Oleh: Saldi Isra
Lain yang diperdebatkan, lain pula yang disimpulkan. Lain nama yang muncul ke ruang publik, lain pula nama yang ditetapkan.
Begitu kira-kira tamsil yang dapat menggambarkan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menetapkan nama Komisaris Jenderal Timur Pradopo sebagai calon Kepala Polri untuk diajukan kepada DPR.
Mengapa setelah berminggu-minggu publik memperdebatkan dua nama (yaitu Nanan Soekarna dan Imam Sudjarwo), tiba-tiba Presiden memilih nama lain yang nyaris tidak masuk radar perdebatan.
Tidak hanya publik, sebagian anggota DPR juga memberikan atensi terhadap dua nama tersebut. Secara jujur harus diakui, perdebatan yang terjadi tidak terlepas dari sinyal Istana yang akan memilih satu nama di antara Nanan dan Imam.
Ketika Presiden memilih Timur, perdebatan di sekitar rekam jejak dan kemungkinan wajah kepolisian di bawah Nanan dan Imam berhenti mendadak. Mereka yang concern atas reformasi internal kepolisian lebih banyak mencari logika yang ada di belakang penunjukan Timur. Pertanyaan yang paling banyak muncul: adakah Timur merupakan sosok yang tepat menyelesaikan tumpukan pekerjaan rumah yang ditinggalkan Kapolri Bambang Hendarso Danuri?
Secara jujur sulit dibantah, pertanyaan tersebut muncul karena berkembang anggapan, pilihan atas Timur bukan untuk menjawab kebutuhan internal kepolisian. Sejumlah kalangan menilai, pilihan Presiden lebih pada mencari titik kompromi di tengah pro-kontra atas Nanan dan Imam. Padahal, melihat masalah internal dan tumpukan pekerjaan rumah yang ada, jalan kompromi dalam menentukan Kapolri tak akan memberikan nilai tambah dalam upaya penegakan hukum.
Minus argumentasi
Sekalipun Istana telah memberikan sinyal bahwa tidak ada nama lain di luar Nanan dan Imam yang akan diajukan sebagai calon Kapolri, tidak ada yang salah sekiranya Presiden memilih dan mengajukan sosok lain. Apalagi, beberapa pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa nama yang sudah diumumkan pun masih bisa berubah pada saat-saat terakhir. Karena itu, ketika muncul nama Timur, publik hanya bisa bergumam sembari memahami, perubahan pada saat-saat akhir telah menjadi perilaku baru pihak Istana.
Namun, di tengah perdebatan yang terjadi, hal mendasar yang ditunggu publik adalah bangunan argumentasi yang berada di belakang pilihan tersebut. Bagaimanapun, pengusulan calon Kapolri merupakan bagian dari kebijakan publik. Karena itu, publik menunggu adanya penjelasan mengapa memilih sosok tertentu. Tanpa itu, pilihan Presiden dapat dinilai sebagai bentuk kebijakan publik yang minus argumentasi. Dalam pengertian itu, Presiden tidak dapat begitu saja berlindung di balik dalil hak prerogatif.
Dalam rangka membangun kehidupan demokrasi yang substantif, dasar argumentasi diperlukan sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada publik. Dengan cara seperti itu, Presiden bisa menutup celah tidak adanya ruang formal keterlibatan publik dalam proses pengusulan calon Kapolri. Tidak hanya itu, penjelasan Presiden menjadi penting, apakah calon yang diajukan benar-benar merupakan sosok yang tepat untuk memimpin jajaran kepolisian. Tanpa itu, Kapolri tak ubahnya seperti makhluk asing yang berasal dari lorong gelap.
Bagaimanapun, sadar atau tidak, melestarikan cara-cara pengisian calon Kapolri yang minus argumentasi akan menjadi lahan subur bagi banyak kalangan yang tidak menghendaki terjadinya perubahan mendasar di internal kepolisian.
Tidak hanya itu, proses yang bekerja di ruang gelap akan sangat mudah diinfiltrasi oleh segala macam kepentingan yang potensial menghancurkan masa depan penegakan hukum.
Selain pertanggungjawaban publik, argumentasi Presiden diperlukan untuk proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Sebagai sebuah jabatan yang memerlukan persetujuan DPR, argumentasi Presiden akan menjadi bahan dasar untuk menilai kelayakan calon Kapolri. Saat proses uji kelayakan dan kepatutan berlangsung, anggota DPR akan menilai, apakah argumentasi yang dikemukakan Presiden, misalnya, cocok dengan rekam jejak, kemampuan, dan kemauan yang dimiliki calon bersangkutan. Tanpa itu, sikap DPR (baik menyetujui maupun menolak) akan dengan mudah terjebak like and dislike. Jika itu terjadi, sikap akhir DPR pasti akan jauh dari obyektif.
Bimbang
Sebetulnya, masalah lain yang paling mencemaskan para penggiat pembaruan hukum adalah sikap Presiden yang kelihatan begitu mudah terombang-ambing oleh segala macam tekanan. Sulit dibantah, berlarut-larutnya perdebatan calon pengganti Kapolri di antaranya dipicu oleh kebimbangan Presiden. Karena sikap itu, segala macam kepentingan terutama kalangan yang akan dirugikan oleh calon yang berkeinginan melakukan pembaruan akan berupaya menekan Presiden dari segala penjuru angin.
Dengan telah diusulkannya nama Timur kepada DPR, rasanya tidak terlalu relevan lagi memperdebatkan sikap Presiden itu. Namun, sikap kompromi, bimbang, dan mudah terombang-ambing tersebut hendaknya tidak muncul lagi saat memilih Jaksa Agung. Untuk itu, Presiden harus siap berkonflik dengan mereka yang tidak ingin pembaruan total berjalan di lingkungan kejaksaan. Jika Presiden masih mengutamakan kompromi dan bimbang memilih calon yang mau melakukan perubahan besar di internal kejaksaan, pelesetan SBY sebagai ”Susilo Bimbang Yudhoyono” sulit dicegah. Yang pasti, dengan sikap bimbang, sulit memperbaiki negeri ini. Lalu, mungkinkah berharap di tengah kebimbangan itu?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/04170513/berharap.dalam.kebimbangan
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang