Kompas 23 Juni 2003

Membangun Mahkamah Konstitusi

Oleh Saldi Isra

(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat

dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang)


 

Keterlambatan Presiden menunjuk wakil pemerintah untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) (Media Indonesia, 14/06-2003) menjadi berita buruk dalam upaya melahirkan MK. Kejadian ini memberi sinyal kepada semua pihak bahwa tidak mudah merealisasikan pembentukan MK. Padahal, dukungan dari semua kalangan terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akan menjadi titik penting dalam upaya penyelesaian UU MK. Apalagi, penerjemahan secara benar dan tepat sosok MK dalam UU MK akan menjadi langkah awal membangun fungsi check and balance di dalam sistem dan struktur kekuasaan di Indonesia.

Melihat perkembangan DPR dan pemerintah dalam merespon amanat konstitusi, kekuatiran untuk dapat terbentuknya MK menjadi sangat masuk akal. Padahal, Pasal III Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa MK dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003. Amanat itu hanya mungkin dilaksanakan jika (1) DPR dan pemerintah mampu menyelesaikan UU MK dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, dan (2) segera setelah pengesahan dilakukan pengisian Hakim Konstitusi. Dengan demikian, penyelesaian RUU MK akan menjadi titik penting dalam mewujudkan amanat UUD 1945.

Sekiranya DPR mampu menyelesaikannya dalam waktu yang amat terbatas, ada harapan MK akan terbentuk menjelang tanggal 17 Agustus 2003. Itu pun baru sekedar harapan karena penyelesaian UU MK masih merupakan langkah awal pembentukan MK. Langkah lain yang tidak kalah rumitnya segera menyusul setelah UU MK disahkan yaitu pengisian Hakim Konstitusi (HK). Berkaca pada pengalaman proses legislasi di DPR terutama pembahasan RUU yang berimplikasi politik luas, kecil harapan bahwa RUU MK dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang amat terbatas. Kalaupun bisa diselesaikan dalam tempo singkat, besar kemungkinan yang akan ada hanya UU MK yang compang-camping.

***

Terkait dengan persoalan penyelesaian UU MK, meskipun sebagian besar anggota Panitia Khusus RUU MK optimis mampu menyelesaikannya sampai akhir bulan Juni, dapat dipastikan pembahasan RUU MK akan berlangsung alot. Kesulitan ini dapat terjadi karena dua persoalan mendasar.

Pertama, kewenangan MK terkait langsung dengan kepentingan partai politik. Hal ini akan mendorong beberapa fraksi untuk melakukan “perhitungan” secara cermat untuk setiap materi yang terdapat dalam UU MK. Paling tidak, tiga dari lima kewenangan MK terkait langsung dengan kepentingan partai politik, yaitu (1), memutus pembubaran partai politik (2) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan (3), memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Kedua, munculnya kesulitan substantif dalam menerjemahkan kewenangan MK sebagai insitusi yang amat vital dalam membangun keseimbangan horizontal di antara lembaga-lembaga negara. Misalnya, di luar kewenangan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan partai politik di atas masih ada kewenangan lain yang terkait dengan lembaga negara di luar MK, yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.

Selain itu, kesulitan penyelesaian substansi UU MK tidak hanya timbul karena kewenangan MK yang amat sentral tetapi juga karena ada problem perumusan hukum acara. Kerumitan ini muncul karena dari semua kewenangan MK tidak mungkin dilaksanakan dengan hukum acara yang sama. Kelima kewenangan MK mempunyai karakter tersendiri yang mengharuskan penyusun UU MK merumuskan hukum acara sesuai dengan karakteristik kewenangan itu. Akan menjadi kekeliruan besar, karena keterbatasan waktu, untuk mempercepat penyelesaian UU MK semua kewenangan MK di-setting dengan hukum acara yang seragam.

Keyakinan di tingkat publik, kompleksitas yang muncul dalam penyelesaian UU MK hanya mungkin diatasi dengan ketersedian waktu yang cukup. Kerumitan ini sudah diantisipasi oleh UUD 1945 yaitu dengan memberikan waktu satu tahun untuk mempersiapkan pembentukan MK. Sayang, waktu satu tahun itu tidak dimanfaatkan secara benar dalam menyelesaian UU MK. Buktinya, Panitia Khusus RUU MK baru dibentuk ketika waktu yang tersisa hanya sekitar dua bulan. Semestinya, segera setelah Amandemen Keempat selesai pada bulan Agustus 2002, DPR dan pemerintah sudah mulai melakukan persiapan pembentukan MK.

Semula banyak yang percaya, setelah UUD 1945 mengakomodasi kehadiran MK, perumusan UU MK akan menjadi langkah awal dalam membangun MK yang mempunyai citra dan kewibawaan untuk melaksanakan fungsi keseimbangan horizontal di antara lembaga-lembaga negara. Itu semua hanya mungkin timbul kalau ada upaya untuk membuka ruang partisipasi publik dalam membahas RUU MK. Partisipasi publik yang sangat luas menjadi sebuah keniscayaan terutama dalam membangun dan merumuskan sosok MK.

Ketika pembentukan MK tak kunjung dimulai, muncul beberapa pertanyaan mendasar di tingkat publik. Apakah keterlambatan ini terjadi karena menumpuknya agenda legislasi di DPR? Atau, ini semua terjadi karena kelalaian dalam menentukan skala prioritas? Kecurigaan publik, keterlambatan ini terjadi bukan karena faktor kelalaian (by accident) melainkan ada faktor kesengajaan (by design). Barangkali, kecurigaan publik ini hanya mungkin dimentahkan kalau dalam waktu yang tersisa DPR dan pemerintah mampu melahirkan UU MK yang ideal sesuai dengan semangat penataan kelembagaan negara secara benar.

Di luar masalah substansi UU, persoalan lain yang amat menentukan langkah awal membangun MK adalah proses pengisian HK. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 MK mempunyai sembilan orang anggota HK yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung (MA), tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Pengajuan HK dari tiga lembaga yang berbeda ini dimaksudkan agar MK menjadi lebih fair dan tidak dihegemoni oleh kepentingan satu lembaga.

Meskipun berasal dari tiga lembaga negara yang berbeda, tidak ada jaminan bahwa proses pengisian HK akan berlangsung terbuka dan partisipatif. Padahal, proses terbuka dan partisipatif sangat diperlukan untuk memenuhi amanat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 bahwa HK harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Oleh karena itu, untuk memenuhi amanat Pasal 24C ayat (5), UU MK harus mampu meletakkan dasar yang kokoh dalam proses rekrutmen HK.

Pertama, UU MK harus mampu menciptakan kriteria dan standar yang sama untuk ketiga institusi yang menjadi sumber rekrutmen HK. Ini sangat penting dan mendasar karena UUD 1945 tidak menentukan secara eksplisit bagaimana penyaringan, seleksi maupun pemilihan HK oleh ketiga lembaga dimaksud. Berbeda halnya dengan MK, dalam pengisian Hakim Agung (HA) di MA, UUD 1945 memberikan aturan yang lebih jelas bahwa calon HA diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan oleh Presiden sebagai HA.

Kedua, UU MK harus mampu membuka ruang adanya partisipasi publik selama proses rekrutmen HK. Keterlibatan publik diperlukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya persekongkolan antara ketiga lembaga di atas dalam menentukan HK. Persekongkolan itu sangat mungkin terjadi antara DPR dengan Presiden untuk kepentingan politik jangka pendek. Kalau itu terjadi, enam dari sembilan orang HK akan bersekutu untuk memelihara kepentingan politik DPR dan Presiden. Jika perlu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya persekongkolan, UU MK mewajibkan pembentukan “panitia bersama” seleksi HK yang anggotanya berasal dari tokoh-tokoh nasional yang independen dan non-partisan.

Ketiga, UU MK harus mampu mengelaborasi Pasal 24C ayat (5) terutama untuk mendapatkan HK yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dalam situasi seperti sekarang ini, tidak mudah mendapatkan sembilan orang HK yang dapat memenuhi persyaratan Pasal 24C ayat (5) karena kesemua syarat itu harus dipenuhi oleh seorang calon HK secara kumulatif. Kesulitan ini akan semakin bertambah karena RUU MK yang sedang dibahas di DPR secara limitatif membatasi bahwa calon HK tidak berumur lebih dari 65 tahun.

***

Sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman, dalam membangun MK, sejak dini independensi lembaga ini sudah harus dijaga. Independensi ini hanya mungkin terjadi kalau secara institusi ada upaya menghindarkan MK dari intervensi dan keserakahan politik lembaga-lembaga lain. Di samping itu, HK juga harus mampu menjadi individu yang terbebas dari konsensi-konsensi politik lembaga di luar MK. Kalau itu semua tidak dapat dilakukan, kehadiran MK hanya akan memperkeruh mekanisme ketatanegaraan yang ada.