Kompas 29 April 2003

Kampanye dengan Uang Haram (2)

Oleh Saldi Isra

(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat

dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Selama dilakukan pembahasan, Panitia Khusus (pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih terfokus kepada dua isu sentral. Pertama, rencana penambahan kuota 20% bagi partai politik (parpol) atau gabungan papol untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden (capres) dan Wakil Presiden (cawapres). Kedua, penambahan syarat bahwa capres dan cawapres (1) tidak dalam status terdakwa dan/atau terpidana dalam perkara tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih, dan (2) berpendidikan minimal Sarjana Strata 1 (S1).

Dari kedua isu sentral itu, kalau semua anggota pansus mengerti dengan posisi konstitusi dalam penyelenggaraan negara, isu pertama tidak perlu muncul karena Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah eksplisit menentukan bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan umum. Sementara isu kedua dapat diselesaikan sementara dengan menawarkan beberapa alternatif untuk dibawa ke Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemikiran cerdas dan jernih amat diperlukan untuk segera keluar kedua isu di atas. Kalau tidak, pansus tidak akan mampu menyentuh beberapa isu krusial lainnya yang terdapat dalam RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Misalnya, pansus masih amat terbatas menyentuh persyaratan bebas kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) bagi capres dan cawapres. Atau, belum adanya pembicaraan tentang pasal-pasal yang terkait dengan dana kampanye yang akan digunakan oleh pasangan capres dan cawapres.

Terkait dengan bebas KKN, dalam tulisan Pertarungan Para Koruptor? (Kompas, 01/04-2003), saya menyatakan bahwa penambahan persyaratan ini diperlukan untuk mendukung gerakan pemberantasan KKN. Untuk mencegah agar negeri ini tidak ambruk oleh praktik KKN, Presiden dan Wapres harus mampu menjadi ujung tombak pemberantasan KKN. Untuk itu, diperlukan persyaratan objektif lain, yaitu (1) capres dan cawapres tidak pernah terlibat KKN, (2) melaporkan kekayaan pribadi dan keluarga terdekat (seperti anak, saudara), dan (3) melakukan klarifikasi dan pembuktian terbalik secara terbuka kalau ada indikasi bahwa harta capres/cawapres dan keluarga terdekatnya diperoleh dengan cara KKN.

***

Sama halnya dengan pembahasan dana kampanye dalam RUU Pemilihan Umum, dana kampanye pemilihan Presiden dan Wapres juga hampir tidak disentuh dalam pembahasan ditingkat pansus. Padahal, sumber dan penggunaan dana kampanye sangat rentan untuk terjadinya penyelewengan. Alasannya sangat sederhana, dana kampanye untuk pemilihan Presiden dan Wapres akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan total dana kampanye untuk pemilihan anggota legislatif.

Misalnya, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Siti Adi Trigandari dan ekonom senior Sri Edi Swasono memperkirakan bahwa seorang capres membutuhkan dana sekitar Rp. 20 triliyun sebagai biaya kampanye sejak awal pemilihan hingga terpilih menjadi presiden pada pemilihan umum 2004 (Media Indonesia, 11/04-2003). Barangkali, angka yang dikemukakan oleh kedua ekonom itu sangat debatable karena belum adanya penelitian yang dapat dijadikan dasar penghitungan secara akurat. Dari kaca mata hukum, masalah mendasarnya tidak terletak pada besarnya dana kampanye namun lebih kepada bagaimana dan dari mana dana kampanye itu diperoleh.

Berkenaan dengan dana kampanye, dalam Pasal 23 ayat (1) RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan bahwa dana kampanye dapat diperoleh dari (a) pasangan capres dan calon presiden dan wapres, (b) parpol yang mencalonkan, dan (c) sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta. Selanjutnya, dalam ayat (4) ditegaskan bahwa sumbangan dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp. 50 juta dan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp. 500 juta.

Ada dua kritik mendasar yang patut dikemukakan terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 RUU terutama ayat (1) dan ayat (4).

Pertama, tidak ada ketentuan batas maksimal dana kampanye yang diperbolehkan untuk digunakan oleh pasangan calon Presiden dan Wapres. Padahal, batas maksimal sangat diperlukan untuk mencegah pengumpulan dana di luar batas kewajaran. Dengan tidak adanya batasan maksimal itu, pasangan calon Presiden dan Wapres yang berasal dari parpol besar atau yang berasal dari parpol yang sedang berkuasa mempunyai ruang mempergunakan posisi itu untuk mendapatkan dana kampanye dalam jumlah yang tidak terbatas.

Kedua, ancaman pidana bagi yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (4) RUU Pemilihan Presiden dan Wapres hanya dapat dijatuhkan kepada orang yang memberikan sumbangan. Sementara pasangan yang menerima tidak diberikan ancaman, baik ancaman administrasi berupa pembatalan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun ancaman pidana. Semestinya, ancaman harus diprioritaskan kepada pasangan calon yang melanggar batas maksimal sumbangan dana kampanye baik yang berasal dari perorangan maupun dari swasta.

Dalam hal larangan, Pasal 25 ayat (1) RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menentukan bahwa pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari (a) negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, dan warga negara asing, dan (b) penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Selanjutnya, dalam ayat (2) dinyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wapres dilarang menerima dan/atau menyetujui pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan kampanye pemilihan.

Meskipun pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) diancam yaitu berupa sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU, ketentuan ini tetap menyisakan pertanyaan, mengapa tidak dimuat larangan mempergunakan fasilitas publik. Bukankah penggunaan fasilitas publik sangat potensial dimanfaatkan oleh calon Presiden dan Wapres yang sedang memegang jabatan publik?

***

Salah satu asas pemilihan umum yang terdapat dalam Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum dilaksanakan secara jujur. Asas jujur itu diterjemahkan oleh Penjelasan RUU Pemilihan Presiden dan Wapres sebagai tindakan pelaksanaan pemilihan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, etika dan moralitas masyarakat, bebas dari praktik intimidasi, paksaan, manipulasi, penipuan, pembelian suara dan korupsi.

Khusus untuk dana kampanye, asas jujur hanya mungkin dilaksanakan jika (1) aturan dana kampanye memuat norma yang jelas dan tegas, (2) ketentuan yang ada mampu menutup segala peluang yang memungkinkan terjadinya manipulasi sumber dana kampanye, dan (3) tersedianya ancaman yang tegas bagi pelanggar ketentuan dana kampanye baik yang memberi maupun yang menerima.

Kesemua itu penting artinya bagi Indonesia karena di negara yang sudah mapan saja pernah juga terjadi pengumpulan dana kampanye di luar batas kewajaran. Misalnya, kasus sumbangan pengusaha Indonesia James Riady bagi dana kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton pernah dipermasalahkan keabsahannya oleh Partai Republik. Menurut harian The New York Times (11/10-1996) James Riady telah memainkan peranan penting dalam membiayai Partai Demokrat, menyumbang dan mencari dana yang mencapai berjuta-juta dollar (Kompas, 15-10-1996).

Jika negara seperti AS saja bisa kecolongan dalam melakukan pengawasan terhadap sumber dana kampanye, apalagi Indonesia yang terkenal sangat lemah dalam law enforcement. Mencermati aturan dana kampanye yang terdapat dalam RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sulit mengharapkan sumber dana kampaye terbebas dari kecurangan dan manipulasi. Perlu disadari, sumbangan dana kampanye dapat menjadi titik awal KKN bagi pemerintahan baru.

Yang pasti, jika tidak perubahan sikap pansus memandang aturan dana kampanye dalam sisa waktu yang ada, besar kemungkinan calon Presiden dan Wapres akan berkampanye mempergunakan uang haram.