
INILAH.COM, Jakarta – Pasca-reformasi menyusul jatuhnya Orde Baru 1998, carut marut kehidupan politik dan hukum terjadi karena terlalu lamanya Indonesia berkubang pada proses transisi. Kubangan itu semakin kotor tatkala reformasi di dalam internal parpol tidak mampu mengawal periode transisi yang rentan ini.
Demikian benang merah pandangan para pakar seperti Profesor Saldi Isra (guru besar bidang hukum tata negara dari Universitas Andalas), Zainal Arifin Mochtar (Direktur pusat Kajian anti korupsi (PUKAT UGM), TM Luthfi Yazid (peneliti di Universitas Gakushuin, Tokyo dan seorang advokat), Iwan Satriawan (pakar hukum publik), Taufik Basari (Direktur LBH Masyarakat, Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI), Hasrul Halili (PUKAT UGM) dan Asep Rosadi, (Kasi Binpuan Subditbinpolmas Ditbinmas Polda Sultra).Mereka berbicara di Tokyo, Jepang kemarin dalam sebuah seminar bertajuk “Mengkritisi wajah hukum Indonesia pasca perubahan UUD 1945”. Zainal Arifin Mochtar dan TM Lutfi Yazid mengungkapkan bahwa kekuasaan yang berlebihan pada parpol dan parlemen membuat para pengambil kebijakan menjadi terus tersandera dan lemah secara politik.
Sementara menurut Hasrul Halili, lemahnya sistem politik ketatanegaraan disebabkan oleh belum sempurnanya sistem demokrasi di Indonesia dalam menyentuh substansi.
Meskipun mayoritas pembicara sepakat bahwa parpol di era reformasi merupakan sumber permasalahan dan kebingungan publik, tetapi mereka masih menaruh harapan besar terhadap parpol untuk bisa membawa perubahan mendasar bagi bangsa. “Masalahnya adalah partai politik belum ikhlas membangun dirinya dengan baik,” imbuh Saldi.
Dalam kaitannya dengan reshuffle kabinet, Zainal Arifin Muchtar mengungkapkan bahwa kabinet SBY yang mengakomodasi posisi wakil menteri merupakan wujud nyata dari bentuk penghambaan terhadap parpol.
Bahwa untuk mengubah sistem seperti ini diperlukan sebuah konsolidasi masyarakat sipil yang kuat. Hal ini diamini Iwan Satriawan yang menekankan perlunya sebuah konsensus yang melibatkan semua elemen bangsa. “Namun sayangnya proses konsolidasi masih diwarnai pertarungan orang lama dengan orang baru dimana konsolidasi rezim lama lebih kuat dibanding dengan tokoh-tokoh reformis,” ungkap Iwan.
Luthfi Yazid kemudian menambahkan bahwa yang paling penting adalah kembali kepada kesepakatan adhiluhung para founding fathers yakni mewujudkan rule of law atau negara hukum serta menyejahterakan ekonomi masyarakat.
Luthfi menambahkan, tradisi mundur dan malu di Jepang perlu di contoh politisi di tanah air. Contoh, di masa PM Naoto Kan, seorang menteri baru diduga terlibat korupsi dalam jumlah puluhan juta rupiah, ia mundur sebagai menteri. Begitupun pada masa PM Noda yang sekarang: menterinya tidak sungkan mundur. Beda dengan di Indonesia. Menterinya bermasalah, tapi kabinet tetap berjaya.
Mengenai pemberantasan korupsi, Taufik Basari melihat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan ornamen yang paling penting dalam usaha memberantas korupsi. Saldi Isra kemudian menambahkan bahwa wacana pembubaran KPK merupakan sesuatu hal yang keliru dan tidak relevan dengan upaya penumpasan korupsi.
Sementara Asep Rosadi, sebagai satu-satunya anggota Polri yang berbicara dalam seminar ini mengungkapkan bahwa institusi kepolisian dapat membantu upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi asalkan bisa meneruskan tradisi reformasi internal yang hingga saat ini terus berlangsung. “Salah satu pekerjaan rumah yang paling besar adalah memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Polri,” ujarnya lagi. [mdr]
http://nasional.inilah.com/read/detail/1786213/kekuasan-parlemen-berlebihan-pemerintah-tersandera

 
	 
	
