Oleh Saldi Isra
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa penegakan hukum tak boleh tebang pilih bukan untuk pertama kali hadir ke ruang publik. Meski begitu, pendapat itu seperti memiliki pesan khusus dengan adanya penegasan bahwa tindakan diskriminasi itu tidak boleh ada sekalipun menyangkut kader Partai Demokrat.
Masalahnya, seberapa jauh pernyataan SBY mampu menjadi daya dorong untuk menguak semua jejaring di balik kasus suap di Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga? Pertanyaan itu jadi penting karena hampir berbarengan dengan SBY, Ketua KPK M Busyro Muqoddas menyatakan bahwa kasus suap yang menimpa Wafid Muharam tak akan berhenti pada mereka yang tertangkap tangan saja. Setidaknya, dari hasil penelusuran sementara KPK, praktik suap tersebut menunjukkan adanya kejahatan struktural.
Selain itu, keraguan publik atas pernyataan SBY sendiri. Sejauh ini publik melihat SBY nyaris tak pernah kehabisan kata ketika bicara pemberantasan korupsi. Namun, kelemahan elementer yang dirasakan publik, SBY gagal menerjemahkan kata menjadi aksi. Karenanya, tidaklah berlebihan bila ada yang menilai pernyataan itu seperti kehilangan roh dan legitimasi di tengah masifnya praktik korupsi yang mendera negeri ini.
Langkah cepat
Pernyataan SBY agar penegakan hukum tak terjebak tebang pilih dapat dibaca dalam dua dimensi. Pertama, dalam posisi sebagai kepala negara, sepertinya SBY sedang mengirim sinyal kepada KPK agar bergerak cepat membongkar kasus ini. Bila penilaian seperti ini dapat diterima, seharusnya KPK dapat menjadikan sinyal SBY menjadi energi tambahan membongkar semua pihak yang terlibat.
Dalam pengertian itu, semua kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK seharusnya mampu dihidupkan kembali secara normal. Misalnya, memanggil semua pihak yang terkait guna melengkapi bukti-bukti yang ada. Lalu, segera menahan mereka yang terlibat. Langkah ini penting dilakukan karena penyelesaian kasus mudah terperangkap dalam lorong tak berujung bila dibiarkan berlama-lama.
Pengalaman cukup untuk membuktikan betapa skandal-skandal yang melibatkan mereka yang punya posisi politik kuat tak bisa diselesaikan secara tuntas. Kalaupun ada sebagian yang bisa diselesaikan, itu pun setelah melalui proses panjang yang melelahkan. Bahkan, banyak skandal yang ditangani KPK justru memicu keraguan publik terhadap kemampuan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.
Selain itu, energi besar dan langkah cepat diperlukan karena adanya keterbatasan waktu yang dimiliki KPK. Keterbatasan itu tak hanya karena harus berbagi waktu dengan upaya menyelesaikan tumpukan kasus yang ada, tetapi juga karena masa bakti KPK periode sekarang akan berakhir Desember ini. Karena keterbatasan itu, tanpa langkah cepat, bisa jadi, upaya menyelesaikan kasus ini akan tenggelam oleh hiruk-pikuk proses seleksi calon pimpinan KPK.
Janji SBY
Kedua, dalam posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sangat mungkin SBY sedang menyampaikan pesan terbuka kepada pengurus parpol pemenang Pemilu 2009 ini. Pesan terbuka itu tidak terlepas dari pergunjingan publik di tengah pusaran kasus yang menimpa Wafid. Merujuk perkembangan yang ada, tidak mudah bagi Demokrat dan sejumlah elitenya untuk mengelak dari kasus ini.
Sebagai presiden yang naik ke panggung kekuasaan karena kemampuan mengapitalisasi agenda pemberantasan korupsi, kasus yang terjadi di Kantor Kemenpora adalah tamparan bagi SBY. Karenanya, publik tengah menunggu langkah nyata SBY guna membuktikan kalimat sakti ”saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”. Bila di ”rumah sendiri” gagal membuktikan kata sakti tersebut, bagaimana mungkin berharap SBY memimpin langsung agenda tersebut?
Yang paling ditakutkan, bila terhadap kasus yang terkuak ke permukaan tak ada tindakan konkret, parpol sulit keluar dari kesan sebagai tempat bernaung orang-orang bermasalah alias bungker koruptor. Bahkan, sangat mungkin, orang berjuang jadi elite parpol hanya memuluskan jalan merampok uang negara. Apalagi, gejala sejauh ini, parpol berkuasa atau dengan kekuatan besar sering jadi tempat bernaungnya orang-orang bermasalah.
Dalam konteks itu, pernyataan SBY bahwa penegakan hukum tak boleh tebang pilih harus dimaknai sebagai bentuk janji terbuka ke publik. Karena itu, ketika KPK mengendus kemungkinan adanya kejahatan struktural dalam kasus yang melibatkan Wafid, SBY harus melakukan langkah besar di internal Demokrat. Langkah besar jadi keniscayaan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan ke parpol yang telah lama tenggelam karena perilaku menyimpang sebagian elite.
Tidak hanya itu, sebagai bagian dari institusi yang menjalankan tugas presiden, langkah besar seharusnya dilakukan pula di jajaran Kemenpora. Tanpa itu, SBY akan tetap diposisikan sebagai pemimpin yang gagal menerjemahkan kata menjadi aksi. Di atas itu semua, kita tidak ingin negeri ini tenggelam di tengah lautan janji para pemimpin miskin bukti. Ini waktunya membuktikan janjimu Mr President.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
source:http://cetak.kompas.com/read/2011/05/13/04144671/menagih.janji.yudhoyono