Saldi Isra

Sebagai partai politik pemenang Pemilihan Umum 2009, hampir dapat dipastikan bahwa tiga bulan terakhir menjadi salah satu periode sulit bagi Partai Demokrat.

Jika mau menggunakan logika lembaga survei, sejak terkuaknya skandal suap di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, popularitas partai ini bergerak pasti menuju titik terendah. Bahkan, suasana semakin tidak memihak Partai Demokrat (PD) ketika sosok Nazaruddin melantunkan ”kicauan” nun jauh di sana.

Di tengah penurunan popularitas tersebut, PD akan menyelenggarakan sebuah agenda besar: rapat koordinasi nasional (rakornas). Tidak hanya sekadar melakukan konsolidasi, peserta rakornas juga dituntut mengambil langkah besar (extraordinary) guna menyelamatkan ”kapal” PD dari nasib tragis. Tanpa langkah itu, sangat mungkin partai ini tenggelam di tengah hantaman gelombang kekuasaan.

 

Dua batu uji

Selama tiga kali pelaksanaan pemilu reformasi, Pemilu 2009 memberikan hasil sempurna bagi partai politik yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Selain berjaya dalam pemilu anggota legislatif, PD juga memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden. Karena keberhasilan ganda itu, kinerja PD juga dilihat dari kontribusinya di DPR dan penyelenggaraan roda pemerintahan di bawah komando Yudhoyono.

Untuk batu uji pertama, dalam batas-batas tertentu, kinerja PD dapat dilacak dari raihan DPR periode 2009-2014 selama hampir dua tahun terakhir. Meski tidak begitu tepat meletakkan beban kesalahan seutuhnya kepada PD, sebagai peraih kursi terbesar, tidak salah menjadikan kinerja DPR sebagai salah satu indikator penting untuk menilai capaian pemenang Pemilu 2009 ini. Dengan melihat kinerja DPR sejauh ini, PD gagal membuktikan diri sebagai partai politik yang hadir dengan suara mayoritas.

Dikatakan demikian, sebagai kekuatan mayoritas, seharusnya PD mampu menggerakkan DPR ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan DPR periode 2004-2009. Pergerakan itu seharusnya dapat dilihat dalam semua fungsi konstitusional yang dimiliki DPR. Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, misalnya, secara kuantitatif hasil kerja legislasi jauh di bawah target. Dalam kuantitas yang terbatas itu, kualitasnya pun acap kali dipersoalkan.

Capaian demikian dapat pula dilacak dalam fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Dalam penggunaan fungsi pengawasan pada skandal Bank Century, misalnya, secara terang benderang terlihat bagaimana kader PD menggunakan jubah legislatif demi membenarkan semua kebijakan pemerintah dalam bailout Bank Century. Bahkan, ketika opsi C menjadi hasil akhir DPR lewat mekanisme voting, kader PD di DPR tetap bergerak ke pendulum yang berbeda.

Tidak hanya pada skandal Bank Century, yang lebih menggelikan, banyak peristiwa menunjukkan mayoritas kader PD di DPR tampil sebagai juru bicara pemerintah (baca: presiden).

Tidak jauh berbeda dengan di ranah legislatif, kinerja di sisi pemerintahan juga berada di titik mengkhawatirkan. Sebagai batu uji kedua, pengakuan Yudhoyono bahwa lebih dari 50 persen instruksi Presiden tidak dilaksanakan para pembantunya. Ini menjadi bukti paling telanjang kegagalan PD di pemerintahan. Bagi banyak pihak, pernyataan tersebut meneguhkan dugaan yang berkembang selama ini bahwa Presiden Yudhoyono mengalami krisis kewibawaan dalam memimpin dan menggerakkan pemerintahan.

Dalam kaitan dengan hal itu, boleh jadi, pilihan ”operasi caesar” dengan membentuk sejumlah satuan tugas guna menanggulangi kejadian-kejadian tertentu membuktikan krisis tersebut. Dengan pengakuan tersebut, Presiden secara terbuka mengumumkan kepada masyarakat bahwa ia kehilangan wibawa di depan para pembantunya. Pengakuan itu tidak mungkin lagi meraih simpati masyarakat dan yang terjadi justru bisa sebaliknya: Presiden ibarat ”mencabik baju di dada”. Lebih dari itu, Presiden seperti tidak mau bertanggung jawab atas kinerja pemerintahan dengan cara melempar kesalahan kepada para pembantunya.

Langkah besar

Lalu, langkah extraordinary apakah yang seharusnya dilakukan rakornas yang akan dilaksanakan pada 23-24 Juli ini? Semua catatan mengkhawatirkan itu masih mungkin dikembalikan ke arah yang lebih positif. Caranya, PD harus mampu memanfaatkan agenda rakornas untuk melakukan lompatan besar. Karena itu, jangan pernah menjadikan rakornas sebagai perhelatan untuk sekadar meresmikan pemecatan Nazaruddin. Bahkan, bisa jadi cibiran masyarakat akan semakin keras jika rakornas berubah menjadi forum penggalangan solidaritas untuk memosisikan Nazaruddin sebagai musuh bersama PD.

Dalam situasi seperti sekarang, posisi Nazaruddin jelas menjadi buah simalakama bagi PD. Karena itu, pemecatan Nazaruddin dapat saja dipahami sebagai jalan pintas untuk segera keluar dari beban tanggung jawab yang dipikul PD. Salah satu tanggung jawab tersebut adalah tindak lanjut instruksi Ketua Dewan Pembina PD untuk memulangkan Nazaruddin ke Indonesia demi kepentingan proses hukum. Seharusnya, secara bulat, pengurus daerah PD menagih tanggung jawab bagi mereka yang diberi amanat untuk memulangkan Nazaruddin.

Bagi banyak kalangan, masalah Nazaruddin hanyalah isu kecil yang harus dituntaskan dalam rakornas. Yang jauh lebih penting, meminta penjelasan secara terbuka kepada mereka yang disebut dalam ”nyanyian” Nazaruddin ikut menerima atau menikmati segala macam aliran dana yang bersumber dari APBN yang diraih dengan cara korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sekiranya menganggap masalah ini hanya sebagai angin lalu, PD harus bersiap menerima julukan sebagai bungker koruptor. Untuk itu, jika ada bukti yang menunjukkan kader PD terindikasi kuat menjadi bagian dari jejaring penikmat uang haram yang berasal dari APBN, mereka harus diberhentikan.

Selain itu, Presiden Yudhoyono juga harus menjadikan rakornas kali ini sebagai kesempatan emas untuk menanggalkan posisi sebagai Ketua Dewan Pembina PD. Jika hendak disebut negarawan, jangan habiskan energi untuk mengelola kapal oleng PD. Karena itu, sekarang adalah saat yang tepat menjadi Presiden Republik Indonesia, bukan Presiden PD.

Semua langkah besar itu hanya mungkin terjadi sekiranya rakornas dimaknai dengan ”cita-rasa” kongres. Tuan-tuan, Anda berani?

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

source:http://cetak.kompas.com/read/2011/07/22/02104376/rakornas.rasa.kongres