| Selamat(kan) Jalan KPK |  |  | 
| Thursday, 10 June 2010 | |
| Sang super-body,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar tengah berada dalam situasi sulit. Situasi sulit setidaknya sudah mulai dirasakan sejak Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnain. Meskipun status tersangka itu tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas KPK, tragedi yang menimpa Antasari memberi beban luar biasa berat bagi KPK. Ibarat pohon, tersangkutnya Antasari seperti tiupan angin topan dahsyat. Meskipun mampu bertahan, dapat dipastikan energi KPK sangat terkuras untuk terus bertahan.  Belum selesai dengan skandal Antasari,KPK kembali dihadapkan pada masalah yang tidak kalah seriusnya: dua pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah mengalami kriminalisasi. Sebagai dikemukakan dalam “Hari Kemenangan Koruptor” (Seputar Indonesia, 24/9/09), kepolisian sengaja mencari-cari kesalahan pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga punya dasar hukum menonaktifkan mereka. Karena itu, ada dugaan bahwa ada upaya menggunakan institusi kepolisian untuk “membunuh” KPK. Dugaan itu ternyata benar, hasil temuan Tim Delapan membuktikan bahwa tidak cukup bukti untuk menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka. Ketika badai mulai mereda, Anggodo Widjaja mengajukan permohonan praperadilan surat keterangan penghentian penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra. Sebagaimana diketahui, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian permohonan Anggodo.Tidak hanya mengabulkan permohonan yang diajukan Anggodo karena alasan penghentian penuntutan kasus Bibit-Chandra tidak tepat,hakim memerintahkan kejaksaan juga melimpahkan berkas perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Sekalipun banding telah dilakukan, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tengah gelombang badai itu, sesuai ketentuan Pasal 33 Undang- Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 30/ 2002), kekosongan pimpinan KPK yang ditinggalkan Antasari akan segera diisi. Namun, setelah jadwal pendaftaran mendekati batas akhir, panitia seleksi masih menghadapi banyak masalah. Di antara masalah tersebut yaitu lama masa jabatan yang akan dijalankan pimpinan KPK yang akan dipilih dan mayoritas calon yang mendaftar masih amat jauh dari gambaran ideal sosok pimpinan KPK.Karena kedua alasan tersebut,langkah untuk menyelamatkan KPK potensial menemui jalan buntu. Satu Tahun vs Empat Tahun Lama masa jabatan untuk posisi yang ditinggal Antasari menuai polemik. Sebagian kalangan berpendapat bahwa pengganti Antasari hanya melanjutkan masa jabatan yang tersisa yaitu sekitar satu tahun. Pendapat yang pertama ini lebih banyak beredar di sekitar Gedung DPR. Sementara itu, pendapat yang berkembang di kalangan panitia seleksi dan mayoritas mereka yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi berpendirian bahwa masa jabatan pengganti Antasari adalah empat tahun. Merujuk UU No 30/2002,secara jujur harus diakui bahwa tidak ada pengaturan yang menegaskan masa jabatan jika terjadi per-gantian/ kekosongan jabatan pimpinan KPK.Satu-satunya ketentuan yang menyebut masa jabatan adalah Pasal 34 yang menyatakan bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Ketentuan itu tepat dirumuskan setelah Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Karena hanya ada ketentuan tersebut, menjadi sulit menerima bangunan argumentasi yang menyatakan bahwa masa jabatan pengganti Antasari adalah meneruskan masa jabatan yang tersisa, sekitar satu tahun. Sekiranya dibaca dengan cermat,tidak satu pun ketentuan yang menegaskan bahwa pengganti yang mengisi kekosongan pimpinan adalah meneruskan atau melanjutkan masa jabatan yang sebelumnya.Dengan tidak adanya ketegasan itu, batas masa jabatan empat tahun sebagaimana diatur Pasal 34 UU No 30/2002 berlaku terhadap siapa saja yang menjadi pimpinan KPK. Berdasarkan pemahaman tersebut, pendapat yang mengatakan bahwa masa jabatan adalah empat tahun dengan maksud agar memberi manfaat yang lebih besar di antaranya waktu yang hanya sekitar satu tahun tidak akan memberi manfaat besar guna melaksanakan kewenangan-kewenangan KPK. Kalau hanya satu tahun, jangan-jangan orang yang terpilih belum sempat bekerja sudah harus diganti lagi. Celakanya, belum sempat bekerja, tetapi sudah tahu “isi perut”KPK. Selain masalah manfaat,mengaminkan masa jabatan empat tahun bagi pengganti Antasari dapat memperkuat KPK sebagai lembaga independen. Secara teori, sebuah lembaga disebut independen, salah satunya jika proses pengisian tidak dilakukan secara serentak (staggered terms). Karena itu, menjadi aneh dan sulit diterima akal sehat jika memaksakan pengganti Antasari hanya dengan masa jabatan sekitar satu tahun. Aktivis Antikorupsi Selain masalah masa jabatan yang akan dijalani pengganti Antasari, masalah lain yang amat serius adalah keterbatasan jumlah pendaftar yang akan diseleksi panitia seleksi. Di tengah keterbatasan itu, pertanyaan terbesar dan mendasar yang mencuat ke permukaan: Mengapa para aktivis antikorupsi seperti tidak tertarik mengambil bagian untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Antasari? Padahal, sekiranya mereka mau mengambil bagian dalam proses yang ada,panitia seleksi tidak perlu berlama-lama dalam suasana yang terjadi saat ini. Sejauh ini yang sering didengar, para aktivis menghindar untuk masuk proses seleksi karena takut atas perlakuan “kasar” anggota DPR saat melakukan fit and proper test. Banyak pengalaman menunjukkan, calon“ditelanjangi”habishabisan bukan dimaksudkan melacak kemampuan kandidat dan menelusuri track record yang bersangkutan, melainkan lebih bertujuan mempermalukan di hadapan publik.Tidak cukup sampai perlakuan kasar tersebut, dukungan suara pun jauh dari kemampuan dan pengalaman yang dimiliki calon. Karena itu, banyak aktivis beranggapan proses fit and proper testadalah semacam bunuh diri. Saat ini yang ditakuti tidak hanya proses yang berlangsung di DPR, tetapi juga nasib tidak menentu setelah menjadi komisioner. Pengalaman Bibit-Chandra menunjukkan, komisioner amat rawan dikriminalisasi. Bisa jadi banyak aktivis tetap bertahan di jalur yang diperankan selama ini daripada masuk menjadi pimpinan KPK, tetapi tidak ada jaminan aman dari ancaman kriminalisasi. Bagaimanapun dengan kewenangan yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan, kasus yang menimpa Bibit-Chandra bisa menimpa siapa saja yang menjadi pimpinan KPK. Menyelamatkan KPK Sebetulnya untuk menyelamatkan KPK,semua ancaman di atas harus dibuang jauh-jauh oleh para aktivis atau mereka yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi.Menelusuri kesungguhan yang dilakukan panitia seleksi, peluang para aktivis begitu besar untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Antasari.Saya yakin, jika para aktivis yang selama ini telah malang-melintang dalam agenda pemberantasan korupsi bersedia mengajukan diri, peluang lolos dari panitia seleksi sangat besar. Bagaimanapun, jika semakin banyak aktivis yang kredibel mengajukan diri, panitia seleksi akan makin mudah mencari figur yang layak menjadi Ketua KPK. Andai saja aktivis seperti Bambang Widjojanto,Teten Masduki, Mas Ahmad Santosa, atau tokoh sekaliber Jimly Asshiddiqie dan Busyro Muqoddas berkenan mewakafkan dirinya memasuki medan laga, hampir dapat dipastikan figur yang akan dihasilkan panitia seleksi tidak akan keluar dari nama-nama tersebut. Sekiranya memang benar, DPR tidak akan punya jalan untuk menghindar kecuali memilih nama-nama tersebut. Dengan demikian, publik akan merasa lebih nyaman menghadapi proses fit and proper test yang akan dilakukan DPR.Paling tidak,pengalaman pemilihan pimpinan KPK yang terakhir tidak akan terulang kembali. Saat itu sejumlah figur yang diharapkan publik harus tersisih karena DPR memilih figur-figur dengan tingkat risiko yang amat rendah. Dalam situasi yang ada saat ini, jalan paling aman menyelamatkan KPK tidak cukup hanya dengan memastikan bahwa masa jabatan pengganti Antasari akan berlangsung empat tahun, tetapi juga memastikan para aktivis antikorupsi dan tokoh-tokoh dengan kredibilitas tinggi bersedia mengambil panggung. Bagaimanapun jalan KPK harus diselamatkan. Jika tidak, kita harus mengucapkan selamat jalan kepada KPK.(*) Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur PUSaKO Universitas Andalas | 

 
	 
	
