Kompas 24 Februari 2003

Ambiguitas UU Pemilu

Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat
dan Dosen Hukum Tata Negara Fak. Hukum Univ. Andalas, Padang)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melakukan dua kemajuan penting dalam melahirkan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Kemajuan pertama, kemampuan menciptakan beberapa pasal progresif dalam penggunaan hak memilih terhadap seluruh warga negara, seperti hak memilih pada narapidana dan penyandang cacat. Kemajuan kedua, ‘keberanian’ melakukan voting terhadap beberapa pasal krusial yang tidak mungkin diselesaikan melalui proses lobi.

Sayang, keberhasilan itu tidak mampu mementahkan perkiraan yang berkembang sejak awal bahwa DPR sulit melakukan reformasi total dalam penyelenggaraan pemilu. Perkiraan ini terbukti karena beberapa pasal, yang disepakati melalui proses lobi dan proses voting dalam sidang paripurna minggu lalu, memperlihatkan ketidakjelasan sikap (ambiguitas) DPR dalam menciptakan kualitas penyelenggaraan dan hasil pemilu 2004.

***

Ada sembilan poin penting yang diselesaikan DPR melalui proses voting. Kesembilan poin itu adalah penetapan calon yang tidak mencukupi bilangan pembagi pemilihan (BPP), penghitungan lokasi kursi propinsi, kampanye di lembaga pendidikan, organisasi terlarang, larangan pejabat ikut kampanye, jumlah calon dicoblos, pencoblosan gambar dan calon, partai yang tidak memenuhi electoral threshold, dan penyesuaian Komisi Pemiliah Umum (KPU).

Paling tidak, dari sembilan poin yang ‘disepakati’ itu, ada tiga hal yang memperlihatkan ambiguitas DPR.

Pertama, penetapan calon yang tidak mencukupi bilangan pembagi pemilihan (BPP) (Pasal 107 ayat (2) akan dilakukan sesuai dengan ‘urut kacang’ oleh partai politik (parpol). Dengan adanya ketentuan ini, sistem proporsional menjadi kehilangan makna. Parpol masih akan sangat dominan dalam proses penentuan calon terpilih.

Berkaca pada hasil pemilu 1999, dominasi parpol ini dapat terjadi karena sebagian besar calon terpilih tidak mampu memenuhi jumlah kuota yang dipersyaratkan. Berdasarkan penghitungan awal yang dilakukan Hamdan Zoelva, sekitar 70% calon anggota DPR tidak akan mampu memenuhi BPP dalam pemilu 2004 (SCTV, 20/02-2003). Artinya, ada sekitar 70% anggota DPR akan tetap ditentukan oleh parpol berdasarkan urut kacang.

Urut kacang ini diikuti dengan pertentangan teknik pencoblosan dengan syarat sah suara. Pada salah satu sisi, Pasal 84 ayat (1) menentukan pencoblosan surat suara dilakukan terhadap tanda gambar partai dan satu nama calon. Sementara di sisi lain, Pasal 93 ayat (1) menentukan suara tetap sah bila yang dipilih hanya gambar parpol. Tetapi kalau yang dipilih hanya nama calon tanpa memilih parpol, maka suara tidak sah. Artinya, Pasal 93 ayat (1) akan mendorong parpol untuk mengkampanyekan agar pemilih melakukan langkah sederhana yaitu cukup memilih tanda gambar parpol. Bagi pemilih, tawaran itu akan menjadi daya tarik tersendiri karena memilih orang dan tanda gambar parpol lebih rumit.

Sekiranya ditelaah secara mendalam, ambiguitas yang di-design antara penetapan calon yang tidak mencukupi BPP dengan adanya ruang untuk hanya memilih tanda gambar, UU Pemilu tidak berhasil mengganti sistem pemilu. Yang dilakukan DPR hanya mengubah sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka. Arahnya jelas, melanggengkan status quo. Apalagi, Pasal 107 ayat (2) hanya didukung oleh Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Golkar yang dari awal sudah keberatan dengan sistem proporsional terbuka.

Kedua, ambiguitas dengan memperbolehkan presiden, wakil presiden (wapres) dan menteri ikut dalam kampanye. Artinya, Pasal 75 hanya melarang: (a) ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan; (b) ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); (c) gubernur, deputi gubernur senior dan deputi gubernur Bank Indonesia (BI); (d) gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota; (e) pejabat BUMN/BUMD; (f) pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; (g) kepala desa atau sebutan lain ikut kampanye pemilu.

Publik tidak bisa mengerti, mengapa UU Pemilu mengecualikan presiden, wapres dan menteri tidak ikut dalam kampanye. Padahal, ketiga posisi itu sangat rawan untuk menyelewengkan fasilitas publik. Meskipun ada aturan bahwa selama kampanye mereka: (a) tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya; (b) menjalani cuti di luar tanggungan negara; (c) pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.

Upaya untuk memperbolehkan presiden, wapres dan menteri ikut dalam kampanye tidak terlepas dari kalkulasi politik jangka pendek parpol yang elitnya duduk di jajaran kabinet. Posisi presiden, wapres dan menteri akan lebih mudah dipergunakan menjadi vote-getter untuk meraup suara sebesar-besarnya dalam pemilu.

Pertanyaannya, mungkinkah dalam segala kegiatannya presiden dan wapres terbebas dari penggunaan fasilitas publik terutama penjagaan yang dilakukan oleh pasukan pengaman presiden (paspamres). Bahkan, dalam masa cuti pun tidak mungkin mencegah presiden dan wapres mempergunakan fasilitas negara. Apalagi, ketentuan kampanye ini hanya akan dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sulit dipercaya, presiden, wapres dan menteri akan tunduk dengan produk hukum KPU.

Ketiga, jaminan semu keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Pasal 65 ayat (1) menyatakan setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Sepintas, kuota keterwakilan perempuan dapat dinilai sebagai langkah progresif yang dilakukan oleh beberapa kekuatan politik yang ada di DPR. Tetapi kalau dilihat dari perspektif perumusan norma hukum, Pasal 65 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan imperative yang dapat memaksa parpol untuk terikat memenuhi kuota 30 persen. Kata ‘dapat’ tidak lebih dari sekadar dorongan untuk parpol agar memperhatikan keterwakilan perempuan. Apalagi kalau didalami, tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada parpol yang tidak berupaya memenuhi jumlah kuota 30 persen.

Semestinya, kalau memang ada keinginan untuk memberikan affirmative kepada perempuan, rumusannya tidak fakultatif serta diiringi dengan sanksi terhadap parpol yang memenuhi kuota itu. Lebih jauh dari itu, yang diperlukan tidak hanya sekedar calon anggota legislatif tetapi kuota 30 persen harus tercermin dalam jumlah anggota legislatif.

***

Sutta Dharmasaputra (Kompas, 20/02-2003) menilai proses voting yang dilakukan DPR adalah sebuah sejarah baru karena dari 104 RUU yang pernah dibahas di Sidang Paripurna DPR sejak tahun 1999-2003, baru RUU Pemilu yang diputuskan melalui mekanisme voting.

Dari sudut pandang keberanian melakukan voting, pendapat Sutta ada benarnya. Tetapi dari keinginan melakukan perubahan secara mendasar, sebagian anggota DPR masih terjebak dengan penyakit lama yaitu kepentingan sesaat jauh lebih penting daripada membangunan demokrasi dalam jangka panjang.

Haruskah kita menunggu lagi sampai pemilu 2009?