Kompas 31 Juli 2003
Ihwal Laporan Tahunan Presiden Oleh Saldi Isra (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
Masih adakah agenda Sidang Tahunan (ST) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2003 yang menarik untuk disimak dan ditunggu? Pertanyaan itu sangat pantas untuk dikemukakan menyambut pelaksanaan ST MPR 2003. Setidaknya, bagi sebagian kalangan yang intensif memperhatikan pelaksanaan beberapa kali ST sebelumnya, “kenduri” yang diselenggarakan MPR pada tahun ini hampir dapat dipastikan tidak terlalu menarik. Barangkali, jika dibandingkan dengan ST MPR sebelumnya, hilangnya daya tarik itu sangat terkait dengan urgensi agenda yang akan dibahas selama ST MPR 2003. Sulit dibantah, penyelenggaraan tiga kali ST MPR sebelumnya begitu banyak menyita perhatian publik karena agenda yang dibahas adalah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada saat itu muncul kesadaran bahwa “campur tangan” publik diperlukan dalam proses perubahan hukum dasar. Singkatnya, MPR tidak boleh dibiarkan bermain sendiri dalam proses perubahan UUD 1945. Kini, ketika reformasi konstitusi tidak diagendakan lagi, ST MPR seperti kehilangan magnetnya terhadap publik. Padahal, setidaknya, masih ada empat agenda yang akan dibicarakan dalam ST MPR 2003, yaitu (1) melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum semua Ketetapan MPR, (2) mendengar laporan lembaga-lembaga tinggi negara, (3) menyesuaikan Peraturan Tata Tertib (Tatib) MPR dengan perubahan UUD 1945, dan (4) menerima hasil kerja BP MPR tentang rencana pembentukan komisi konstitusi. Dari keempat agenda di atas, laporan pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara terutama laporan tahunan presiden masih relatif cukup menarik untuk ditunggu. Menariknya tidak terletak pada materi laporan tahunan yang akan disampaikan oleh presiden tetapi lebih kepada tindak lanjut dari laporan itu. Pertanyaannya, apakah laporan presiden masih perlu ditanggapi dan dinilai dalam ST MPR 2003? Tidak hanya itu, ada juga pemikiran di MPR untuk tetap menyelenggarakan dan meminta laporan presiden dalam ST MPR 2004. Dari aspek hukum tata negara, pertanyaan dan perkembangan pemikiran yang ada di MPR perlu ditelaah secara obyektif terutama kalau dikaitkan dengan keberadaan MPR pascaperubahan UUD 1945. Tidak kalah pentingnya adalah mengkritisi rencana meminta laporan presiden dalam ST MPR 2004. *** Mencermati perkembangan yang, ST MPR 2003 bisa berubah menjadi ajang untuk menyudutkan presiden secara politis. Ini bisa dilacak dari munculnya secara tiba-tiba usulan agar dalam ST MPR tahun ini dibentuk sebuah komisi untuk menanggapi laporan presiden atas putusan MPR. Melihat gelagat ini, Postdam Hutasoit Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja (BP) MPR, menilai fraksi-fraksi di MPR tidak konsisten untuk melaksanakan amandemen UUD 1945 (Kompas, 23/07-2003). Meskipun rekomendasi MPR bersifat internal, penilaian Postdam Hutasoit bahwa beberapa fraksi di MPR inkonsisten sulit untuk dibantah. Alasannya, berdasarkan hasil perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Apalagi, kewenangan hanya terbatas pada hal pokok saja yaitu mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Lalu dalam kapasitas apa MPR masih tetap bersikeras untuk menilai dan membuat rekomendasi terhadap laporan presiden (termasuk juga lembaga tinggi negara lainnya) dalam ST MPR 2003? Kalau ditelusuri semua aturan yang terdapat dalam UUD 1945, ST MPR hanya diamanatkan untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum semua Tap MPR. Amanat ini ditemukan dalam Pasal I Aturan Peralihan (AP) UUD 1945 yang menyatakan, MPR ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan (Tap) MPR Sementara dan Ketetapan MPR untuk diambil putusannya dalam Sidang MPR Tahun 2003. Anehnya, ketika aturan yang terdapat dalam Pasal I AP itu diterjemahkan ke dalam Tap MPR terjadi perluasan agenda secara mendasar. Perluasan ini dapat dibaca dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan ST MPR 2003. Semestinya, Tap MPR No. III/MPR/2002 hanya waktu penyelenggaraan dan agenda ST MPR 2003 sesuai dengan Pasal I AP UUD 1945. Kenyataanya, berdasarkan ketentuan Pasal 1, MPR menambah agenda lain yang tidak terkait dengan peninjauan terhadap materi dan status hukum semua Tap MPR yaitu mendengar laporan lembaga-lembaga tinggi negara atas pelaksanaan putusan Majelis. Membaca rumusan yang terdapat dalam Pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2002, masih masuk akal kalau MPR hanya sekedar mendengar laporan yang diberikan oleh lembaga-lembaga tinggi negara. Tetapi ketika terbersit keinginan untuk menilai laporan yang disampaikan oleh lembaga tinggi negara, patut diduga bahwa beberapa fraksi mempunyai target politik tertentu. Besar kemungkinan, target politik itu akan mengarah kepada presiden. Melihat agenda politik ke depan, kecurigaan ini sangat beralasan terutama dalam menghadapi pemilihan presiden langsung pada tahun 2004. Apalagi, wacana menilai laporan tahunan presiden berasal dari pertanyaan Ginandjar Kartasasmita Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Golkar (Kompas, 23/07-2003). Sebagai kekuatan politik pesaing pemerintah yang sedang berkuasa, manuver politik yang dilakukan oleh Partai Golkar dapat dipastikan terkait dengan kalkulasi politik menghadapi pemilihan umum mendatang. Bisa jadi, untuk membenarkan keinginan menilai laporan yang disampaikan presiden, Fraksi Golkar dan beberapa farksi yang sepaham akan berpegang kepada ketentuan yang terdapat dalam Tap MPR Nomor II/MPR/2000 tentang Tatib MPR. Pasal 50 ayat (2) huruf b menyatakan, ST MPR adalah sidang yang diselenggarakan untuk mendengarkan dan membahas laporan presiden dan lembaga tinggi negara lainnya atas pelaksanaan putusan MPR. Padahal, dilihat dari substansi, Pasal 50 ayat (2) huruf harus segera disesuaikan dengan posisi MPR pascaperubahan UUD 1945. Sementara itu, terkait dengan keinginan meminta laporan presiden dalam ST MPR 2004, rencana ini tidak masuk akal dan tidak punya pijakan hukum sama sekali. Logikanya, jangankan untuk meminta laporan presiden, memaksakan penyelenggaraan ST saja pada tahun 2004 dapat dikatakan kebablasan. Dinilai kebablasan, karena ST MPR hanya mungkin dilaksanakan pada tahun-tahun di antara dua masa Sidang Umum (SU) MPR. Memang ada argumentasi, presiden periode 1999-2004 mendapat mandat dari MPR dalam bentuk garis-garis besar haluan negara (GBHN) sehingga pada akhir masa jabatannya perlu dilaporkan kepada MPR. Tetapi argumentasi itu bisa dipatahkan dengan tidak adanya penolakan MPR terhadap laporan yang disampaikan oleh presiden dalam tiga kali sebelumnya. Artinya, dalam tiga-empat tahun pelaksanaan tugasnya, tidak pernah laporan presiden ditolak MPR. Hal lain yang harus diperhatikan, berdasarkan rumusan Rancangan Tap MPR tentang Perubahan Kelima Tatib MPR yang dikerjakan oleh PAH II, di dalam Aturan Tambahan direncanakan bahwa ST MPR 2004 akan diselenggarakan pada akhir September (Koran tempo, 29/07-2003). Kalau memang disepakati, maka dalam semester kedua tahun 2004 akan terjadi beberapa kali masa sidang MPR. Padahal, pada bulan September 2004 anggota MPR --yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-- hasil pemilihan umum sudah terbentuk. Tidak hanya itu, meminta laporan presiden pun menjadi sangat tidak masuk akal. Bisa jadi, pada akhir bulan Septembar itu presiden (dan wakil presiden) sudah terpilih. Meskipun belum dilantik, laporan tahunan presiden menjadi sangat tidak urgen lagi. Apalagi, kalau Megawati terpilih kembali menjadi presiden dalam pemilihan langsung tahun 2004. Bisa jadi, laporan tahunan itu akan menjadi “cerita komedi” paling lucu dalam perjalanan sejarah ketetanegaraan Indonesia. Begitu lucunya, Jaya Suprana pun tidak punya pilihan untuk tidak memasukkannya ke dalam Musium Rekor Indonesia (MURI) *** Sebenarnya, dalam ST sekarang, semua anggota MPR harus mengedepankan akal sehat. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk berfikir jernih tetang posisi MPR setalah perubahan UUD 1945. Akal sehat itu harus ditempatkan sesuai dengan posisi baru dalam sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, kembalilah ke jalur yang konstitusional. Hentikanlah segala macam niat untuk melakukan pembunuhan karakter melalui parlemen. Saya kira publik akan memberikan catatan tersendiri kalau semua anggota mau berketetapan untuk menjadikan ST MPR 2003 sebagai ST terakhir bagi MPR periode tahun 1999-2004. Tidak perlu berfikir lagi untuk menyelengggarakan ST MPR 2004. Di samping tidak bermanfaat, rakyat sudah memberikan legitimasi baru kepada anggota DPR dan DPD hasil pemilihan umum tahun 2004. Sekiranya ada agenda yang tidak terselesaikan dalam ST 2003, tinggal menjadi pekerjaan rumah MPR periode tahun 2004-2009. Berfikirlan dengan jernih, dengan mata hati. Selamat bersidang!