Tren Korupsi Kian Meningkat

05 Agustus 2010

Jakarta, Kompas - Korupsi masih menjadi momok bagi negeri ini. Jumlah kasus korupsi yang terungkap dan kerugian negara pada semester I tahun 2010 meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2009. Keuangan daerah tercatat sebagai sektor yang paling rentan dikorupsi.


Tren korupsi semester I, dari 1 Januari hingga 30 Juni 2010, itu dipaparkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/8). Peneliti senior ICW, Febri Hendri, mengakui, kasus korupsi yang dipantau adalah yang statusnya dalam tahap penyidikan oleh penegak hukum, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tersangkanya juga sudah ditetapkan.

Perkara korupsi yang terungkap dalam semester I-2010 sebanyak 176 kasus. Sebanyak 441 orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara akibat korupsi itu sekitar Rp 2,1 triliun. Pada periode yang sama tahun 2009 hanya ada 86 kasus korupsi yang disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara sekitar Rp 1,17 triliun.

”Peningkatan jumlah kasus yang terungkap itu bukan mengindikasikan peningkatan kinerja penegak hukum, tetapi karena jumlah korupsi diindikasikan meningkat, terutama korupsi yang terjadi di daerah,” kata Agus Sunaryanto, Koordinator Divisi Investigasi ICW. Penegak hukum justru menunjukkan respons yang lamban karena kasus korupsi yang terungkap itu rata-rata terjadi dua tahun sebelumnya.

Menurut Agus, baik tahun 2009 maupun 2010, keuangan daerah, terutama dalam APBD, tetap sebagai sektor yang paling rawan dikorupsi. Keuangan daerah juga menyumbang potensi kerugian negara terbesar, yaitu sekitar Rp 596,232 miliar dengan 38 kasus.

Beberapa kasus korupsi APBD dengan potensi kerugian negara yang besar selama tahun 2010 antara lain pembobolan kas daerah Aceh Utara (Nanggroe Aceh Darussalam) sebesar Rp 220 miliar, korupsi APBD Kabupaten Indragiri Hulu (Riau) sebesar Rp 116 miliar, korupsi kas daerah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) sebesar Rp 74 miliar, dan korupsi dana otonomi daerah di Kabupaten Boven Digoel (Papua) sebesar Rp 49 miliar.

Sektor yang rawan menimbulkan kerugian negara yang besar akibat korupsi adalah energi, pertambangan, dan perbankan. Sektor pertambangan, misalnya, walaupun hanya dua kasus yang ditangani, kerugian negara mencapai Rp 365,5 miliar.

Modus korupsi

Berbeda dengan periode sebelumnya, modus korupsi yang dominan tahun 2009 adalah penyalahgunaan anggaran dengan 32 kasus, tahun 2010 modusnya bergeser menjadi penggelapan (62 kasus). Menurut Agus, pergeseran modus ini kemungkinan karena dipengaruhi perubahan kondisi politik.

”Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun persiapan pemilu kepala daerah. Modus penggelapan umumnya terkait penyimpangan dana yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti dana bantuan sosial (bansos),” paparnya. Dana bansos adalah program populis yang biasa digunakan kepala daerah petahana untuk mendekati konstituen dalam pilkada.

Febri menambahkan, perubahan modus ini juga menunjukkan pelaku korupsi belajar. ”Penggelapan yang dilakukan dengan memanipulasi laporan keuangan sebenarnya lebih susah diendus, tetapi penegak hukum cukup jeli. Potensi yang belum terungkap pasti lebih banyak,” katanya.

Febri berharap lembaga audit negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan lebih mempertajam auditnya. ”Seharusnya mereka lebih banyak melakukan audit investigatif untuk membongkar penggelapan ini. Audit umum tak akan bisa,” katanya.

Kalangan swasta dengan latar belakang komisaris atau direktur perusahaan paling banyak yang dijadikan tersangka, yaitu sebanyak 61 orang. Tersangka lainnya, yang menonjol, adalah kepala bagian sebanyak 56 orang, anggota DPRD (52 orang), staf pemerintah daerah (35 orang), dan kepala dinas (33 orang). Kajian ICW menemukan korupsi terjadi di 27 provinsi.

Pilkada jadi sumber

Ketua Bidang Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menilai tingginya biaya politik, termasuk untuk mengikuti pilkada, menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya korupsi di daerah. Pilkada sering kali diwarnai politik uang. Bahkan, untuk dapat mengikuti pilkada, seorang calon juga memerlukan biaya tinggi.

”Biaya tinggi ini tak hanya untuk kampanye atau setelah menjadi calon. Bahkan, untuk internal sejumlah parpol, dalam penentuan calon, juga memerlukan biaya tinggi,” ujar Didi, yang juga anggota Komisi III DPR. Modal itu harus dikembalikan sehingga tak sedikit calon yang terjebak dalam perilaku koruptif.

Didi mengakui, salah satu akar masalah korupsi ini harus diatasi. Misalnya, saat ini Dewan membahas rancangan undang-undang yang bisa mengurangi biaya tinggi demokrasi, terutama pilkada.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra tidak heran kalau korupsi tetap merajalela di daerah karena penegak hukum masih tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. ”Mereka hanya memenuhi kebutuhan, lalu banyak kasus ecek-ecek diambil. Di Sumatera Barat, banyak kasus besar malah ditutup. Ini jelas tidak memberi efek jera,” katanya lagi.

Menurut Saldi, kepolisian dan kejaksaan tak perlu mengejar kuantitas penanganan kasus. ”Kalau bicara kualitas, tidak perlu banyak. Yang penting korupsi di episentrum dijamah,” katanya.(AIK/ANA/TRA)