Dua minggu lalu, saat saya berbincang-bincang dengan Prof Saldi Isra dan seorang staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang datang kepada saya untuk mendiskusikan road map pemberantasan korupsi, muncul ide menarik.
“Apakah Anda setuju jika kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah ditambah dengan kunjungan ke penjara para koruptor?” tanya staf KPK itu kepada saya. Mula-mula saya tergelak karena merasa pertanyaan itu sekadar ekspresi kejengkelan dari seorang yang merasa frustrasiatasmerajalelanyakorupsi di negeri ini. “Hahaha, untuk apa? Apakah seperti mengajak anak sekolah melihat kebun binatang?”saya balik bertanya. “Ya, betul. Daripada anakanak selalu diajak ke kebun binatang lebih baik diajak melihat para koruptor dipenjara sebagai bagian dari pendidikan antikorupsi,” jawab staf KPK itu.
Atas jawaban yang serius itu saya pun jadi serius.Betul juga, daripada hanya diajak ke kebun binatang, mungkin lebih baik kalau anak-anak sekolah juga diajak melihat tampang para koruptor yang meringkuk di penjara.Artinya kita perlu menjadikan penjara para koruptor sebagai “kebun koruptor”yang dapat dikunjungi oleh anakanak sekolah sebagai bagian dari pendidikan antikorupsi. Tentu saja,untuk keperluan pelajaran biologi dan rekreasi, kunjungan ke kebun binatang tak perlu dihilangkan.
Malahan kunjungan ke kebun binatang bisa dijadikan satu paket dengan kunjungan ke kebun koruptor.Dengan begitu anak-anak bisa sekaligus melihat binatang yang tak memiliki hati nurani dan melihat para koruptor yang, meskipun oleh Tuhan diberi instrumen hati nurani, lebih sesat daripada binatang. Asyik juga kalau ada paket rekreasi ke kebun binatang sekaligus ke kebun koruptor. Ide ini, meskipun awalnya terasa lucu, menjadi penting mengingat sekarang ini korupsi sudah terjadi di berbagai lini dan upaya pemberantasannya seperti membentur batu karang.
Korupsi terjadi di mana-mana dan pelakunya seperti tidak takut terhadap hukuman penjara. Hukuman penjara tampaknya sudah dianggap formalitas yang tidak menakutkan karena selain hukuman penjaranya biasanya hanya sebentar atau waktunya pendek, juga masih bisa diberi potongan dengan remisi. Dengan menyuap kepada petugas pun kamar penjara bisa disulap menjadi seperti hotel dan kantor mewah yang itu pun bisa ditinggalkan oleh penghuninya sesuka hati.
Meskipun ihwal mudahnya narapidana meninggalkan penjara sudah diributkan dengan gegap gempita, sampai sekarang, kabarnya, tak ada perbaikan pengawasan.Para narapidana korupsi bisa keluar masuk rumah penjara dengan mudah, berjalan-jalan ke mal,tidur di rumah atau di hotel,bahkan berpelesiran ke luar negeri. Sahabat saya Slamet Effendi Yusuf yang sekarang menjadi salah seorang ketua PBNU bercerita kepada saya bahwa bulan lalu dirinya bertemu dengan teman-teman politisinya dalam satu pesta perkawinan. Padahal mereka ini sedang dipenjara karena korupsi.
Aneh, orang dipenjara bisa menghadiri pesta perkawinan dengan memakai jas mewah. Slamet menceritakan pengalaman lain. Pada suatu Minggu pagi dia menelepon temannya yang sedang dipenjara karena korupsi. Maunya, sebagai teman, dia ingin menengok sebagai tanda simpati kepada teman yang sedang kena musibah dipenjarakan. Ternyata sang teman itu merasa senang karena akan ditengok dan serta-merta menyatakan siap menerima kunjungan Slamet. Namun ternyata Slamet tidak diterima di rumah penjara, melainkan diterima di sebuah restoran mewah.
“Gila, kan? Orang sedang dipenjara menerima tamu di restoran,”ucap Slamet sambil mengurut dada. Jadi di kalangan para koruptor tak ada lagi rasa takut atau malu karena dipenjarakan. Nah,kalau pemenjaraan sudah tak ditakuti dan tak membuat malu para koruptor, diperlukan cara lain. Di sinilah arti penting perubahan rumah penjara menjadi “kebun koruptor” yang bisa dijadikan objek kunjungan anak-anak sekolah setiap hari libur. Bahkan baik juga jika di setiap kebun koruptor itu dibangun juga diorama korupsi.
Dengan begitu selain melihat langsung tampang-tampang para koruptor melalui kebun koruptor di berbagai tempat, melalui diorama para siswa juga bisa melihat secara visual sejarah pemberantasan korupsi dan akibat-akibat terjadinya korupsi. Di dalam diorama itu dapat disajikan patung-patung, dokumen- dokumen, rekaman-rekamandanpenayangan penangkapan serta pengadilan terhadap para koruptor.Untuk membuat jera dan takut,tampaknya hukuman penjara bagi para koruptor tidak lagi memadai.
Memiskinkan dan mempermalukan para koruptor sebagai hukuman seperti pembangunan diorama dan kebun koruptor tampaknya diperlukan sekarang ini.Namun agar tak diteriaki sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Komnas HAM, pembangunan kebun koruptor dan diorama korupsi perlu dituangkan lebih dulu di dalam undang-undang. Memiskinkan dan mempermalukan koruptor itu tidak menjadi pelanggaran HAM jika pemberlakuannya dimasukkan lebih dulu di dalam undangundang.
Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 HAM bisa dibatasi atau dikurangi melalui undang-undang dengan maksud untuk melindungi HAM orang lain.Tak dapat disangkal, korupsi itu melanggar HAM seluruhrakyatsehinggapelakunya, melalui undang-undang, dapat diancam dan dihukum dengan dimiskinkan dan dipermalukan. 
In order to provide you with the best online experience this website uses cookies. Delete cookies
In order to provide you with the best online experience this website uses cookies.
By using our website, you agree to our use of cookies.
Learn more
I agree
Information cookies
Cookies are short reports that are sent and stored on the hard drive of the user's computer through your browser when it connects to a web. Cookies can be used to collect and store user data while connected to provide you the requested services and sometimes tend not to keep. Cookies can be themselves or others.
There are several types of cookies:
Technical cookies that facilitate user navigation and use of the various options or services offered by the web as identify the session, allow access to certain areas, facilitate orders, purchases, filling out forms, registration, security, facilitating functionalities (videos, social networks, etc..).
Customization cookies that allow users to access services according to their preferences (language, browser, configuration, etc..).
Analytical cookies which allow anonymous analysis of the behavior of web users and allow to measure user activity and develop navigation profiles in order to improve the websites.
So when you access our website, in compliance with Article 22 of Law 34/2002 of the Information Society Services, in the analytical cookies treatment, we have requested your consent to their use. All of this is to improve our services. We use Google Analytics to collect anonymous statistical information such as the number of visitors to our site. Cookies added by Google Analytics are governed by the privacy policies of Google Analytics. If you want you can disable cookies from Google Analytics.
However, please note that you can enable or disable cookies by following the instructions of your browser.