Saldi Isra

Tanpa terasa pada 13 Agustus ini Mahkamah Konstitusi genap delapan tahun. Dalam usia muda, lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini berkelebat jauh di jagat penegakan hukum.

Barangkali pada awal kehadirannya tak banyak yang memperkirakan MK akan mampu menjaga asa penegakan hukum. Bergerak dengan visi ”mewujudkan peradilan yang modern dan tepercaya”, MK melaju meninggalkan lembaga lain yang hadir dalam generasi yang hampir bersamaan.

Dalam delapan tahun kehadirannya, MK jelas beda dengan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan, Mahkamah Agung selaku saudara tua harus belajar banyak dari MK untuk bergerak menuju peradilan yang memiliki cita-rasa peradilan modern.

Apakah yang telah diraih MK dapat dikatakan cukup menatap tantangan nanti mengingat serangkaian kejadian yang menimpanya? Ketika isu suap menerpa MK, masyarakat terperanjat dengan mundurnya hakim konstitusi M Arsyad Sanusi. Arsyad salah satu fokus pemberitaan skandal surat palsu MK.

Peringatan sewindu ini seharusnya dijadikan momentum melihat MK secara kritis. MK tak hanya tengah memasuki fase krusial, tetapi juga tengah diuji kesiapan dan kemampuannya menjaga visi sebagai peradilan yang modern dan tepercaya. Generasi pertama

Lima tahun kehadirannya merupakan periode pertama meletakkan fondasi MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Dalam posisi sebagai sebuah lembaga negara baru, dapat dikatakan bahwa MK berjuang luar biasa keras membangun eksistensi. Meski secara teori sering disebut sebagai penjaga konstitusi, untuk mewujudkannya ke dunia nyata tak seperti membalik telapak tangan. Jadi, apabila salah melangkah pada awal kehadirannya, eksistensi MK tidak seperti sekarang.

Pekerjaan berat dalam lima tahun pertama tak hanya sebatas membangun lembaga, tetapi juga membangun kesadaran masyarakat bahwa telah hadir sebuah lembaga negara baru yang bernama MK menjalankan wewenangnya dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.

Tak hanya itu. MK dihadapkan pada beban berat karena melihat pengalaman dan kinerja Mahkamah Agung. Beban di pundak MK terasa kian berat karena dari semua jabatan publik yang ada dalam UUD 1945, hanya hakim konstitusi yang disyaratkan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Ujian mahaberat MK generasi pertama adalah ketika adanya pengajuan permohonan pengujian Pasal 60 Huruf g UU Pemilu Anggota Legislatif yang mengharuskan calon anggota legislatif memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung atau tidak langsung G30S atau organisasi terlarang lainnya.

Dengan alasan hak memilih dan hak mencalonkan merupakan hak konstitusional warga negara, MK menyatakan Pasal 60 Huruf g tak memiliki kekuatan mengikat. Bagi MK, pengingkaran terhadap hak-hak tersebut adalah pelanggaran atas hak asasi warga negara dan sekaligus pengingkaran atas UUD 1945.

Sekalipun banyak putusan MK yang lain di sepanjang tahun pertama kehadirannya, sulit dibantah bahwa keberanian MK keluar dari beban sejarah dengan membatalkan Pasal 60 Huruf g tersebut membuka mata semua orang. Paling tidak, dengan keberanian itu, hakim konstitusi membuktikan mereka merupakan negarawan yang mampu mengemban amanat sebagai pengawal konstitusi. Sulit dibantah, buah dari keberanian itulah yang menjadi modal berharga dalam membangun eksistensi MK pada lima tahun pertama.

Tergerus wewenang baru

Selepas lima tahun pertama, MK tak memikirkan lagi soal eksistensi. Tantangan terbesar: bagaimana menjaga kepercayaan publik terhadap MK. Kepercayaan itu pula yang menyebabkan publik mendorong penyelesaian sengketa hasil pemilu kepala daerah dilakukan di MK. Setelah melihat pengalaman menyelesaikan sengketa pemilihan wali kota Depok, misalnya, pembentuk undang-undang tak punya pilihan lain kecuali menyerahkannya kepada MK.

Dalam perkembangannya kemudian, penambahan kewenangan itu justru mendatangkan ujian mahaberat bagi MK. Dalam pelaksanaan kewenangan baru itu, kritik dan nada sumbang mulai diarahkan kepada MK. Dalam banyak kasus sengketa pilkada, terobosan MK adalah dalam hal adanya pelanggaran yang ”terstruktur, sistematis, dan masif” (TSM). Kritiknya lebih pada kelonggaran menggunakan dalil TSM ketika memerintahkan untuk pemungutan suara ulang, penghitungan ulang, atau mendiskualifikasi pasangan calon.

Apabila diletakkan dalam kewenangan MK secara keseluruhan, terutama wewenang menguji undang-undang, kewenangan baru MK itu telah mengurangi perhatian MK dalam proses pengujian undang-undang. Barangkali kita bisa berdebat soal produktivitas, tetapi yang paling terasa saat ini banyak putusan pengujian undang-undang hadir dengan argumentasi terbatas.

Meminjam pendapat Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM, banyak putusan pengujian undang-undang mengindikasikan kemalasan berpikir hakim konstitusi. Pandangan seperti itu tak sepenuhnya keliru karena bagi mereka yang intens mendalami putusan MK, sejak penyelesaian sengketa pilkada masuk ke MK, sejumlah putusan MK terasa kering dan miskin argumentasi. Sebelumnya, bagi kalangan perguruan tinggi, membaca putusan MK seperti membaca disertasi atau karya akademik yang berasal dari sebuah proses perenungan dan perdebatan tingkat tinggi.

Sejumlah pihak khawatir, apabila gejala seperti ini tak diatasi, putusan MK akan mudah terjebak pada logika legalistik. Apabila itu terjadi, putusan MK akan kehilangan wibawa.

Langkah pertama untuk mencegah keraguan publik terhadap MK adalah membuat desain yang bisa memperkuat institusi hakim. Karena keterbatasan yang dimiliki seorang hakim, staf pendukung sebagai bagian dari upaya memperkuat institusi hakim menjadi semacam keniscayaan. Saya membayangkan: anak-anak muda brilian dengan tingkat pendidikan yang memadai akan direkrut guna memperkuat institusi hakim.

Keberadaan mereka lebih pada penyediaan asupan substantif guna memperkuat dan memperkaya bangunan argumentasi hukum seorang hakim dalam memutus perkara. Apabila langkah itu dilakukan, kekhawatiran munculnya putusan hakim yang miskin argumentasi bisa segera diatasi. Hakim harus mampu menahan diri untuk tidak terlibat dalam perdebatan di publik.

Richard Davis dalam Electing Justice: Fixing the Supreme Court Nomination Process mengatakan menjaga mulut merupakan tahap awal memulai kemuliaan seorang hakim. Ketika Presiden AS Woodrow Wilson mengangkat Louis Brandeis sebagai hakim agung (1916), Brandeis menyampaikan kata-kata yang melegenda di kalangan hakim, ”I have not said anything and will not.” Sikap itu terasa penting karena produk hakim adalah putusan. Bahkan, dengan diam, sosok seorang hakim akan semakin misterius.

Saya percaya, jika langkah perbaikan tersebut dilakukan, apalagi ditambah dengan upaya lain, kita tak perlu khawatir dengan MK. Selamat ulang tahun, MK!

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang

source:http://cetak.kompas.com/read/2011/08/13/02434624/sewindu.mahkamah.konstitusi