Saldi Isra

Kompas, 23 Agustus 2016

Topik perubahan konstitusi (UUD 1945) menyeruak ke permukaan. Munculnya gagasan ini tidak terlepas dari keinginan sejumlah kekuatan politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara.

Langkah konkret ke arah perubahan, Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah selesai membahas usulan perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagaimana diwartakan, rapat pleno Badan Pengkajian MPR menyepakati lima hal yang perlu diubah apabila usul perubahan konstitusi berhasil didukung minimal sepertiga anggota MPR. Substansi perubahan meliputi: penghidupan Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN); penataan wewenang MPR, DPD, dan Komisi Yudisial; serta penegasan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum.

Rencana mengubah konstitusi bukanlah sesuatu yang baru sama sekali. Jauh hari sebelumnya, dalam "Jalan Berliku Menuju Amandemen Kelima" (2007), saya kemukakan, secara obyektif banyak hasil penelitian ilmiah (misal: jurnal, tesis, dan disertasi) ihwal reformasi konstitusi Indonesia menyimpulkan: UUD 1945 hasil perubahan lebih demokratis dibandingkan sebelum perubahan. Meski begitu, hampir semua hasil penelitian, termasuk kajian Komisi Konstitusi (KK), menyarankan dilakukan upaya penyempurnaan. Alasannya, sebagian substansi hasil perubahan mempunyai kelemahan yang berpotensi merusak mekanisme checks and balances.

Secara formal, gagasan untuk mengkaji hasil perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah dilakukan Komisi Konstitusi. Melalui Ketetapan No I/MPR/2002, MPR bersepakat membentuk KK. Amanat utama KK: melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945. Sebagaimana diketahui, hasil KK merekomendasikan dilakukan perubahan kelima. Tidak hanya sebatas rekomendasi, lembaga ini juga menyusun draf usulan perubahan kelima UUD 1945. Namun, ide besar yang dihasilkan KK lenyap begitu saja tanpa pernah ditindaklanjuti MPR.

Setelah hasil KK kandas, gagasan melakukan perubahan UUD 1945 dihidupkan kembali oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pertengahan 2006, kamar kedua lembaga perwakilan rakyat menggebrak dengan usul agar DPD dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat-daerah; pembentukan, pemekaran/penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain; serta perimbangan keuangan pusat- daerah yang telah disetujui oleh DPR.

 Usul perubahan yang diajukan DPD ditolak hampir semua kekuatan politik di DPR. Alasan penolakan, usul perubahan yang diusung DPD terbatas pada perbaikan wewenang DPD saja. Karena itu, sebagian kekuatan politik mendorong DPD menyusun usul perubahan yang lebih komprehensif atau paling tidak lebih luas dari sebatas fungsi legislasi DPD. Ternyata, usulan untuk menyusun naskah komprehensif lebih merupakan dalih untuk menolak usulan DPD. Buktinya, ketika DPD berhasil merampungkan naskah komprehensif, usul perubahan pun tidak pernah mendapat dukungan DPR. Meskipun keinginan melanjutkan perubahan UUD 1945 bukanlah hal baru, usul yang mengaitkan dengan menghidupkan kembali GBHN baru menguat dalam beberapa tahun belakangan. Misalnya, kajian yang dilakukan KK atau usul naskah komprehensif yang pernah dihasilkan DPD tidak pernah tebersit gagasan menghidupkan GBHN. Bahkan, pemikiran sekitar GBHN muncul karena MPR tak begitu kelihatan peran konkretnya dalam praktik penyelenggaraan negara. Karena itu, perkembangan terakhir yang berupaya mengaitkan usul mengubah UUD 1945 dengan menghidupkan kembali GBHN sangat relevan diperbincangkan.

Beberapa kelemahan

Sejak selesainya rangkaian empat kali perubahan UUD 1945, tahun 2002, perbincangan guna melanjutkan reformasi konstitusi tak pernah usai. Alasan mendasar, naskah yang dihasilkan memiliki sejumlah kelemahan. Misalnya, dalam tampilan teks UUD 1945 yang dihasilkan, bagi sebagian pihak yang tak paham model legal drafting, struktur  penyusunan beberapa pasal menimbulkan kebingungan. Paling tidak, ketaklaziman bisa dilihat dari Pasal 28 dengan tambahan huruf "A" sampai huruf "J". Secara keseluruhan, soal hak asasi manusia ini terdiri atas 10 pasal.

Selain soal struktur beberapa pasal, secara substantif, UUD 1945 hasil perubahan menyisakan desain pola hubungan antar-lembaga menyulitkan membangun mekanisme checks and balances. Di antara yang paling menonjol, pola hubungan di kalangan internal lembaga legislatif. Contoh paling umum adalah relasi yang tidak seimbang antara DPR dan DPD dalam membentuk UU. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D UUD 1945, dalam membentuk UU, DPD hanya dapat mengajukan usul dan kemudian ikut membahas. Karena desain tersebut, sebagaimana sering dikemukakan, kehadiran DPD lebih merupakan aksesori di internal legislatif.

Melihat desain yang menyulitkan DPD menindaklanjuti aspirasi daerah, gagasan melakukan reformasi konstitusi untuk menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara menuju kehidupan yang lebih demokratis dan modern melalui mekanisme checks and balances tak mungkin tercapai. Bahkan merujuk fungsi legislasi DPD, upaya penguatan melalui putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak digubris DPR. Karena persoalan sesungguhnya ada di level konstitusi, jawaban untuk memperkuat peran legislasi DPD hanya mungkin dilakukan dengan mengubah Pasal 22D UUD 1945.

 Masih di ranah pemegang kuasa legislatif, beberapa ketentuan dalam UUD 1945 menjadikan DPR begitu hegemonik. Salah satu ketentuan yang acap kali menjadi sorotan adalah Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Jika hendak menggunakan cara berpikir argumentum a contrario, karena yang dilarang hanyalah DPR, presiden dapat membekukan dan/atau membubarkan DPD. Masalah lain, yang menunjukkan hegemoni tersebut, adanya ketentuan pertimbangan DPR dalam menerima penempatan duta negara lain.

Tak hanya ranah legislatif, frasa kepala daerah "dipilih secara demokratis" yang diatur Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 telah menyebabkan munculnya ketidakpastian dalam model pemilihan kepala daerah. Ihwal masalah ini, juga memunculkan perdebatan yang tidak kalah rumitnya, yaitu dengan adanya pandangan sejumlah kekuatan politik di DPR bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rezim pemilihan umum. Masalah ini selalu menimbulkan pro-kontra, terutama di sekitar pembahasan undang-undang pemilihan kepala daerah. Dengan adanya pendapat bukan rezim pemilihan umum, soal penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah pun dikatakan tidak masuk wilayah wewenang MK.

 Perubahan mendasar

Jika dibaca lingkup usulan perubahan yang dihasilkan Badan Pengkajian MPR di atas, usul penghidupan GBHN pasti akan berkait dengan penataan wewenang MPR. Artinya, penghidupan kembali GBHN tidak mungkin dilakukan selama posisi MPR tidak menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana diatur UUD 1945 sebelum perubahan. Seperti pernah diuraikan dalam "Wacana Menghidupkan GBHN" (Kompas, 12/1/2016)merujuk konstruksi yuridis Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 3 serta penjelasannya sebelum perubahan, pembentukan GBHN tidak terlepas dari posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi negara.

Jika keinginan membentuk GBHN tidak berbeda jauh dengan GBHN ketika era Orde Lama dan Orde Baru, penataan wewenang MPR diperlukan, yaitu mengembalikan MPR pada posisi sebagai lembaga tertinggi dan sekaligus sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Pengalaman GBHN pada kedua era tersebut hanya mungkin dihindarkan jika upaya menghidupkan GBHN dilakukan dengan paradigma baru. Namun, selama berpikir memberikan dasar hukum dengan Ketetapan MPR, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi akan secara otomatis hidup kembali. Dalam soal ini penting dicatat, desain GBHN seperti zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto hanya mungkin diterima dengan cara mengadopsi posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan.

Paradigma baru yang mungkin bisa ditawarkan untuk menghindari reinkarnasi GBHN adalah memperbaiki kelemahan pada UU yang terkait dengan sistem perencanaan nasional. Apabila model ini yang dipilih, tidak perlu dilakukan perubahan UUD 1945. Cara lain, perubahan UUD 1945 tetap dilakukan dengan maksud memasukkan dan mendetailkan prinsip-prinsip dan arah pembangunan nasional dalam konstitusi. Pilihan model kedua ini, misalnya, diadopsi oleh Pasal II Konstitusi Filipina (1987) yang secara eksplisit memuat "Declaration of Principles and State Policies".

Sekiranya hendak menganut model Filipina, perubahan konstitusi dimaksudkan untuk merinci tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi rincian pasal-pasal konstitusi. Pilihan model Filipina menjadi menarik karena selama ini belum pernah dilakukan upaya nyata merincikan atau menurunkan secara detail tujuan bernegara menjadi norma konstitusi. Dengan memilih model kedua, tak perlu muncul agenda penataan wewenang MPR. Bagaimanapun, melihat suasana di MPR, apabila upaya penataan wewenang MPR dilakukan melalui perubahan UUD 1945, pendulum menuju lembaga tertinggi sulit dihindarkan.

 Persoalan mendasar yang perlu direnungkan, menjadikan MPR sebagai lembaga negara tertinggi akan kembali menggeser lokus pengelolaan negara ke tangan lembaga perwakilan. Bilamana lokus kekuasaan bergeser ke lembaga perwakilan, sistem pemerintahan yang dipraktikkan akan bergeser menjadi sistem parlementer. Dalam posisi demikian, tak bisa dihindarkan jika GBHN dibuat MPR, pihak yang menjalankan kuasa eksekutif (presiden) terikat dan harus bertanggung jawab kepada pembuat GBHN. Dalam teori ilmu politik dan hukum tata negara, apabila pemegang kuasa eksekutif tunduk dan bertanggung jawab kepada lembaga legislatif, maka sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer.

Dengan demikian, yang paling dikhawatirkan, gagasan penghidupan GBHN dengan melakukan penataan wewenang MPR akan menghadirkan praktik sistem parlementer di negeri ini dalam pengertian yang sesungguhnya. Karena itu, jika sejumlah pihak mulai khawatir rencana perubahan akan bermuara pada perubahan proses pemilihan presiden dari langsung menjadi pemilihan dengan sistem perwakilan menjadi cukup masuk akal. Bagaimanapun, mempertahankan pemilihan langsung dengan keharusan presiden untuk menjalankan GBHN yang dibuat MPR akan menghadirkan persoalan serius dalam desain demokrasi presidensial.

Oleh karena itu, sebelum telanjur melangkah terlalu jauh, gagasan penghidupan GBHN dengan menjadi kewenangan MPR harus dipikirkan dan dikunyah dengan lebih matang. Tanpa itu, konstitusi yang dihasilkan berpotensi berubah jadi jebakan baru dalam penyelenggaraan negara.

Saldi Isra

Profesor Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "GBHN dan Perubahan Konstitusi".