:Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia yang dikutip oleh Refly Harun, peneliti senior Cetro.

Refly mengungkapkan hal tersebut dalam acara Bedah Buku karya Saldi yang diselenggarakan di auditorium kantor Komisi Yudisial, Rabu (9/6). Mengutip Saldi, Refli mengatakan bahwa peran eksekutif dalam pembentukan undang-undang masih dominan. Dalam 5 tahapan pembuatan undang-undang mulai dari pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, hingga pengundangan, eksekutif (Presiden) ikut ambil bagian dalam semua tahapan. Sementara, kekuasaan DPR terhenti hanya pada proses persetujuan.

Dengan masalah yang ada tersebut, maka perlu dilakukan purifikasi (pemurnian) dan menata ulang fungsi legislasi untuk menjaga konsistensi dengan sistem pemerintahan presidensial. Dan, untuk melaksanakan purifikasi tersebut satu-satunya pilihan adalah melalui perubahan kembali UUD 1945.

Namun bagi Refly, proses seperti yang diinginkan oleh Saldi ini diakuinya tidak mudah. Ia mengibaratkan proses ini bagai membangkitkan lagi batang kayu yang sudah terendam. ”Saldi sudah tentu tahu tentang hal ini,” kata Refly dalam makalahnya.

Sementara Gayus Lumbuun, anggota Komisi III DPR RI yang juga bertindak sebagai narasumber dalam acara tersebut mengatakan bahwa memang perlu dilakukan konsistensi dan sinkronisasi antara ketentuan pasal 20 ayat (1) dan ketentuan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Menurut Gayus, bila dilakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 bidang kekuasaan legislatif,  maka apabila DPD mempunyai kewenangan legislasi perlu dinyatakan dengan tegas bahwa DPR dan DPD memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Dengan demikian, kata Gayus, pembahasan RUU hanya dilakukan oleh DPR dan DPD dalam tahap yang berbeda, tanpa melibatkan pemerintah/Presiden.

”Namun masih dimungkinkan Presiden berhak mengajukan RUU. Presiden memiliki hak veto, dan sebaliknya DPR dan DPD memiliki hak veto-override (mengoreksi hak veto Presiden),” tambah Gayus.

Pada kesempatan yang sama, Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) merincikan 8 peluang dan tantangan proses legislasi. Salah satunya adalah kewajiban penyertaan naskah akademik pada setiap RUU yang berasal dari Presiden, DPR dan DPD. Selain itu, Ery juga menambahkan bahwa laporan kinerja Badan Legislasi DPR dan Panitia Perancangan Undang-Undang juga menjadi hal penting dalam menjawab tantangan proses legislasi di Indonesia. (Humas-Dinal)

 

Source: Komisiyudisial