Oleh Saldi Isra

Entah apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran Muhammad Nazaruddin. Berbarengan aksi bungkamnya setelah kembali ke Indonesia, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini menulis surat pribadi ke Presiden SBY.

Pada pokoknya, surat itu meminta agar ia segera dihukum tanpa perlu mengikuti proses persidangan. Bagi Nazaruddin, dihukum berapa tahun pun ia rela sepanjang SBY dapat memberikan ketenangan lahir dan batin bagi istri dan anak-anaknya. Jika itu dilakukan, ia berjanji tidak akan menceritakan apa pun yang dapat merusak citra PD dan Komisi Pemberantasan Korupsi demi kelangsungan bangsa ini.

Tak pelak, isi surat yang hanya memuat sekitar 90 kata tersebut menimbulkan keterkejutan publik. Selain memicu perdebatan tentang maksud sesungguhnya yang ada di balik pengiriman surat itu, Nazaruddin pun mulai hemat bicara. Gejala ini dapat dibaca dari bungkamnya Nazaruddin untuk menceritakan keterlibatan pihak lain dalam kasus suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang.

Belum usai perdebatan di sekitar kehadiran surat tersebut, di luar perhitungan banyak pihak, dalam waktu tiga hari, SBY membalas surat Nazaruddin. Tak tanggung-tanggung, pada saat disampaikan ke publik, surat SBY dibacakan langsung oleh kalangan ”ring satu” Istana. Begitu seriusnya dalam memberikan respons, surat balasan itu hampir empat kali lebih panjang dari surat Nazaruddin.

Pengakuan implisit

Dengan menggunakan cara pandang sederhana, surat Nazaruddin menggambarkan betapa ia mencintai keluarga, terutama istri dan anak-anaknya. Namun, rasa cinta tidak bisa menjadi alasan untuk berkelit menghindari proses hukum. Sebagaimana diketahui, dalam kasus lain, KPK telah menetapkan istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni sebagai tersangka.

Dengan status itu, permohonan agar SBY memberikan ketenangan lahir dan batin bagi Neneng merupakan kesalahan fatal. Bahkan, substansi permohonan Nazaruddin itu dapat dikategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice) yang diancam pidana penjara sekurang-kurangnya tiga tahun dan paling lama 12 tahun. Bagaimanapun, dengan menelaah riwayat pelarian Nazaruddin, sulit mengatakan bahwa ia tidak mengetahui secara persis tempat persembunyian Neneng.

Namun, apabila diletakkan dalam pusaran skandal yang melilit mantan anggota Komisi III DPR ini, isu mendasar yang harusnya ditelaah dalam surat kepada SBY adalah janji yang bersangkutan untuk tak menceritakan apa pun yang dapat merusak citra PD. Kecurigaan besar yang mengiringi janji itu, mengapa tiba-tiba Nazaruddin seperti hendak menutup semua informasi yang pernah ia kemukakan ketika masih dalam pelarian.

Di balik kecurigaan itu, secara positif, janji Nazaruddin untuk tak menceritakan apa pun terkait PD dapat dibaca sebagai bentuk pengakuan implisit bahwa partai pemenang Pemilu 2009 ini punya peran penting dalam pusaran skandal yang dialami Nazaruddin. Setidaknya, merujuk ”nyanyian” Nazaruddin selama dalam pelarian, kemungkinan keterlibatan sejumlah petinggi PD jadi sulit dihindari.

Karena itu, banyak kalangan percaya, sesungguhnya surat Nazaruddin tidaklah sepenuhnya ditujukan untuk melindungi PD, tetapi boleh jadi dimaknai sebagai ancaman terbuka. Potensi daya rusak ancaman Nazaruddin dapat dilacak dari hadirnya frase ”demi kelangsungan bangsa”. Sulit dibantah, dalam batasan yang sangat minimal, pengakuan implisit ini potensial mendatangkan dampak luas bagi mereka yang sedang berada di pusaran kekuasaan terutama yang selama ini merupakan bagian lingkaran perkoncoan Nazaruddin.

Apabila diletakkan dalam keinginan membuka semua rangkaian misteri yang ada di balik skandal ini, pengakuan implisit Nazaruddin seharusnya menjadi modal berharga membuka skandal ini sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, ancaman ”demi kelangsungan bangsa” jangan sampai menjadi alasan untuk menutup upaya membongkar skandal yang menempatkan Nazaruddin di pusaran utama. Apabila mau menoleh sedikit ke belakang, bukankah ancaman serupa pernah pula dikemukakan oleh seorang petinggi kepolisian dalam kasus Susno Duadji?

”By design”?

Saat mengambil langkah membalas surat, pertanyaan sejumlah kalangan: begitu pentingkah surat Nazaruddin? Pertanyaan itu penting dikemukakan karena sejauh ini banyak surat dari masyarakat kepada Presiden tidak jelas nasibnya. Merujuk data Kontras, misalnya, sekitar tiga tahun lebih, ada 1.279 surat dari keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah digubris SBY (Sinar Harapan, 23/08). Karena itu, muncul pertanyaan lain: apakah pengakuan implisit Nazaruddin menempatkan SBY pada pilihan yang dilematis?

Terlepas dari pertanyaan kritis itu, sulit dibantah, surat Nazaruddin benar-benar mengusik ketenangan SBY. Tak hanya itu, melihat tingkat keseriusan yang tergambar, surat balasan itu menunjukkan kesan inferioritas seorang Presiden. Kesan inferior dapat ditelusuri dari substansi surat SBY yang perlu betul menuliskan bahwa seorang presiden tidak boleh melakukan intervensi dalam penegakan hukum.

Padahal, untuk sebuah surat yang sangat jauh dari sebuah substansi hukum yang benar, balasan SBY dapat dikatakan berlebihan. Kalaupun merasa perlu merespons, SBY cukup memerintahkan seorang stafnya memberikan keterangan lisan seperlunya. Lebih aneh lagi, secara eksplisit SBY sama sekali tidak mendesak Nazaruddin membantu penegak hukum dengan cara memulangkan istrinya, Neneng, dari tempat yang nun jauh di sana.

Meskipun menolak permintaan, tak terbantahkan, balasan SBY jelas memberikan ”keuntungan” luar biasa bagi Nazaruddin. Bagaimanapun hasilnya, ibarat pepatah lama, ”kata berjawab, gayung pun bersambut”. Dengan respons itu, dapat dikatakan misi surat Nazaruddin berhasil mencapai sasaran. Setidaknya, keberhasilan itu dapat dilacak dengan bergesernya fokus dari substansi kasus menjadi hubungan surat-menyurat Nazaruddin dan SBY.

Karena itu, jangan-jangan surat Nazaruddin memang dirancang (by design) begitu rupa untuk mengubah perhatian publik. Jika kekhawatiran itu benar, hampir dapat dipastikan ”surat cinta” Nazaruddin-SBY akan menggerakkan penyelesaian skandal Nazaruddin ke pendulum berbeda. Mengapa kita tak belajar dari tenggelamnya kapal Century: sebuah skandal menghilang karena terkuak skandal lain.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Program S-3 Ilmu Hukum, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/2011/08/25/03374557/surat.cinta.nazaruddin-sby