Kompas 17 Januari 2003
Menyoal Hubungan DPR-Pemerintah
Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat
dan Dosen Hukum Tata Negara Fak. Hukum Universitas Andalas, Padang)
Pernyataan Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdullah Zainie bahwa kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) tidak dikonsultasikan dulu dengan Komisi VIII sebagaimana tertuang dalam kesimpulan rapat Panitia Anggaran dan pemerintah pada November 2002. Oleh karena itu, kata Abdullah Zainie, pemerintah dapat dikatakan melanggar prosedur (Kompas, 14/01-2003).
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi VIII Irwan Prayitno, “Jangankan menyetujui, membahasnya pun tidak”. Bahkan, selama tahun 2002 DPR belum pernah membentuk tim tarif --tim yang membahas exercise untuk setiap kenaikan harga BBM-- untuk menghindari tumpang tindih dengan Panitia Anggaran DPR. Oleh karena itu, tegas Irwan Prayitno, dalam hal ini jelas masyarakat dibohongi (Republika, 13/01-2003).
Bantahan terbuka DPR terhadap pemerintah dalam kasus kenaikan BBM dan TDL menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana hubungan kerja DPR dengan pemerintah terutama dalam mengambil kebijakan yang berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat.
***
Sebelum dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sulit membayangkan DPR akan sekuat sekarang. Meskipun sebelumnya, dalam kerangka fikir normatif-konstitusional, kedudukan DPR adalah kuat. Namun dalam praktik, DPR tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal. Setelah perubahan, praktik ketatanegaraan berada di bawah ancaman tirani DPR.
Karenanya, tidak heran jika kemudian praktik hubungan DPR dan pemerintah memunculkan dua kutub kekuasaan. Pada salah satu sisi, DPR muncul sebagai supremasi dan pemegang kendali politik dengan sumber keuangan yang amat tergantung kepada pemerintah. Sementara di sisi lain, pemerintah sebagai pihak pengelola dan pengendalian keuangan negara dengan kekuasaan politik yang terbatas.
Dua kutub kekuasaan itu memberi peluang kepada DPR dan Pemerintah untuk melakukan sinergi negatif dalam melakukan kolusi. Formulanya sederhana, dominasi kekuasaan politik menjadi lebih “mudah” bila diimbangi dengan sumber keuangan yang dikelola dan dikendalikan pemerintah.
Pengalaman sepanjang tahun 2002, paling tidak, posisi dan kelebihan yang dipunyai oleh kedua kutub terjebak pada pemeliharaan untuk mempertahankan kepentingan masing-masing. Sulit dinafikan, penguatan peran DPR yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan horizontal melalui mekanisme checks and balances terperangkap dalam pola hubungan kolutif antara DPR dengan pemerintah.
Dalam banyak kasus, wakil rakyat yang seharusnya berperan mengontrol tindakan pemerintah justru berkembang ke arah pemerasan negara oleh politisi. Para politisi lembaga legislatif cenderung menggunakan kesempatan untuk berkolusi dengan pemerintah untuk melakukan penggerogotan keuangan negara. Misalnya, merebaknya isu suap di Komisi IX dalam kasus divestasi Bank Niaga pada tahun lalu.
Perkembangan terkini, hiruk-pikuk penolakan kenaikan BBM dan TDL, memperlihatkan bahwa ada yang tidak benar dalam hubungan DPR dan pemerintah. Padahal, berdasarkan ketentuan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 hubungan DPR dengan pemerintah harus dilakukan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan ketiga fungsi itu, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Semestinya, saling menyalahkan antara kedua lembaga ini tidak perlu terjadi kalau DPR mampu melakukan fungsi-fungsi konstitusionalnya secara benar. Misalnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran, DPR dapat memainkan sekaligus fungsi pengawasan secara efektif. Apalagi kalau ditambahkan dengan fungsi ‘lain’ yaitu fungsi representasi. Fungsi ini harus menjadi pijakan utama dalam melaksanakan tugasnya karena DPR terikat dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 bahwa DPR wajib menindaklanjuti aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Sekiranya DPR bergerak dalam kerangka kepentingan publik yang lebih luas, penolakan luas yang terjadi dalam beberapa hari belakangan tidak perlu ada. Semua anggota DPR harus melakukan perdebatan dan pertarungan secara alot dengan pemerintah sebelum semua kebijakan disepakati. Dengan demikian, alasan bahwa DPR tidak dilibatkan menjadi sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal.
Kalau ditelaah lebih jauh, terkait dengan pelaksanaan tugas komisi, kenaikan BBM dan TDL terkait dengan proses penyusunan Rancangan Anggaran Belanja Negara (RAPBN). Pemahaman publik, kalau APBN sudah ditetapkan, semua persoalan yang menyangkut keuangan negara sudah selesai dibicarakan antara DPR dengan Pemerintah.
Persoalan perbedaan tugas komisi, dalam Pasal 36 ayat (4) butir g ditegaskan masalah-masalah yang menyangkut lintas komisi harus dibicarakan dalam Rapat Gabungan Komisi. Bahkan, menurut Pasal 36 ayat (4) butir j mengisyaratkan, bila dipandang perlu, persoalan-persoalan yang berimplikasi lebih luas diusulkan kepada Badan Musyawarah untuk dimasukkan dalam acara DPR.
Dengan adanya kerangka hukum yang mengatur pelaksanaan fungsi DPR dalam bberhubungan dengan pemerintah, wajar jika ada penilaian bahwa hampir semua kebijakan yang dilahirkan hanya menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan dan pesakitan. Ini terjadi karena ketidakmampuan DPR dan pemerintah merespon suara-suara yang berkembang di tingkat publik. Semuanya bermula dari ketidakjelasan meknisme hubungan DPR dan pemerintah.
Barangkali, hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas (13/01-2003). Dapat dijadikan parameter untuk mengetahui penilaian masyarakat terhadap DPR dan pemerintah dalam kasus kenaikan tarif BBM dan TDL. Dari 957 responden, 67,0% responden menilai bahwa DPR tidak peduli dengan nasib rakyat. Sementara itu, 66,5% menilai bahwa pemerintah tidak peduli terhadap kepentingan rakyat.
***
Melihat perkembangan terakhir, pembentukan Kaukus Penyelamatan Bangsa (KPB) yang dilakukan oleh beberapa orang anggota DPR dan perdebatan sepanjang Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang III DPR pada hari Senin (13/01-2003) kuat indikasi ada problem internal dalam tubuh DPR. Problem ini menimbulkan sikap ambivalen beberapa kekuatan politik di DPR menanggapi kenaikan BBM dan TDL yang telah dilakukan pemerintah.
Misalnya, Fraksi PDI Perjuangan berada dalam keraguan untuk menentukan sikap apakah akan menyahuti suara-suara yang berkembang di masyarakat atau tetap bertahan sebagai kekuatan politik yang mendukung pemerintah. Bahkan kemudian tersingkap, inkonsistensi sikap Fraksi PDI Perjuangan adalah bias dari perpecahan dalam tubuh PDI Perjuangan.
Contoh lain, keragu-raguan di DPR muncul karena beberapa pimpinan DPR yang mempunyai masalah hukum. Samuel Koto dalam wawancara live (Metro TV, 14/01-2003) menyebutkan kasus hukum Akbar Tandjung –yang sedang menunggu putusan banding-- juga mempengaruhi sikap pimpinan DPR. Bahkan, Lukman Hakim Saefuddin anggota KPB kecewa dengan pertemuan konsultasi pimpinan DPR (Kompas, 15/01-2003).
Kedepan, agar saling lempar kesalahan ini tidak terulang lagi, semua pembicaraan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dilakukan secara terbuka. Tidak hanya itu, hasil pembicaraan yang sudah disepakati pun harus disampaikan kepada publik. Sekiranya ini dilakukan, publik dapat menilai institusi mana yang melakukan kesalahan.
Negeri ini membutuhkan pemimpin-pemimpin jujur yang bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan rakyat.