Tanggal 01 April 2013

Tepat 1 Oktober 2012, beberapa mahasiswa Universitas Andalas mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang No 12/2012  tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pokok masalah yang digugat oleh mahasiswa Unand) ini terkait upaya pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) mendorong pengelolaan lembaga pendidikan tinggi secara mandiri/otonom melalui sebuah badan hukum pendidikan.

Dalam UU PT, perguruan tinggi badan hukum diberi otonomi untuk mengelola urusan akademik dan non-akademik. Dalam konteks tersebut, perguruan tinggi badan hukum diberi kewenangan menetapkan aturan dan kebijakan operasional terkait pelaksanaan tridarma perguruan tinggi maupun terkait organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Dari pandangan mahasiswa tersebut, beberapa pasal dalam UU PT adalah membangunkan kembali materi UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Sontak, gugatan yang diajukan mahasiswa tersebut menimbulkan banyak penilaian di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ada penilaian yang mengatakan bahwa mahasiswa Unand melakukan “pembangkangan” terhadap kebijakan pendidikan tinggi yang merupakan politik hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Tidak hanya mahasiswa, Rektor Unand pun acap kali menjadi sasaran “tembak” sejumlah petinggi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Apapun, bagi saya, langkah yang dipilih mahasiswa itu merupakan bentuk kepedulian terhadap masa depan pendidikan tinggi. Karenanya, sebagai salah satu bentuk dukungan riil terhadap langkah yang dilakukan mahasiswa, saya bersedia menjadi salah seorang ahli yang diajukan ke mahkamah Konstitusi. Tidak hanya saya, dukungan serupa juga datang dari Prof Dr Mestika Zed, Guru Besar dari Universitas Negeri Padang.

Komersialisasi pendidikan

Ketika memberikan keterangan ahli, salah satu substansi permohonan yang saya beri penekanan khusus adalah Pasal 65 Ayat (1) UU No 12/2012. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum/dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.

Pasal tersebut secara tegas mengklasifikasikan pengelola keuangan pendidikan tinggi menjadi dua bentuk, yaitu pengelolaan pola Badan Layanan Umum (BLU) dan pola PTN badan hukum. Secara tidak langsung norma tersebut juga membagi perguruan tinggi menjadi dua kelompok menurut pola pengelolaan keuangan. Pertama, pola BLU merupakan konsep lama yang sampai saat ini terus dijalankan, di mana dalam pola ini PT tidak memiliki dana abadi. Kekayaan yang dimiliki perguruan tinggi juga tercatat sebagai kekayaan negara.

Kedua, pola PTN Badan Hukum. Dalam pola ini PTN diberi keleluasaan mengelola keuangan secara mandiri, diberi kesempatan memiliki dana abadi. Selain itu, kekayaan PTN merupakan kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara, di mana kekayaan tersebut bukanlah kekayaan negara. Dalam konteks relasi dengan negara dan/atau pemerintah, pola dan konsep ini mirip dengan pola relasi BUMN dan/atau BUMD dengan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Kedua pola penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi tersebut akan berimplikasi terhadap konsep tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pada pola BLU, negara sebagai subjek pemangku kewajiban atas pemenuhan hak atas pendidikan tetap ambil bagian dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Negara dan/atau pemerintah tak hanya sekedar menyediakan aturan, melainkan juga terlibat dalam pelaksanaannya.

Keterlibatan dimaksud akan sangat berpengaruh terhadap paradigma penyelenggaraan pendidikan. Di mana dengan diselenggarakannya  pendidikan atas keterlibatan negara atau pemerintah, paradigmanya lebih sebagai bentuk pelayanan dalam rangka memenuhi hak warga negara atas pendidikan. Pemerintah lebih pada posisi sebagai pihak yang mengupayakan segala sumber daya yang ada untuk memenuhi hak atas pendidikan dalam rangka mencapai salah satu tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan paradigma itu, dapat dipastikan konsep tanggung jawab pemenuhan hak atas pendidikan tidak akan bergeser dari negara dan/atau pemerintah kepada pihak lain. Atau setidak-tidaknya, tidak mengurangi pelaksanaan tanggung jawab negara atas hak pendidikan rakyat. Negara dan/atau pemerintah tidak menyerahkan tanggungjawab konstitusional yang dipikulnya kepada pihak lain. Paradigma ini berimplikasi atas pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di mana anggaran pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Pola demikian akan lebih memudahkan setiap warga negara untuk mengakses pendidikan tinggi. Sebab, setiap rakyat, tanpa pandang status sosial maupun ekonomi, akan mendapat pelayanan dari negara untuk memeroleh pendidikan.

Berbeda jauh dengan itu, dalam pola PTN Badan Hukum, negara dan/atau pemerintah mengambil posisi lebih sebagai regulator dan sekaligus fasilitator dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam pola ini, semua otoritas penyelenggaraan pendidikan, baik yang bersifat akademik maupun non-akademik dikelola secara mandiri oleh PTN yang berbadan hukum. Mulai dari soal kekayaan, pengelolaan anggaran, penerimaan dosen dan tenaga kependidikan sampai wewenang membentuk badan usaha, semuanya diatur secara mandiri oleh PTN berbadan hukum.

Hampir dapat dipastikan, pola ini akan berimplikasi terhadap pergeseran peran perguruan tinggi dari memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi hak atas pendidikan menjadi badan hukum yang juga menyelenggarakan bisnis. Sehingga ada dua peran yang sekaligus dipegang PTN badan hukum, yaitu sebagai penyelenggara pendidikan dan sebagai lembaga bisnis. Menjalankan dua peran secara bersamaan bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi dua peran tersebut memiliki karakter yang jauh berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang. Penyelenggaraan pendidikan berorientasi pada pelayanan, sedangkan bisnis lebih bersifat komersial yang orientasinya jelas mencari keuntungan.

Dengan posisi seperti itu, sangat sukar berharap PTN berbadan hukum akan mampu menjaga orientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu guna mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Alih-alih begitu, dikhawatirkan yang mungkin akan terjadi adalah komersialisasi pendidikan. Pilihan seperti ini jelas menjauh dari semangat pencantuman anggaran pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan paling kurang 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Reinkarnasi UU No 9/2009

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan yang mengikuti pola PTN badan hukum nyaris tidak berbeda dengan badan hukum pendidikan sebagaimana pernah diatur dalam UU No 9/2009. Hanya saja, badan hukum pendidikan dalam UU PT dikemas dengan istilah PTN badan hukum, sementara dalam UU No 9/2009 disebut dengan badan hukum pendidikan. Nama dan istilah berbeda, namun substansinya tetap sama. Dalam istilah orang awak disebut  ”batuka baruak jo cigak”. Berganti baju, tapi tubuhnya tetap sama: sama-sama melepaskan tanggung jawab negara dalam penyelengaraan pendidikan kepada badan hukum dengan menggunakan pola otonomi pengelolaan.

Menghadirkan kembali konsep badan hukum pendidikan melalui pola PTN berbadan hukum patut dipandang sebagai bentuk pembangkangan terhadap lembaga peradilan. Sebab, pembuat undang-undang mencoba dan berupaya menghidupkan kembali norma yang sudah dinyatakan inkonstitusional lewat proses uji materil (judicial review) di MK. Di dalam batas-batas tertentu, upaya menghidupkan kembali norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dapat dinilai sebagai bentuk lain dari penyelundupan norma. Dalam pemakanaan itu tidaklah berlebihan untuk menilai bahwa pembuat undang-undang seperti sedang mempermainkan putusan MK sebelumnya dengan cara menyelundupkan norma yang pada prinsipnya telah dibatalkan dan dianggap inkonstitusional menjadi norma baru dalam sebuah undang-undang baru.

Karena itu, langkah mahasiswa Unand mengajukan gugatan ke MK adalah langkah konkret untuk mengingatkan negara dan/atau pemerintah agar tidak menjauh dari tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan (baca: pembiayaan) pendidikan. Selain itu, mahasiswa juga menjaga putusan MK yang sebelumnya menyatakan badan hukum pendidikan sebagai pilihan hukum (legal policy) yang inkonstitusional.

Dalam posisi itu, meski banyak pentinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang seperti kebakaran jenggot, gugatan mahasiswa Unand itu adalah bentuk protes beradab yang memilih jalan cerdas dan damai. Melihat substansi yang dipersoalkan, besar harapan gugatan tersebut akan dikabulkan MK. Semoga. (SALDI ISRA)