Kompas 17 Juli 2003
Potret Fungsi Legislasi DPR Oleh Saldi Isra (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fak. Hukum Univ. Andalas, Padang) Dalam beberapa waktu terakhir, fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Sorotan ini muncul karena ketidakmampuan mayoritas anggota dan kekuatan politik yang ada di DPR menangkap apirasi yang berkembang di tingkat publik. Semestinya, sebagai lembaga perwakilan rakyat, suara-suara yang berkembang di tingkat publik menjadi pertimbangan utama bagi DPR dalam merumuskan substansi undang-undang. Melihat perkembangan selama proses pembahasan undang-undang bidang politik --Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif, Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif-- sulit menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan secara utuh potret fungsi legislasi DPR. Yang pasti, DPR gagal mengapresiasi dan menangkap aspirasi publik untuk dituangkan dalam undang-undang. Tidak hanya itu, kegagalan penggunaan fungsi legilasi juga dapat dilihat dari rendahnya komitmen individu sebagian anggota DPR untuk terlibat dalam setiap tingkat pembahasan. Misalnya, rapat paripurna (07/07-2003) untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) menjadi undang-undang hanya dihadiri 255 dari total 497 orang anggota DPR. Sulit dimengerti, tahap keputusan akhir sebuah produk hukum sepenting Undang-Undang Pilpres hanya dihadiri oleh sekitar 52 persen anggota DPR. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika publik merasa tidak puas dengan performance anggota DPR. Munculnya ketidakpuasan itu bukan saja didasarkan pada kemalasan tetapi juga pada disorientasi anggota DPR dalam menatap kebutuhan-kebutuhan obyektif negeri ini dalam masa transisi. Paling tidak, semua undang-undang bidang politik yang telah disetujui, terjebak dalam kalkulasi politik jangka pendek. Padahal, penataan sistem ketatanegaraan ke arah yang lebih baik sangat diperlukan untuk mempercepat Indonesia keluar dari era transisi. Ketidakpuasan publik terhadap fungsi legislasi DPR dapat dibaca dari beberapa “uji publik” yang dilakukan media cetak dan elektronik ibu kota. Misalnya hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada tanggal 02-02 Juli 2003 terlihat bahwa 76 persen dari 933 responden merasa tidak puas dan apatis terhadap anggota DPR dalam menjalankaan fungsi legislasi. Responden menilai, undang-undang yang dihasilkan oleh DPR kurang memperhatikan tuntutan masyarakat (Kompas, 07/07-2003). *** Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menempatkan fungsi legislasi DPR pada posisi yang berseberangan. Sebelumnya, Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Ketentuan ini dikuatkan dengan bunyi Pasal 20 ayat (1) bahwa tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Kedua aturan itu menempatkan presiden sebagai pemegang kekuasaan legislasi. Ini berarti sebelum amandemen DPR hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses lahirnya undang-undang. Setelah Amandemen Pertama, terjadi perubahan eksterm terhadap fungsi legislasi DPR. Pasal 5 ayat (1) diamandemen menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Amandemen itu diikuti dengan perubahan terhadap rumusan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) menjadi DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pergeseran pendulum itu menempatkan DPR menjadi lembaga paling dominan dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini diakui oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakat (MPR) Amien Rais bahwa perubahan eksterm yang terjadi selama era reformasi menjadikan DPR sebagai superbody (Kompas, 11/07-2003). Dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) bahwa dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak disetujui, rancangan itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (5) secara implisit memaksa presiden untuk mengundangkan setiap rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR meskipun ada materi tertentu yang tidak diterima pemerintah selama proses pembahasan. Sadar akan keberpihakan UUD 1945, sebagian besar kekuatan politik di DPR menjadikan fungsi legislasi sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan politik. Kecenderungan ini dapat diamati dalam proses lahirnya empat undang-undang bidang politik. Yang dilakukan tidak hanya menafikan suara-suara yang berkembang di tingkat publik tetapi juga mengingkari ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Bahkah untuk hal-hal tertentu, tanpa merasa bersalah, DPR sengaja memasuki ranah kekuasaan lain demi meneguhkan hegemoninya sebagai superbody. Upaya melanggengkan kepentingan ini sangat menonjol dalam Undang-Undang Pilpres dan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif (Susduk). Pertama, keberanian DPR mengingkari aturan yang terdapat dalam UUD 1945. Pengingkaran ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Pilpres yaitu dengan mempersempit ruang bagi semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, asas hukum lex specialist derogat lex generalis harus dijadikan rambu-rambu dalam menerjemahkan hukum dasar (basics law) ke dalam undang-undang. Penghormatan terhadap asas hukum itu amat penting untuk menghindari kemungkinan gugatan judicial review di kemudian hari. Dalam konteks substansi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, penetapan threshold 3 persen, bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum 2004, adalah bertentangan dengan UUD 1945. Alasannya sederhana, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menentukan kaedah yang amat tegas bahwa semua partai politik atau gabungan partai politik yang sudah memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di luar masalah substansi, dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR gagal memberi terjemahan terhadap ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon presiden dan wakil presiden yang terdapat dalam UUD 1945. Setidaknya, dari empat persyaratan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1), ada dua syarat yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam undang-undang yaitu tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Penjelasan diperlukan untuk menentukan standar seseorang dikatakan mengkhianati negara. Apakah mengkhianati negara hanya dipandang dalam arti sempit saja, seperti melakukan separatisme. Atau, mengkhianati negara dalam pengertian yang lebih luas, misalnya melakukan korupsi. Begitu juga halnya dengan persyaratan mampu secara jasmani dan rohani untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Setidaknya, kalau melihat keinginan dan peluang Abdurrahman Wahid, persyaratan ini potensial menimbulkan perdebatan serius beberapa waktu mendatang. Kedua, menafikan keinginan sebagian besar publik untuk mendorong munculnya calon presiden dan wakil presiden yang kredibel. Misalnya, selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilpres berkembang keinginan agar calon (1) tidak dalam status terdakwa dan/atau terpidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, (2) tidak terlibat dalam parktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (3) berpendidikan minimal sarjana (S1), dan memungkinkan untuk diketahui secara transparan segala sesuatu yang berhubungan dengan dana kampanye. Selama pembahasan di tingkat panitia khusus (pansus), perdebatan terkonsentrasi pada dua isu pokok yaitu calon presiden dan wakil presiden tidak dalam status terdakwa dan berpendidikan minimal sarjana (S1). Sementara dua isu lainnya tidak pernah dibahas secara serius. Padahal, isu bebas KKN dan dana kampanye merupakan persoalan yang amat mendasar dalam pemilihan langsung. Celakanya, di ujung proses pembahasan, isu terdakwa dan pendidikan yang telah menyita sebagian besar waktu pansus hanya dijadikan sebagai politik imbal-beli (barter) untuk meloloskan keinginan masing-masing kekuatan politik di DPR. Ketiga, membuat pasal aneh untuk memperkuat supremasi DPR tanpa mengindahkan batas-batas kewenangan yang wajar. Misalnya, dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Susduk muncul ketentuan bahwa DPR dapat menyandera pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang tidak memenuhi panggilan paksa. Peluang DPR untuk melakukan penyenderaan tidak saja overacting, tetapi sengaja memasuki ranah kekuasaan yudikatif. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 30 ayat (4) itu mengingatkan banyak kalangan kepada rumusan reaktif yang terdapat dalam Pasal 7C UUD 1945 bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Pasal ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya membubarkan DPR. Berkaca pada pengalaman kehadiran Pasal 7C, cukup alasan untuk mengatakan bahwa munculnya Pasal 30 ayat (4) didorong oleh pengalaman panitia kerja (panja) Sukhoi yang dibentuk oleh Komisi I DPR. Berkaca pada supremasi DPR dalam mekanisme ketatanegaraan, tidak perlu ada aturan eksplisit untuk melakukan penyanderaan. Apalagi, Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Susduk sudah memberi peluang untuk melakukan pemanggilan paksa kepada pihak-piah datang ketika DPR mempergunakan hak angket. Tetapi karena tidak mampu menggunakan fungsi legislasi secara benar dan tanpa logika yang dapat dipertanggungjawabkan, DPR seenaknya saja memasuki ranah kekuasaan lain. *** Dalam ST 2002, MPR menilai bahwa pelaksanaan fungsi pembuatan undang-undang (legislasi) baik secara kuantitas maupun kualitas relatif masih kurang. Karena penilaian demikian, MPR merekomendasikan agar DPR meningkatkan produktivitas dalam pembuatan undang-undang yang lebih berkualitas. Sekiranya rekomendasi MPR itu dilihat berdasarkan paket undang-undang bidang politik yang telah diselesaikan, DPR dapat dinilai gagal melahirkan undang-undang yang berkualitas. Kegagalan ini berawal dari ketidakmampuan DPR mempergunakan fungsi legislasi secara benar. Ini diperparah dengan tumpulnya perspektif mayoritas anggota DPR untuk membangun sistem ketatanegaraan yang lebih baik. Ironinya, dengan produk undang-undang yang tidak berkualitas itulah negeri ini menyongsong pemilihan umum 2004. Dengan demikian, bukankah perubahan ke arah yang lebih baik menjadi sesuatu yang utopis?