Oleh Saldi Isra
Di tengah spekulasi kepergian M Nazaruddin ke Singapura, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pengurus partai menjemput mantan Bendahara PD itu. Bila Nazaruddin menolak datang, SBY meminta mempersiapkan rencana cadangan dengan menggunakan jalur interpol. Bisa jadi, isyarat SBY itu yang membuat Menko Polhukam Djoko Suyanto meminta Menteri Luar Negeri, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara segera menghadirkan Nazaruddin jika Komisi Pemberantasan Korupsi memanggilnya (Kompas, 30/5).
Permintaan Djoko tentunya tidak secara langsung menindaklanjuti perintah SBY, tetapi lebih pada upaya penyelesaian kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga.Perintah bersyarat
Bila dibaca secara utuh, perintah SBY dan Menko Polhukam guna pemulangan (paksa) Nazaruddin dapat dikatakan semacam perintah bersyarat. Syarat utama yang harus dipenuhi adalah sekiranya KPK memanggil mantan Bendahara PD itu untuk proses hukum. Apabila tidak ada pemanggilan, dapat dipastikan perintah SBY dan Menko Polhukam akan kehilangan nilai strategisnya.
Oleh karena itu, perintah bersyarat SBY sangat bergantung pada kebutuhan dan pemaknaan KPK. Bila kasus suap yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga diletakkan dalam proses hukum, perintah SBY seharusnya dimaknai sebagai kritik terbuka terhadap KPK.
Dikatakan demikian karena sejak kasus suap yang menimpa Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, KPK seperti enggan menyentuh Nazaruddin. Padahal, begitu Wafid ditangkap, nama Nazaruddin seperti jadi bagian yang tak terpisahkan.
Sejauh ini publik sangat mendukung langkah KPK membongkar kasus suap tersebut. Dukungan serupa juga datang dari SBY ketika menyatakan agar KPK tak bersikap tebang pilih dalam penegakan hukum. Tak hanya itu, SBY mengingatkan, tindakan diskriminatif dalam penegakan hukum tak boleh ada sekalipun menyangkut kader partai yang ia pimpin sendiri.
Sayang, dukungan tersebut sepertinya gagal mendorong KPK membongkar semua pelaku yang terkait kasus suap itu. Bahkan, informasi tambahan yang datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tidak dimanfaatkan secara optimal untuk ”melacak” sepak terjang Nazaruddin dalam kasus suap tersebut. Sepertinya, langkah KPK baru kelihatan agak lebih jelas begitu beredar kabar Nazaruddin berangkat ke Singapura.
Melihat kelambanan itu, perintah SBY kepada pengurus PD seharusnya dimaknai sebagai perintah kepada KPK untuk bergerak cepat mengungkap kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Terlepas dari segala kemungkinan motif di balik perintah SBY itu, keberanian KPK sedang berada dalam ujian serius. Bagaimanapun publik tengah menunggu sikap KPK kepada Nazaruddin. Publik makin penasaran karena Nazaruddin pernah mengancam akan membongkar borok di tubuh Partai Demokrat.
Ambivalensi SBY
Bila pada kasus kepergian Nazaruddin ke Singapura kritik terbesar harus dialamatkan pada KPK, dalam kasus Nunun Nurbaeti kritik keras seharusnya di alamatkan pula kepada SBY. Kritik itu tidak terlepas dari sikap mendua yang ada pada SBY, yaitu mengapa upaya pemaksaan pulang ke Tanah Air hanya ditujukan kepada Nazaruddin?
Mengapa upaya paksa tak dilakukan pula kepada Nunun yang telah dijadikan tersangka oleh KPK dalam skandal dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom?
Bila diletakkan dalam bingkai penegakan hukum, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi, kritik tersebut layak dan harus pula ditujukan kepada SBY. Selama ini proses hukum skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI berjalan pincang karena terkendala kehadiran Nunun. Hampir semua pihak yang terindikasi menerima suap telah menjalani proses hukum. Namun, proses hukum terpaksa berjalan pincang karena si pemberi suap belum terungkap.
Sejauh ini dipahami bahwa upaya mengungkap pemberi suap dalam pemilihan Miranda hanya mungkin dilacak bila Nunun dapat dihadirkan. Di tengah kesulitan KPK, tidak terdengar upaya SBY dan jajarannya untuk memulangkan Nunun ke Tanah Air. Padahal, sekiranya upaya yang dilakukan terhadap Nazaruddin dilakukan pula kepada Nunun, sudah sejak lama pemberi suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI terungkap.
Dengan alpanya peran SBY dan jajarannya untuk menghadirkan Nunun, jangan-jangan SBY menilai skandal pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia itu tidak sepenting kasus di Kementerian Pemuda dan Olahraga? Atau bisa jadi kekuatan yang melindungi Nunun jauh lebih dahsyat dibandingkan proteksi yang mungkin diterima Nazaruddin? Karenanya, kedua pertanyaan itu memunculkan pertanyaan lain yang lebih serius: apakah kondisi itu mencerminkan dan sekaligus membuktikan ambivalensi sikap SBY dalam agenda pemberantasan korupsi?
Agar tidak dituduh bersikap mendua, SBY harus mampu melakukan segala macam langkah untuk menghadirkan Nunun di Indonesia. Selama tidak menunjukkan langkah konkret membantu KPK memulangkan Nunun dan membiarkan bekerja sendirian, perintah SBY kepada pengurus PD tidak akan memiliki nilai strategis apa pun dalam penegakan hukum. Selama tak mampu menghilangkan sikap ambivalen, pemberantasan korupsi hanya akan jadi pepesan kosong.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas