Judul: Curbing Corruption in Asian
Countries: An Impossible Dream?
Penulis: Jon ST Quahu Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, 2013
Tebal: viii + 533 halaman
ISBN: 978-981-4414-65-4

Korupsi merupakan masalah sangat serius di banyak negara Asia. Praktik korupsi yang begitu masif dinilai sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi akut tahun 1997-1998. Sekiranya praktik korupsi tidak berada dalam taraf yang membahayakan, terpaan badai krisis tersebut tidak akan begitu parah.

Dilihat dampaknya, Peter Eigen (2003) menyatakan, korupsi tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memiskinkan jutaan orang di seluruh dunia.

Melihat ancaman tersebut, banyak pihak mencoba menemukan penyebab utama meruyaknya praktik korupsi. Tak sebatas penyebab, juga dikemukakan langkah strategis dan solusi dalam memberantas korupsi. Jon ST Quah, peneliti yang concern atas bahaya korupsi, mengemukakan lima sebab utama korupsi di sepuluh negara Asia, yaitu: rendahnya gaji, adanya kesempatan dan birokrasi berbelit (red tape), hukuman yang rendah, faktor budaya, dan rendahnya dukungan politik (political will).

Soal rendahnya gaji, Quah mengemukakan: aparatur negara (terutama pegawai negeri sipil) menggunakan jabatannya untuk memungut uang suap demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Pilihan memperdagangkan jabatan menjadi jalan pintas. Merujuk hasil penelitian Theodore M Smith di Indonesia tahun 1969, Quah menegaskan, dengan gaji yang rendah, tidak ada yang bisa hidup mengandalkan gaji semata.

Penyebab kedua, Quah memulai dengan pijakan: pembangunan nasional sekaligus meningkatnya peran birokrasi publik. Dengan proses yang tertutup, pengaturan mengenai akses terhadap barang dan jasa dapat dieksploitasi dengan maksud mendapatkan ”upeti” dari kelompok-kelompok yang bersaing mendapat akses terhadap barang dan jasa. Situasi dapat menjadi semakin parah dengan adanya pelayanan yang berbelit.

Mengambil contoh Indonesia, dengan mudah dikenal ada jabatan ”basah” dan jabatan ”kering”. Pembedaan itu tergantung anggaran dan akses jabatan pada kepentingan publik. Biasanya, jabatan ”basah” dimaknai sebagai kesempatan untuk mendapatkan imbalan tambahan dengan cara-cara yang tidak halal. Karena perbedaan itu, jabatan ”kering” sering dianggap sebagai takdir terburuk yang ditakuti para aparatur negara (hal 371).

Untuk penyebab ketiga, sekalipun korupsi dianggap sebagai sebuah kejahatan pada semua negara, tetapi dalam penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi sangat bervariasi. Korupsi sulit diberantas pada negara-negara yang menjatuhkan hukuman rendah. Karena itu, untuk menghambat laju korupsi, Quah mencontohkan bagaimana China secara konsisten menjatuhkan hukuman berat, termasuk hukuman mati, terutama kepada pejabat senior Partai Komunis China yang terbukti bersalah. Negara ini yakin hukuman mati mampu memberikan efek jera.

Terkait dengan penyebab keempat, Quah membuktikan bahwa budaya menjadi faktor yang mendorong perilaku koruptif di hampir semua negara Asia. Di antara bentuk budaya yang begitu mudah ”menghalalkan” praktik suap adalah pemberian hadiah. Untuk soal ini, Jepang termasuk negara yang paling luas dibahas bagaimana budaya memberi hadiah (the culture of gift-giving) dengan mudah berkembang menjadi bungkus praktik suap.

Terakhir, lemahnya dukungan politik sebagai penyebab korupsi paling penting. Bagi Quah, jika pemimpin politik suatu negara tidak komit, maka upaya pemberantasan korupsi sulit mendapatkan hasil. Salah satu bentuk lemahnya dukungan politik: ketiadaan legislasi antikorupsi yang komprehensif, pemberian anggaran, dan sumber daya manusia yang tidak memadai bagi lembaga antikorupsi.

Pandangan Quah dalam masalah ini membenarkan penilaian bahwa dukungan politik menjadi faktor kunci dalam memberantas korupsi. Bahkan, bagi negara-negara yang praktik korupsinya sangat masif, dukungan politik, terutama dari lembaga perwakilan, menjadi modal utama. Faktanya, jangankan dukungan, politisi justru berubah menjadi bandit-bandit ambisius yang secara politik tidak hanya melenggang dengan harta hasil jarahan, melainkan juga menginvestasikan harta tersebut demi kekuasaan di masa datang (hal 443).

Bukan mimpi

Dengan mengidentifikasi penyebab tersebut, Quah berpendirian bahwa memberantas korupsi bukanlah sebuah ilusi atau mimpi belaka. Untuk merealisasikannya, langkah awal yang harus dilakukan adalah menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Membangun tata kelola dengan bingkai hukum yang komprehensif akan menjadi starting-point guna menghindari munculnya pemerintahan yang kleptokrat, psikopat, dan tiran (hal 442).

Namun, di atas itu semua, hal terpenting adalah kepemimpinan politik harus dengan tulus menyatakan komitmen memberantas korupsi. Sayangnya, kata Quah, kemauan politik pada umumnya menguap begitu berkuasa. Bahkan, tidak jarang praktik politik cenderung melindungi pelaku korupsi kakap (hal 453). Sindiran Quah itu sejalan dengan pemeo yang tumbuh dalam penegakan hukum di negeri ini: ”penegakan hukum pemberantasan korupsi tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Bila kondisi demikian berlaku, kekhawatiran Quah akan menjadi nyata: strategi pemberantasan korupsi kehilangan kredibilitas dan akan berujung kegagalan.

Dalam hal lembaga antikorupsi sebagai ujung tombak perang melawan korupsi, ia harus bersih dan imparsial. Keberadaannya mesti didukung produk legislasi komprehensif yang memungkinkan lembaga ini optimal dalam desain besar pemberantasan korupsi. Demi merealisasikan mimpi tersebut, menurut Quah, ada dua indikator untuk menilai political will pelaku politik terhadap lembaga antikorupsi, yaitu anggaran lembaga antikorupsi dan rasio antara jumlah staf lembaga antikorupsi harus proporsional dan jumlah penduduk.

Jika kondisi di atas dapat diciptakan, pengalaman sukses Singapura dan Hongkong membuktikan bahwa membatasi korupsi bukanlah mimpi yang mustahil. Kedua negara pulau ini mengadopsi pola pengendalian korupsi efektif dengan mengandalkan satu lembaga antikorupsi. Karena itu, untuk negara lain (Mongolia, India, Indonesia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand), Quah berpesan agar memilih pemimpin politik yang jujur dan bersih. Sebab, hanya dengan pemimpin politik yang jujur dan bersih mimpi memberantas korupsi bisa direalisasikan.

Secara umum, penyebab dan solusi yang ditawarkan Quah dalam buku ini tidak jauh berbeda dengan pandangan banyak pihak yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi, termasuk di Indonesia. Barangkali informasi yang dipaparkan Quah akan semakin komprehensif jika upaya menghambat laju korupsi di China dan Malaysia juga menjadi bagian pembahasan. Meski demikian, buku ini mampu memberikan sumbangan luar biasa dalam menelisik praktik korupsi dan langkah-langkah pencegahannya di Asia.

Pertanyaan mendasar setelah membaca buku ini: seberapa jauh ”pesan” Quah mampu ditangkap pemimpin politik negeri ini di tengah kebutuhan menghambat laju korupsi? Tentu saja pertanyaan ini sekaligus menjadi gugatan dalam suasana memperingati Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember ini.

 

Oleh: Saldi Isra