Majalah Detik: 24 Februari-2 Maret 2014

 

 

 

Publik jauh lebih berhak menilai kadar kenegarawanan seseorang yang akan diajukan sebagai hakim konstitusi.

 

 

 

 

 

Secara sederhana, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu No. 1/2013) merupakan langkah strategis untuk menjaga Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, pilihan menjaga tersebut perlu dilakukan karena wewenang yang dimiliki MK sangat strategis untuk sejumlah agenda politik kenegaraan. Misalnya, selain berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, MK memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum.

Begitu terjadi peristiwa penangkapan Akil Mochtar, banyak pihak menilai hal tersebut potensial mempengaruhi MK sebagai sebuah institusi. Karena itu, segala upaya penyelamatan dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan peluang membentuk emergency law dalam Pasal 22 UUD 1945, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpu No. 1/2013. Terlepas dari persoalan sekitar keterpenuhan persyaratan menerbitkan perpu, desain menjaga MK dalam Perpu No. 1/2013 dimulai dari pembenahan persyaratan menjadi hakim konstitusi, melakukan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, sampai menjaga perilaku hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang bersifat permanen.

Setelah melalui perdebatan alot, akhirnya Perpu No. 1/2013 disetujui mayoritas anggota DPR melalui proses pemungutan suara. Namun semua upaya tersebut kandas di tangan hakim konstitusi. Melalui uji materiil (judicial review), tanpa dissenting opinion, pengesahan Perpu No. 1/2013 via UU No. 4/2014 dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh hakim konstitusi.

Terbuka dan Partisipatif

Salah satu perubahan mendasar yang ditawarkan Perpu No. 1/2013 adalah berkenaan dengan pengisian hakim konstitusi. Perubahan tersebut menyangkut syarat “tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”. Hal itu jelas dimaksudkan agar hakim konstitusi diisi oleh figur yang tidak terkait langsung dengan kewenangan MK untuk menangani sengketa hasil pemilihan umum, yang sangat terkait dengan kepentingan partai politik. Jika hakim konstitusi disesaki orang partai, tentu saja akan timbul keraguan soal obyektivitas penyelesaian sengketa dimaksud.

Begitu pula dengan pembentukan panel ahli dalam menelisik dan menilai lebih jauh keterpenuhan segala persyaratan sebagai calon hakim konstitusi. Pembentukan panel ahli merupakan strategi lain untuk menjadikan proses pengisian hakim konstitusi lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Pengalaman selama ini, pengisian hakim sepertinya hanya menjadi urusan internal lembaga pengusul. Paling tidak, proses yang sangat tertutup tersebut dapat dilacak dari pengisian hakim konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung (MA).

Presiden pernah melakukan proses terbuka pada 2008, namun pengisian tiga hakim konstitusi yang terakhir tidak lagi dengan proses yang partisipatif. Sejauh ini, hanya DPR yang terus bertahan dengan proses yang agak lebih terbuka.

Padahal, bila UU No. 24/2003 sebagaimana diubah dengan UU No. 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), khususnya Pasal 19 dan 20 UU MK ditelaah, prinsip-prinsip keterbukaan dalam pengisian hakim konstitusi menjadi keniscayaan. Paling tidak, ada tiga pesan penting dalam pengisian hakim konstitusi. Pertama, kewenangan mengajukan calon hakim konstitusi yang dimiliki presiden, DPR, dan MA harus membuka ruang kepada partisipasi masyarakat. Kedua, kewenangan pengajuan calon hakim konstitusi harus tetap dikontrol.

Ketiga, calon hakim konstitusi yang akan diajukan tiga lembaga tersebut tidak hanya harus lolos ujian atau tes yang dilaksanakan masing-masing lembaga, tapi juga mesti melewati uji publik melalui proses seleksi yang terbuka.

Selain itu, penerapan prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas setidaknya dapat memberi garansi bagi publik bahwa calon hakim konstitusi betul-betul orang yang diakui kenegarawanannya, bukan figur yang hanya memiliki relasi politik dan kekuasaan, baik dengan presiden, DPR, maupun MA. Lagi pula, ukuran kenegarawanan seseorang bukanlah sepenuhnya otoritas presiden, DPR, dan MA untuk menentukan. Publik juga berhak, bahkan jauh lebih berhak, menilai kadar kenegarawanan seseorang yang akan diajukan sebagai hakim konstitusi.

Terobosan DPR

Seperti dikemukakan di atas, selama ini DPR relatif lebih terbuka dalam proses pengisian hakim onstitusi. Sekarang pengisian hakim konstitusi juga sedang berfokus pada DPR. Soalnya, dua orang hakim konstitusi (pengganti Akil Mochtar dan Haryono) berasal dari DPR. Karena itu, sekalipun MK telah membatalkan UU No. 4/2014, diharapkan DPR tetap mau dan mampu memelihara pesan dan semangat perubahan yang hendak dicapai Perpu No. 1/2013.

Bagaimanapun, banyak pihak percaya, pascapembatalan UU No. 4/2014, tata cara pengisian hakim konstitusi yang dilakukan DPR akan menjadi pola yang akan diikuti presiden dan MA.

Dalam posisi seperti itu, langkah DPR membentuk tim pakar dalam membantu DPR menilai kelayakan calon hakim konfor stitusi yang berasal dari DPR dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan penting. Jika selama ini proses penilaian dilakukan sendiri oleh DPR (via Komisi III) dengan membentuk tim pakar, obyektivitas proses kian dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya itu, proses yang melibatkan tim pakar akan membuka peran serta dan partisipasi masyarakat yang jauh lebih luas. Selain itu, anggota DPR tidak perlu merasa sungkan terhadap sesama anggota DPR yang berminat menjadi hakim konstitusi.

Kehadiran tim pakar harus menjadi titik penting dalam proses pengisian calon hakim konstitusi. Artinya, tim pakar bukan hanya aksesori untuk memoles dan mempercantik proses di DPR. Karena itu, akan jauh lebih bermakna sekiranya tim pakar yang dibentuk DPR diberi peran tidak jauh berbeda dengan panel ahli yang dimaksudkan Perpu No. 1/2013. Demi sebuah proses yang kredibel, dengan tim pakar yang dibentuk sendiri, DPR sangat mungkin mengoptimalkan tim tersebut untuk menemukan hakim onstitusi yang memenuhi amanat Pasal 24-C Ayat (5) UUD 1945.

Sekiranya gagasan tersebut direalisasi DPR, kita tidak perlu terlalu lama berduka o h pembatalan UU No. 4/2014. Dengan proses yang lebih terbuka, kita akan menemukan hakim konstitusi dengan integritas dan kepribadian yang tidak tercela, serta negarawan yang menguasai konstitusi. Insya Allah.