Media Indonesia, 3 November 2014
Kalau krisis ini dipicu pemilihan pimpinan alat kelengkapan, tak ada salahnya memulai kembali dari awal. Sebagai lembaga yang dibangun dengan prinsip kolektif kolegial, jauh lebih bermartabat memakai prinsip musyawarah dalam mengisi pimpinan alat kelengkapan DPR.
“INDONESIA benar-benar terbelah!“ Kalimat tersebut menjadi makin sulit terbantahkan sejak proses dan hasil Pemilihan Umum 2014. Ketika menuju Pemilu Anggota Legislatif 2014-2019, pembelahan hanya terjadi dalam batas yang lebih sederhana, yaitu di antara partai politik (parpol) dan calon yang berupaya meraih kursi di lembaga perwakilan rakyat. Dalam batas penalaran yang wajar, perbedaan yang terjadi di kalangan masyarakat masih berlangsung terbatas dan begitu pemungutan selesai, pembelahan di masyarakat tidak kelihatan.
Namun, pembelahan mulai menjadi ancaman ketika hasil Pemilu Legislatif 2014 dilanjutkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Sebagaimana diketahui, pembelahan partai-partai politik ke dalam dua kelompok untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden benar-benar mempercepat dan mempertajam pengelompokan di masyarakat. Jika ketegangan yang terjadi sepanjang proses pemilihan presiden dilacak, secara sederhana dapat dikatakan perbedaan pilihan masyarakat berkelindan dengan upaya parpol memenangkan pa sangan calon yang mereka dukung.
Sekalipun terjadi perbedaan selama proses pemilihan, begitu KPU menetapkan hasil pemilu presiden dan Mahkamah Konstitusi mengukuhkan hasil tersebut, masyarakat dapat menerima konsekuensi sebuah proses politik. Sayangnya, cara dan sikap sebagian elite politik menyikapi hasil tersebut tidak mampu mengakhiri kesan Indonesia yang terbelah. Di ujung masa bakti DPR periode 2009-2014, misalnya, upaya untuk mengganti UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dipaksakan. Dengan langkah seperti itu, secara implisit keinginan mengukuhkan pembelahan dukungan parpol pada Pemilu Presiden 2014 ke dalam proses politik pasca-Pemilu 2014 dapat dilacak.
Cara mempertahankan sentimen basis dukungan pemilu presiden berupa Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadi instrumen pendayung agenda politik di DPR masing-masing. Langkah awal yang dilakukan yaitu bertarung memperebutkan kuasa Senayan dengan cara mengubah sedemikian rupa tata cara pemilihan pimpinan DPR. Dengan memakai logika pimpinan mesti dipilih anggota DPR, UU No 17/2014 sebagai pengganti UU No 27/2009 hanya mengubah proses pemilihan pimpinan DPR.Sementara itu, untuk pemilihan pimpinan DPRD tetap mempertahankan me kanisme dalam UU No 27/2009. Hasilnya, KMP menguasai semua kursi pimpinan DPR yang terdiri dari ke tua dan empat wakil ketua DPR.
Sekira nya lang kah me nguasai pimpinan DPR me rupakan bagian dan strategi un tuk memba ngun relasi dalam bing kai checks and balances de ngan pemerintah (eksekutif), upaya itu masih memiliki sedikit logis dan dapat diterima. Namun, begitu langkah tersebut berlanjut pada penguasaan pimpinan alat kelengkapan DPR, mayoritas kekuatan politik di DPR tidak hanya menciptakan pembelahan dengan eksekutif (divided government), tetapi juga dengan sengaja menciptakan pembelahan di internal DPR. Padahal, dalam posisi sebuah lembaga legislatif, semangat kolektif kelegial harus dipertahankan guna menjalankan fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan UUD 1945.
Melumpuhkan DPR
Dengan memilih sistem pemerintahan presidensial, sejak semula sudah disadari bahwa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan amat mungkin terjadi pembelahan antara pemegang kuasa eksekutif dan pemegang kuasa legislatif. Jamak diketahui, kemungkinan tersebut dapat terjadi apabila presiden tidak mendapat dukungan mayoritas dari parpol yang berada di lembaga perwakilan rakyat. Kemungkinan itu sedang membentang di depan mata karena mayoritas parpol DPR hasil Pemilu 2014 memilih posisi yang berbeda dengan presiden dan wakil presiden. Sekalipun ada kekhawatiran bahwa sepanjang lima tahun ke depan akan penuh ketegangan antara presiden dan DPR, semua ini konsekuensi logis dari mandat langsung yang diberikan rakyat secara terpisah kepada eksekutif dan legislatif.
Sebagaimana ditulis dalam `Mengelola Hubungan Presiden-DPR' (Media Indonesia, 13/10), sekalipun secara teoretis telah ada warning potensi ketegangan presiden dan DPR, hasil perubahan UUD 1945 justru memperbanyak titik singgung kedua lembaga itu. Misalnya dalam fungsi legislasi, keterlibatan pre siden dan D P R relatif berimbang. Selain itu, sejumlah agenda bernegara memerlukan `persetujuan' dan `pertimbangan' DPR, misalnya persetujuan diperlukan setelah presiden menggunakan hak subjektifnya dalam menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).Begitu juga, pertimbangan DPR diperlukan untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, serta memberi amnesti dan abolisi. Lebih jauh, persetujuan dan pertimbangan masih muncul dalam proses pengisian jabatan-jabatan strategis yang diatur di level undang-undang.
Meskipun tersedia upaya taktis untuk menghadapi kurangnya dukungan parpol dengan membentuk koalisi, upaya membentuk koalisi tidak selalu dapat memecahkan keterbatasan dukungan bagi presiden di DPR. Bahkan, sejumlah pengalaman membuktikan bahwa koalisi menjadi simalakama bagi presiden.Paling tidak, pengalaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama periode kedua pemerintahannya membuktikan betapa koalisi tidak banyak membantu dalam mendapatkan dukungan di DPR. Karena itu, selama berada dalam sistem presidensial, ketegangan hubungan presiden dan DPR menjadi tidak mungkin dihindarkan. Apalagi, ketegangan hubungan demikian merupakan karakter bawaan dan sekaligus konsekuensi logis dalam praktik sistem presidensial.
Jika pembelahan (divided) antara eksekutif dan legislatif menjadi sesuatu yang lazim dalam praktik sistem presidensial, pembelahan di internal DPR dapat dikatakan sebuah kecenderungan yang relatif baru. Pembelahan di internal lembaga legislatif lebih merupakan praktik yang terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem tersebut, parpol yang menjadi eksekutif sekaligus menjadi pendukung eksekutif di parlemen.Karena itu, pola susunan partai politik pendukung pemerintah dan oposisi dibedakan secara jelas. Logikanya, bilamana sebuah parpol berada dan mendukung pemerintah, dalam perdebatan dan pembahasan agenda di parlemen mereka selalu satu suara dengan eksekutif.
Namun, dalam sistem pemerintahan presidensial, lembaga perwakilan dan presiden sebagai chief executive mendapat mandat yang terpisah dari rakyat. Karena itu, pemilihan dalam sistem presidensial dibedakan secara jelas antara pemilihan lembaga perwakilan dan pemilihan presiden. Bisa saja waktu penyelenggaraannya bersamaan, tetapi kotak suara untuk legislatif dibedakan dengan kotak suara presiden. Cara pemberian suara itu berbeda dengan sistem parlementer karena daulat rakyat hanya diberikan dalam satu kotak suara, ya itu untuk memilih anggota perleman. Selanjutnya, hasil pemilu parlemen tersebutlah yang digunakan sebagai basis untuk menentukan parpol atau gabungan parpol yang akan menjadi pemegang kuasa eksekutif.
Karena pemberian mandat rakyat yang berbeda tersebut, pemegang kuasa legisla tif berada lam kotak yang berbeda de ngan pemegang kuasa eksekutif. Perbedaan itu hendak mengisyaratkan bahwa kekuatan-kekuatan politik yang tergabung di lembaga legislatif mesti merupakan lembaga yang berada dalam bingkai kolektif kolegial. Dengan pemaknaan se perti itu, pembelahan di antara kekuatan politik di lembaga legislatif menjadi sesuatu yang mesti dihindari. Bagaimanapun, dengan memelihara pembelahan, mandat rakyat tidak mungkin dapat dilaksanakan secara penuh. Dengan terjadinya pembelahan, wakil rakyat sangat mungkin bekerja di luar logika daulat dan mandat rakyat.Boleh jadi, ujung dari pembelahan tersebut akan terjadi pengingkaran masif terhadap mandat dan daulat rakyat.
Bahkan, dengan mandat terpisah yang diberikan rakyat, sekalipun sejumlah parpol merupakan pendukung dan memilih menjadi pendukung pemerintah, mereka tidak boleh serta-merta takluk dengan eksekutif. Dengan cara pandang demikian, semua agenda pemerintah yang terkait dengan wewenang DPR harus berlangsung dengan proses wajar dana selalu dalam mekanisme checks and balances. Dengan berkaca pada pengalaman periode yang lalu, tidak pada tempatnya lagi sejumlah kekuatan politik memosisikan diri mereka menjadi juru bicara eksekutif di DPR. Sekalipun merupakan pendukung pemerintah, sikap konstruktif-kritis tetap harus dipertahankan. Bila tidak, mereka akan kehilangan karakter dasar sebagai pihak yang menjalankan mandat rakyat di lembaga perwakilan.
Karena itu, dalam posisi sebagai lembaga legislatif, bangunan kolektif kolegial harus menjadi dasar dalam menyelenggarakan mekanisme hubungan di antara kekuatan politik DPR. Dengan cara pandang demikian, tidak boleh ada skenario menempatkan sebagian kekuatan parpol menjadi oposisi di DPR. Dalam batas-batas tertentu, skenario kekuatan parpol yang tergabung dalam KMP menguasai semua pimpinan di alat kelengkapan DPR dapat dibaca sebagai upaya melemahkan DPR sebagai lembaga legislatif.Celakanya, mereka yang tergabung dalam KIH juga bergerak ke arah yang keliru ketika mendeklarasikan untuk membentuk pimpinan tandingan. Sadar atau tidak, pertikaian KMP dan KIH dalam beberapa waktu terakhir sangat mungkin melumpuhkan DPR sebagai lembaga legislatif.
Krisis bernegara
Dalam bingkai hubungan antarlembaga negara, krisis politik yang terjadi tidak hanya akan merugikan DPR. Seperti telah disinggung, desain sistem presidensial setelah perubahan UUD 1945 memperimpitkan beberapa wewenang DPR dengan lembaga negara lain, termasuk dengan presiden. Dengan perimpitan yang terjadi, sekiranya krisis politik di DPR tidak segera diselesaikan, semua agenda bernegara yang terkait dengan otoritas DPR akan terganggu. Tak hanya itu, krisis politik yang terjadi DPR sangat mungkin membawa Indonesia ke dalam krisis bernegara dan krisis konstitusional yang sangat serius.
Sebagai sebuah lembaga yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, tak mungkin bagi DPR melaksanakan fungsi konstitusional tersebut bila secara internal tidak mampu keluar dari kisruh yang terjadi. Artinya, selama belum terjadi penyelesaian yang komprehensif, DPR tidak akan bisa bekerja memenuhi fungsi-fungsi konstitusional tersebut. Bahkan, pemerintah sebagai mitra DPR dalam melaksanakan fungsi tersebut tidak mungkin menjalin komunikasi secara wajar selama pembelahan masih terus berlangsung. Padahal, sejumlah agenda penting pemerintah membutuhkan pelaksanaan fungsi-fungsi konstitusional DPR tersebut.
Agar pembelahan politik yang terjadi tidak meluas menjadi krisis ketatanegaraan, kekuatan-kekuatan politik di DPR harus segera menemukan jalan keluar yang elegan. Kalau krisis ini dipicu pemilihan pimpinan alat kelengkapan, tak ada salahnya memulai kembali dari awal. Sebagai lembaga yang dibangun dengan prinsip kolektifkolegial, jauh lebih bermartabat memakai prinsip musyawarah dalam mengisi pimpinan alat kelengkapan DPR. Lagi pula, dalam proses politik yang berlaku di DPR, pimpinan alat kelengkapan bukanlah penentu dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusional DPR.Dengan demikian, menjadi lebih elegan membagi secara proporsional pimpinan alat kelengkapan DPR. Apalagi, posisi pimpinan DPR yang jauh lebih strategis telah dikuasai parpol yang tergabung dalam KMP.
Perlu diingat, sekiranya tidak mau keluar dari kekisruhan ini, sebagai pemegang kedaulatan, pada saatnya rakyat akan mencari dan menemukan jalannya sendiri menarik mandat yang telah diberikan kepada anggota DPR. Karena itu, sebelum rakyat marah, segera akhiri pembelahan dan kekisruhan politik ini