Pilah-pilih Ketua KPK

Tuesday, 03 August 2010

Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan 12 orang calon pengganti Antasari Azhar. Nama-nama yang ada di dalam daftar sebagian telah dikenal luas.


Beberapa nama itu juga telah lama bergelut dengan agenda pembaruan hukum, termasuk agenda pemberantasan korupsi. Hal itu berarti pemilahan yang dilakukan dapat dikatakan berhasil meraih pencapaian signifikan. Apalagi nama-nama yang muncul sudah diperkirakan akan maju ke tahapan pendalaman dan penelusuran yang lebih substantif. Meski tidak menuai banyak perdebatan,nama-nama yang muncul masih jauh untuk dikatakan sebagai sebuah hasil final. 

Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No. 30/2002), nama yang dihasilkan Panitia masih harus menjalani proses lebih lanjut berupa tahapan profile assessment. Merujuk ketentuan dalam Pasal 30 UU No 30/2002, calon yang diajukan ke DPR guna menjalani uji kelayakan dan kepatutan harusnya dua kali dari jumlah yang dibutuhkan. 

Karena hanya mengisi satu pimpinan,jumlah calon yang akan disampaikan ke Presiden (untuk kemudian disampaikan ke DPR) adalah dua orang,tugas berikutnya adalah “membuang” sepuluh nama lagi. Maknanya, ujian bagi panitia sesungguhnya adalah kemampuan memilah secara saksama dan teliti 12 nama yang tersedia. 

Jika gagal memilah dengan akurat, dikhawatirkan nama tunggal yang dihasilkan di ujung proses tidak akan mampu membawa KPK keluar dari terpaan badai krisis yang telah berlangsung lama. Tidak hanya itu, ketidakcermatan memilah juga berpotensi memberikan beban baru bagi KPK. 

Favoritisme

Upaya memilah, demi memenuhi kuota yang diperlukan, menjadi titik paling krusial dalam proses seleksi. Berkaca dari pengalaman seleksi sebelumnya, tahapan penentuan kuota menjadi arena pertarungan puncak. Dikatakan demikian karena pada fase ini terjadi pertarungan banyak kepentingan yang terkait dengan KPK. 

Bahkan bila melihat masifnya praktik korupsi di negeri ini,nyaris tidak ada pihak yang tidak berkepentingan dengan KPK. Karenanya, ladang pertarungan amat mungkin muncul dengan wajah ganda. Banyak kalangan menduga setidaknya pertarungan akan terbagi dalam dua front besar.Kemungkinan pertama, pertarungan internal Panitia. Bagaimanapun, secara alamiah sulit untuk menghindari pertarungan internal.

Tiap anggota Panitia pasti punya pemahaman berbeda satu sama lain dalam melihat nama-nama yang dihasilkan pada seleksi tahap kedua. Namun, sejauh untuk mendapatkan calon terbaik, perbedaan merupakan kebutuhan. Karenanya, makin komprehensif upaya menelusuri rekam jejak calon akan semakin baik untuk KPK. Hal yang paling dikhawatirkan, jika perbedaan muncul karena alasan yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan KPK,hal tersebut dapat mengancam keberlanjutan dan masa depan KPK. 

Karena itu, Panitia harus mampu menghindar agar tidak terjebak perilaku favoritisme. Sulit dibantah, dengan favoritisme tujuan mendapatkan pimpinan KPK yang mampu menjawab kebutuhan KPK akan terancam. Dengan perilaku favoritisme itu rekam jejak calon ketua KPK yang difavoritkan pasti tidak akan didalami secara sungguh- sungguh. Muaranya, seleksi pada tahapan berikutnya terancam gagal menghasilkan figur ketua KPK yang dibutuhkan saat ini. 

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas, favoritisme tidak sekadar berpotensi menyembunyikan rekam jejak sebagian calon ketua KPK, tapi juga tidak tertutup kemungkinan menjadi cara lain untuk menghancurkan calon-calon yang tidak difavoritkan. Ujung dari semua perilaku tersebut, dikhawatirkan Panitia akan kehilangan objektivitas dalam menentukan calon Ketua KPK.

Selain itu, sangat mungkin perilaku favoritisme dimanfaatkan pihakpihak di luar Panitia untuk mendorong calon yang rendah komitmennya memberantas korupsi. Sekiranya hal itu terjadi,KPK akan semakin sulit keluar dari masalahmasalah serius yang terjadi sejak kasus Antasari terkuak ke permukaan. 

Suara Publik

Kemungkinan berikutnya, pertarungan antara suara-suara yang berkembang di publik dan Panitia. Kemungkinan ini berpotensi terjadi bila Panitia mengabaikan masukan publik. Masyarakat sipil yang selama ini terbilang lama “mengabdi” di ranah pemberantasan korupsi merupakan “mitra strategis” Panitia. Kehadiran kelompok masyarakat sipil menjadi semacam keniscayaan karena Panitia tidak pada tempatnya berjalan sendiri dalam proses pengisian pimpinan KPK. 

Dengan menempatkan pengisian Ketua KPK sebagai bentuk kebijakan publik, kehadiran masyarakat sipil dapat dikategorikan sebagai salah bentuk partisipasi. Dalam sudut pandang teoretis, partisipasi masyarakat dimaknai sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik. Sebagai sebuah konsep yang berkembang dalam sistem politik modern, partisipasi menjadi ruang masyarakat untuk melakukan negosiasi dalam proses pengambilan kebijakan. 

Dalam pengertian itu, proses pengisian Ketua KPK juga merupakan kebijakan yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Terkait dengan pandangan di atas, Mas Achmad Santosa (2001) menambahkan bahwa pengambilan keputusan publik yang partisipatif bermanfaat agar keputusan tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan,kepentingan,serta keinginan publik.

Dalam pengertian itu, tidak ada yang membantah bahwa proses pengisian Ketua KPK menyangkut kepentingan publik yang lebih luas.Kepentingan yang lebih luas dimaksud: bagaimana menyelamatkan institusi KPK dan memberantas korupsi. Karena itu, mengabaikan suara yang berkembang di tingkat publik dapat dikatakan sebagai bentuk nyata pengingkaran agenda pemberantasan korupsi.Apalagi jika pengingkaran itu dipaksakan karena alasan favoritisme. 

Memilah

Guna memulihkan gairah KPK memberantas korupsi,“pertarungan” internal dan penyikapan suara yang berkembang di publik dapat dijadikan modal besar mendapatkan calon ketua KPK yang ideal. Setidaknya ada tiga syarat minimal yang harus dipenuhi menjadi ketua KPK yaitu bersih, kapabel, dan berani. Bagaimanapun kerjakerja KPK hanya mungkin dilaksanakan sesuai dengan gagasan awal pembentukan KPK sekiranya ketiga syarat itu dipenuhi.Artinya, secara kumulatif, ketiga syarat itu tidak bisa ditawar-tawar untuk menjadi Ketua KPK. 

Mengabaikan syarat bersih sama saja dengan menghancurkan agenda pemberantasan korupsi dan bukan tidak mungkin akan bermuara pada kehancuran KPK. Guna memenuhi syarat bersih ini, Panitia harus mampu memilah secara tepat dan benar calon yang ada. Cara paling sederhana yang mungkin dilakukan adalah menelusuri secara cermat dan teliti catatan perjalanan hidup calon. Perlu dicatat, syarat bersih hanya mungkin dipenuhi sekiranya calon tidak pernah terkait dan/atau tersangkut dengan praktik korupsi dan/atau suap seberapa pun kecilnya. 

Dalam konteks pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, syarat bersih merupakan basis untuk bekerjanya dua syarat yang lain.Mencermati dunia penegakan hukum di negeri ini, tidak begitu sulit menemukan calon yang kapabel. Namun, syarat itu menjadi kehilangan makna jika calon pernah terkait dan/atau tersangkut praktik korupsi dan/atau suap. Karena itu, syarat bersih adalah sebuah harga mati yang dengan alasan apa pun tidak boleh diabaikan. 

Begitu juga dengan syarat ketiga, hampir dapat dipastikan syarat berani akan kehilangan denyutnya jika seorang ketua KPK pernah terkait dan/atau tersangkut korupsi dan/atau suap.Dengan menggunakan logika sederhana, keberanian akan meluruh jika seorang Ketua KPK pernah terkait tindak pidana tersebut. Panitia Seleksi pun harus memberikan fokus utama pada syarat ini. Kegagalan dalam menelusuri syarat bersih potensial menggadaikan dan memenjarakan masa depan KPK. 

Berdasarkan argumentasi di atas, Panitia harus mampu mengoptimalkan proses seleksi dengan cara memilah 12 orang yang dihasilkan pada seleksi tahap kedua. Sekiranya tahapan seleksi yang tengah berlangsung dapat dioptimalkan, publik tidak perlu lagi merasa waswas dengan pemilihan (fit and proper test) yang akan dilakukan DPR.Jika dua calon yang diajukan ke DPR memenuhi ketiga syarat di atas,proses di DPR tidak akan mencemaskan kita. Panitia harus mampu memilah mereka secara benar dan tepat sebelum masuk proses pemilihan di DPR.(*) 

Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusako FH Unand, Padang