Kompas 08 Januari 2003
Mahkamah Konstitusi Transisi
Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan
Dosen Hukum Tata Negara Fak. Hukum Universitas Andalas, Padang)
Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Konsekwensi dari ketentuan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 bahwa sebelum terbentuk fungsi dan kewenangan MK akan dilaksanakan oleh MA. Artinya, selama dalam proses persiapan –paling lama tanggal 17 Agustus 2003-- MA akan menjadi MK transisi.
Untuk melaksanakankan kewenangan MK selama masa transisi, MA telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MK oleh MA (selanjutnya ditulis Perma No. 2/2002). Dibandingkan dengan pembentukan yang sesungguhnya, pembentukan MK transisi oleh MA menjadi lebih sederhana dan tidak memerlukan waktu yang terlalu lama. Paling tidak ada dua kemudahan yang mempercepat proses pembentukan MK transisi ini.
Pertama, MA tidak perlu melakukan proses pengisian hakim MK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 bahwa MK mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Artinya, MA hanya memberikan tugas tambahan kepada beberapa orang Hakim Agung untuk menjadi Hakim Konstitusi. Meskipun cara ini dapat mengganggu kerja Hakim Agung untuk menyelesaikan perkara di tingkat kasasi.
Kedua, MA diberi ‘jalan pintas’ dalam membentuk MK transisi sehingga dapat menghindari problem politik yang mungkin muncul dalam proses pengisian Hakim Konstitusi. Berkaca pada pengalaman proses pengisian pejabat negara yang pernah ada, rasanya sulit untuk menghindari politisasi dalam proses pengisian Hakim Konstitusi terutama yang berasal dari DPR dan Presiden.
Selain itu, pengisian Hakim Konstitusi yang berasal dari MA dapat menimbulkan persoalan tersendiri karena lembaga ini tidak pernah terlibat dalam proses pengisian pejabat negara.
Ketiga, MA tidak perlu menunggu undang-undang untuk menentukan hukum acara MK karena lembaga ini dapat memakai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA yang memberikan wewenang kepada MA untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang yang ada.
Meski sudah ada aturan di tingkat konstitusi, ternyata tidak mudah untuk merumuskan MK ke dalam bentuk yang lebih operasional. Misalnya, Perma No. 2/1999 tetap tidak mampu menjawab persoalan-persoalan menggantung yang terdapat dalam UUD 1945. Bahkan, ada beberapa ketentuan Perma No. 2/2002 yang harus mendapat perhatian mendalam terutama dalam mewujudkan kehadiran MK dalam arti yang sesungguhnya.
Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai lima kewenangan, yaitu (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan (5) memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD. Implikasi dari perbedaan-perbedaan kewenangan MK ini harus terlihat dalam hukum acara.
Sayang, Perma No. 2/2002 tidak mampu memberikan perbedaan untuk setiap kewenangan MK dalam merumuskan hukum acara. Padahal, perbedaan ini diperlukan karakter khas kewenangan MK. Hal ini diperlukan jika dibandingkan dengan cara mempertahankan hukum materiil yang lain, hukum acara MK menjadi sangat rumit karena masing-masing kewenangan yang ada mempunyai karakter tersendiri.
Akibatnya, dalam merumuskan hukum acara tidak mungkin dilakukan penyeragaman. Misalnya, hukum acara untuk menguji undang-undang terhadap UUD tidak mungkin disamakan dengan hukum acara dalam memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kedua, kekeliruan dalam menentukan lembaga negara. Ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (12) Perma No. 2/2002 bahwa yang termasuk lembaga negara yang menjadi wewenang MK adalah MPR, Presiden, DPR, BPK,dan Bank Sentral. Pada salah satu sisi rumusan Pasal 1 ayat (12) ini sangat menyederhanakan luas lingkup lembaga negara. Sementara di sisi lain, rumusan itu ‘sengaja” melakukan perluasan terhadap lembaga negara.
Sekiranya MA konsisten dengan rumusan Pasal 24C ayat (1) bahwa lembaga negara yang menjadi kewenangan MK adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Artinya, semua lembaga negara yang kewenangannya terdapat dalam UUD 1945 harus menjadi obyek penyelesaian sengketa MK.
Oleh karena itu, semestinya lembaga negara yang menjadi kewenangan MK adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan Komisi Yudisial. Alasannya sangat sederhana, lembaga-lembaga itu secara eksplisit ditentukan kewenangannya dalam UUD.
Persoalan lain, adalah ‘keberanian’ MA memasukkan Bank Sentral sebagai lembaga negara. Padahal kalau dibaca secara cermat ketentuan Pasal 23D UUD 1945, negara memiliki suatu Bank Sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pasal 23D tidak mengatur sama sekali kewenangan Bank Sentral. Oleh karena itu, lembaga ini tidak dapat dijadikan salah satu objek sengketa MK.
Dengan dimasukkannya Bank Sentral ke dalam Perma No. 2/2002, banyak pendapat yang mengatakan bahwa ini adalah langkah pragmatis yang dilakukan oleh MA karena beberapa waktu sebelumnya terjadi ‘sengketa’ antara Bank Indonesia dengan DPR terutama dalam rencana pergantian beberapa orang pimpinan Bank Indonesia.
Ketiga, pembatasan waktu untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap UUD. Dalam Pasal 2 huruf a Perma No. 2/2002 ditegaskan, permohonan tentang menguji undang-undang terhadap UUD diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak undang-undang itu diundangkan.
Secara khusus, pembatasan ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24C dan secara umum tidak sejalan dengan filosofi pemberian kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Semestinya, MA tidak membatasi undang-undang yang bisa dimohonkan judicial review. Karena, sesuai dengan Perma No. 2/2002 berarti hanya undang-undang baru saja yang bisa diuji dan dikontrol publik melalui mekanisme judicial review.
Padahal, justru yang banyak menimbulkan persoalan dalam masyarakat adalah undang-undang yang dilahirkan pada masa transisi (Kompas, 03/01-2003). Kalaupun harus dibatasi, permohonan untuk melakukan judicial review masih dapat menjangkau semua undang-undang yang lahir pada masa transisi.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pelaksanaan kewenangan MK oleh MA adalah cerminan dari kondisi MK transisi dalam arti yang sesungguhnya. Barangkali, ini disebabkan oleh aturan di tingkat konstitusi tidak dibangun di atas paradigma yang jelas. Apalagi, pasal-pasal dibuat sebagai hasil kompromi politik.
Banyak yang berharap, agar kondisi transisi itu tidak terulang dalam Undang-Undang tentang MK yang akan dibahas di DPR. Ini hanya mungkin dilakukan kalau DPR mempunyai semangat yang berbeda dengan lembaga yang melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
Atau, memang ada keinginan membangun sistem ketatanegaraan yang serba transisi?