Kompas, 14 Januari 1998
Saatnya, Perbaikan Tap MPR No XX/1966
Oleh: Saldi Isra
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas
PERDEBATAN tentang perlu tidaknya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) baru untuk memperkuat dan atau memperbaiki Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 (selanjutnya disebut dengan Tap XX) tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR) mengenai SumberTertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI, menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Discourse ini dapat dimengerti, karena MPR sedang mempersiapkan rancangan ketetapan yang akan ditetapkan dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998.
Saafroedin Bahar—anggota Komnas HAM—mengatakan, sampai saat ini tidak diperlukan ketetapan baru untuk mengingatkan dan memperkuat Tap XX, karena Tap ini masih berlaku (Kompas, 24-11-1997). Pendapat ini membantah pernyataan yang dikeluarkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) yang mengusulkan Tap MPR baru untuk mengingatkan pemerintah dan pembentuk perundangan bahwa Tap XX masih aktual.
Ikahi juga mengusulkan Tap MPR baru tersebut memuat akibat hukum, bila Tap XX tidak dipatuhi maka Mahkamah Agung (MA) akan menyatakan batal perundangan itu. (Kompas, 22-11-1997).
Benarkah tidak diperlukan Tap MPR baru untuk memperkuat dan atau memperbaiki Tap XX? Bagaimana pernyataan ini jika dihubungkan dengan Tap MPR Nomor V/1973 dan Tap MPR Nomor IX/1978? Tulisan ini mencoba menjawab persoalan tersebut. Kiranya ini dapat menjadi pemikiran kita bersama terutama anggota MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam masa bakti 1997-2002 untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Suasana Peralihan
Peralihan era Orde Lama ke Orde Baru ditandai dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Tekad ini tentu harus diikuti dengan tindakan nyata untuk melakukan perbaikan dalam sistem ketatanegaraan.
Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan adalah peninjauan terhadap seluruh produk hukum yang lahir pada masa Orde Lama. Dimana, pada masa ini lahir bentuk peraturan perundangan yang sama sekali tidak dikenal dalam UUD 1945, seperti Peraturan Presiden (Perpres) dan Penetapan Presiden (Penpres). Alasan Soekarno melahirkan bentuk peraturan ini untuk melaksanakan Dekrit Presiden.
Dalam gelora suasana peralihan, para pendukung Orde Baru berpendirian bahwa peraturan itulah yang menyebabkan terjadinya sebagian besar penyimpangan dalam praktek ketatanegaraan. Oleh karenanya perlu ada perbaikan yang sangat mendasar. Alasan itulah yang menyebabkan DPR-GR mengeluarkan “Memorandum mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI” tanggal 9 Juni 1966 yang kemudian menjadi Tap XX.
Dukungan dan penerimaan terhadap memorandum tersebut oleh MPRS dapat dilihat pada konsiderans bagian menimbang huruf (b) yang menyatakan, bahwa untuk terwujudnya kepastian dan keserasian hukum serta kesatuan tafsiran dan pengertian mengenai sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundangan RI.
Sebagai sebuah peraturan yang lahir dalam suasana peralihan, Tap XX masih terdapat banyak kelemahan sehingga perbaikan merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindari.
Hierarki perundangan
Tata urutan perundangan yang terdapat dalam Tap XX memerlukan perbaikan karena beberapa persoalan.
Pertama, peraturan dalam Tap XX tidak bersifat limitatif, karena tidak dibatasi secara jelas apa saja yang termasuk dalam tata urutan peraturan perundangan. Ini dibuktikan dengan disebutkan peraturan pelaksana lainnya. Anak kalimat dan lain-lain memberikan kesempatan yang amat luas kepada pemerintah untuk melahirkan peraturan perundangan lainnya yang bersifat regeling.
Indikasi ini dapat dilihat dengan dibenarkannya menteri melahirkan peraturan perundangan yang bersiafat regeling dalam bentuk peraturan menteri (Permen). Jika ini dikaitkan dengan pertanggungjawaban menteri dalam sistem presidensial tidak pada tempatnya menteri membuat peraturan perundangan yang bersifat regeling, karena menteri adalah pembantu presiden.
Ini berbeda dengan sistem parlementer. Dalam sistem ini menteri baik secara perorangan maupun bersama-sama bertanggung jawab kepada parlemen. Karenanya, menteri dalam sistem parlementer dapat membuat peraturan perundangan yang bersifat regeling.
Kedua, Tap XX—sebagai ketentuan yang mengatur tata urutan peraturan perundangan—terasa agak janggal karena tidak mencantumkan eksistensi peraturan perundangan yang ada di daerah. Rasanya tidak cukup kalau keberadaan peraturan perundangan di daerah dilihat berdasarka klausula peraturan pelaksana lainnya.
Oleh karena itu, demi terwujudnya kepastian dan keserasian hukum perlu ditentukan dengan jelas bentuk peraturan perundangan di tingkat pusat maupun di daerah. Tentunya dengan tetap menjaga asas lex posteriore derogat legi imperiore, baik secara formal maupun secara materiel. Dengan demikian dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pembentukan peraturan perundangan.
Skema susunan kekuasaan
Pemunculan “Schema Susunan Kekuasaan dalam dalam Negara RI” (lihat skema), menimbulkan banyak persoalan. Diantaranya, pertama, pemisahan antara Pembukaan UUD 1945 dengan UUD memberikan penafsiran, bahwa pembukaan UUD tidak merupakan satu kesatuan dengan UUD. Ini sangat berbeda dengan keadaan yang diterima sekarang, bahwa UUD merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dimana, kalau menyebut UUD berarti yang dimaksud adalah Pembukaan, Batang Tubuh beserta penjelasannya.
Barangkali, susunan kekuasaan ini dipengaruhi oleh pendapat Prof Notonagoro, bahwa Pembukaan adalah “pokok-pokok kaedah fundamental negara (staatsfundamentalnorm)”. Keberadaannya di luar sistem hukum tetapi memainkan peran imperatif dalam membimbing norma hukum positif. Karena posisi tersebut, ia tidak bisa diubah oleh siapapun termasuk MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Mengubah Pembukaan UUD berarti membubarkan negara RI.
Kedua, susunan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam skema tersebut mendatangkan keraguan terutama dalam menentukan hubungan masing-masing. Dalam skema tersebut digambarkan bahwa MA mempunyai garis langsung kepada UUD, seperti halnya langsung kepada MPR. Skema ini, sepertinya, menganut konsep “dwipraja” yaitu kekuasaan yudikatif dan eksekutif.
Keraguan lain, skema ini tidak memberikan gambaran bagaimana hubungan DPA dan BPK, karena tidak satupun garis yang menggambarkan hubungan mereka dalam skema tersebut. Jika kita telaah lebih jauh, skema ini tidak sejalan dengan Tap MPR Nomor VI/1973 dan Tap MPR Nomor III/1978 tentang “Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara”, karena dalam Tap ini ditentukan dengan jelas bagaimana keberadaan masing-masing lembaga negara tersebut.
Perlu perbaikan
Melihat persoalan-persoalan di atas, sudah saatnya dipikirkan untuk mengkaji ulang keberadaan Tap XX. Menurut hemat penulis, yang diperlukan bukan hanya memperkuat, tetapi lebih dari itu, yaitu perbaikan.
Bagaimanapun, sebagai sebuah produk zaman peralihan tentu tidak bisa dihindari dari berbagai kelemahan. Kondisi ini disadari oleh MPR, sehingga diamanatkan dalam Tap Nomor V/1973 dan Tap Nomor IX/1978, untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Tap XX. Jauh dari itu, perlu dipahami, Tap XX bukan UUD 1945.