Majalah Esquire, Agustus 2007.

Melanjutkan Reformasi Konstitusi

Oleh Saldi Isra

Dosen Hukum Tata Negara dan

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Bulan ini, tepatnya 10 Agustus 2007, lima tahun sudah hasil amandemen generasi pertama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dilaksanakan. Jika dibandingkan dengan naskah asli, UUD 1945 hasil perubahan generasi pertama (1999-2002) tersebut jauh lebih demokratis dibandingkan dengan sebelum perubahan.

Karena keberhasilan yang telah dicapai pada perubahan generasi pertama tersebut, dalam pidato penutupan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 10 Agustus 2002, Ketua MPR Amien Rais mengatakan: “Reformasi konstitusi yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar dalam upaya menyempurnakan UUD 1945 menjadi konstitusi yang demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang.

Namun demikian, jika hasil perubahan diletakkan dalam bingkai membangun penyelenggaraan negara menuju kehidupan yang lebih demokratis dan modern melalui mekanisme saling mengawasi dan saling imbang antaralembaga negara (checks and balances), hasil amandemen masih menyimpan sejumlah kelemahan. Bahkan, sejumlah kajian yang dilakukan setelah perubahan UUD 1945 termasuk hasil kajian yang dilakukan oleh komisi konstitusi (yang dibentuk MPR) menyimpulkan bahwa kelemahan yang ada potensial membuyarkan upaya membangun checks and balances.

Sejumlah kelemahan

Salah satu kelemahan mendasar hasil perubahan UUD 1945 terjadi dalam penataan lembaga perwakilan rakyat, yaitu hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejumlah hasil penelitian menunjukkan, hubungan antar-kamar dalam lembaga perwakilan rakyat tidak mungkin menciptakan pola hubungan dua kamar yang efektif.

Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasa. Karena fungsi yang sama tidak diberikan kepada DPD, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 memunculkan superioritas DPR terhadap DPD. Karena posisi yang tidak seimbang tersebut, dalam penataan lembaga perwakilan rakyat, hasil perubahan UUD 1945 hanya menempatkan DPD sebagai lembaga pelengkap penderita pelaksanaan fungsi legislasi, fungai anggaran, dan fungsi pengawasan. Artinya, dengan sejumlah demarkasi yang dihasilkan amandemen generasi pertama, DPD hadir sebagai pelengkap penderita dalam struktur lembaga perwakilan rakyat Indonesia.

Padahal, guna membangun checks and balances di lembaga perwakilan rakyat, pola hubungan seharusnya dibangun dalam kerangka sistem bukameral yang efektif. Secara teori, kalau salah satu kamar kedua (upper house, seperti DPD di Indonesia) tidak diberikan fungsi legislasi secara utuh seperti kamar lainnya, kamar kedua berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak rancangan undang-undang dari lower house (seperti DPR di Indonesia). Sekiranya hak itu juga tidak ada, upper hose diberi hak menunda pengesahan undang-undang yang disetujui lower house. Dalam pandangan Kevin Evans (2002), hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika upper house tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie (1996), dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila upper house yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan undang-undang memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari lower house. Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.

Selain kelemahan di atas, hasil amandemen juga tidak sepenuhnya bisa keluar dari ketidakjelasan sistem pemerintahan. Sekalipun disepakati tetap mempertahankan dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial, sejumlah pasal hasil amandemen masih memperlihatkan karakter sistem pemerintahan parlementer. Karakter tersebut dapat dilihat dalam keterlibatan presiden (pemerintah) dalam pembahasan rancangan undang-undang. Bahkan, sebuah rancangan undang-undang (bill) tidak akan pernah menjadi undang-undang jika tidak ada persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

Tidak hanya dalam proses pembahasan tersebut, dengan kehadiran Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa dalam melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat karakter parlementer makin kelihatan. Dalam pandangan Robert L. Maddex (1996), interpelasi merupakan the heart of the process of accountability in a parliamentary system of government. Muara penggunaan hak interpelasi, perdebatan diakhiri dengan suatu pemungutan suara dukungan (vote of confidence) atau mosi tidak percaya (vote of censure).

Ruang reformasi konstitusi

Kelemahan-kelemahan yang terdapat di lembaga perwakilan rakyat dan sistem pemerintahan di atas masih bisa ditambah dengan sejumlah kelemahan lainnya yang terdapat di ranah kekuasaan yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Bahkan dari tampilan fisik saja, hasil amandemen muncul dengan pasal-pasal yang sulit dipahami sebagian kalangan yang tidak mengerti legal drafting. Artinya, perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat amat memerlukan perubahan berikutnya (perubahan kelima).

Secara konstutusional, UUD 1945 memberi ruang kelanjutan reformasi konstutusi. Pasal 37 UUD 1945 menentukan, (1) usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, (2) setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, (3) untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR, dan (4) putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Meski secara hukum ada ruang untuk melanjutkan perubahan UUD 1945, persyaratan kuorum yang ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945 harus dipenuhi. Misalnya untuk mengagendakan perubahan, sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah keseluruhan anggota MPR harus mengusulkan perubahan dimaksud. Berdasarkan persyaratan itu, secara kuantitatif, amandemen kelima baru dapat diagendakan kalau diusulkan oleh sekirang-kurangnya 226 (1/3 dari 678) anggota MPR.

Kemudian untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Artinya, untuk mengubah pasal-pasal, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua kali jumlah pengusul, yaitu dua pertiga dari keseluruhan anggota MPR atau sama dengan 452 orang. Setelah kuorum untuk mengubah terpenuhi, jumlah yang diperlukan untuk menyetujui perubahan lebih rendah yaitu “hanya” diperlukan dukungan 340 orang (1/2 dari 678 ditambah 1 orang) dari keseluruhan jumlah anggota MPR.

Melanjutkan reformasi konstitusi

Sekalipun sudah disadari sejak awal ada kelemahan hasil perubahan generasi pertama dan adanya ruang untuk melanjutkan reformasi konstitusi, langkah menuju kelanjutan reformasi konstitusi tidak semudah yang dibayangkan. Sampai sejauh ini DPD --didukung oleh sejumlah kekuatan politik di DPR-- telah mengajukan usul kelanjutan perubahan kepada pimpinan MPR.

Dari segi jumlah, usul perubahan memang telah terpenuhi. Namun untuk mewjudkan perubahan, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 452 orang (dua pertiga dari 678) anggota MPR. Dengan demikian, perjuangan sesungguhnya untuk melanjutkan reformasi konstitusi adalah perjuangan untuk mendapatkan dua pertiga dari semua anggota MPR. Apalagi, sebelum agenda sidang terjadi sejumlah kekuatan politik yang mendukung gagasan DPD menarik kembali (membatalkan) dukungan perubahan.

Dalam konteks jumlah dukungan yang terbatas tersebut, dukungan optimal dari Pimpinan MPR menjadi sebuah keniscayaan. Sekiranya Pimpinan MPR tidak memberikan dukungan maksimal, bisa jadi kuota 2/3 jumlah anggota MPR tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, dalam sebuah kesempatan saya pernah menyatakan bahwa pimpinan MPR yang berasal dari partai politik mesti mampu meyakinkan partai politik mereka masing-masing (Media Indonesia, 12/05-2007). Dalam hal ini, peran Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Wakil Ketua MPR AM Fatwa amat diperlukan. Konkretnya, kedua orang pimpinan MPR tersebut seharusnya mampu meyakinkan partai politik mereka masing-masing untuk mendukung kelanjutan perubahan konstitusi.

Di samping itu, sekadar mengingatkan kembali, diujung proses amandemen keempat (2002) MPR secara eksplisit mengakui ada kelemahan hasil perubahan UUD 1945. Karena kelemahan itu, MPR membentuk komisi konstitusi. Lalu, mengapa hasil perubahan yang sudah diakui punya kelemahan itu masih tetap dipertahankan? Karenanya, sebelum ada penilaian mendukung status quo, reformasi konstitusi harus dilanjutkan. Semoga...