Kompas 12 Maret 2003
Ambivalensi Partai Golkar
Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat
dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ. Andalas, Padang)
Rapat Koordinasi Nasional Pemenangan Pemilu Partai Golkar yang berakhir pada tanggal 01 Maret yang lalu merekomendasikan agenda Konvensi Nasional Pemilihan Calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) dari Partai Golkar. Meskipun baru dibicarakan dalam forum partai, keinginan Golkar untuk melakukan konvensi nasional dalam menjaring capres dan cawapres sudah cukup lama disampaikan kepada publik.
Secara obyektif, gagasan Golkar dapat menutup celah (loop-hole) aturan proses pengajuan calon yang terdapat dalam konstitusi. Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wapres diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilihan umum (pemilu) sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini tidak memberikan aturan tentang bagaimana partai politik (parpol) mendapatkan capres dan cawapres.
Tidak hanya itu, Golkar juga menawarkan sebuah konsep dan proses yang lebih terbuka dalam mendapatkan kandidat terbaik untuk bertarung dengan capres dan cawapres yang datang dari parpol lain. Keterbukaan yang ditawarkan Golkar tidak hanya dalam proses penjaringan di tingkat internal partai, tetapi juga terbuka untuk munculnya kandidat capres dan cawapres dari luar kader partai Golkar.
Banyak tanggapan positif terhadap gagasan partai berlambang pohon beringin ini. Misalnya, Tajuk Rencana Kompas (03/03-2003) menilai bahwa terobosan Golkar untuk melakukan konvensi nasional amat layak dipertimbangkan terutama dalam menampung gagasan konstruktif untuk hadirnya the best possible candidate dalam menghadapi pemilu 2004.
Meskipun demikian, melihat sepak terjang Golkar dalam beberapa proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu terakhir, gagasan untuk melakukan konvensi nasional menyisakan pertanyaan mendasar. Adakah terobosan itu sebagai sebuah pertanda bahwa partai pemenang suara nomor dua dalam pemilu 1999 serius untuk melakukan perubahan? Atau, gagasan itu hanya merupakan kampanye terselubung untuk menarik simpati publik menghadapi pemilu 2004?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu layak dikemukakan karena gagasan konvensi nasional muncul di tengah terjadinya krisis kepercayaan yang luar biasa terhadap parpol, termasuk kepada Golkar. Apalagi, dalam banyak agenda politik, Golkar termasuk salah satu parpol ambivalen. Kasus voting terhadap beberapa pasal krusial ketika pengesahan Undang-Undang Pemilu dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari lalu sudah cukup dijadikan bukti.
***
Gugatan terhadap gagasan untuk melakukan konvensi nasional penentuan capres dan cawapres bukan pada konsep yang ditawarkan tetapi lebih kepada totalitas Golkar menyikapi ketentuan pemilihan Presiden langsung. Sekiranya serius untuk mendapatkan the best possible candidate, Golkar tidak perlu ambivalen dalam melihat ketentuan pemilihan langsung dalam UUD 1945.
Secara telanjang, ambivalesi Golkar memandang pemilihan langsung dapat dilihat dalam menyikapi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A UUD 1945. Pada salah satu sisi, partai ini berupaya menutup celah yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sementara di sisi lain, Golkar termasuk salah satu kekuatan politik yang berkeinginan mengebiri semangat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yaitu dengan membatasi parpol yang dapat mengajukan capres dan cawapres berdasarkan porsentase perolehan jumlah suara hasil pemilu anggota legislatif.
Sekiranya obyektif, Golkar tidak perlu merekayasa pembatasan itu. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah melakukan pembatasan dalam proses pencalonan capres dan cawapres yaitu hanya membuka kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Konkritnya, jika parpol sudah lewat verifikasi untuk ikut dalam pemilu 2004, parpol yang bersangkutan sudah berhak untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres.
Paling tidak, sudah ada tiga upaya sistematis untuk merekayasa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pertama, pada pertengahan tahun 2002 pernah muncul ‘draf siluman’ pemilihan Presiden melengkapi draf RUU Pemilu (Saldi Isra, 2003). Dalam draf itu, yang dapat mengusulkan capres dan cawpres adalah parpol yang sekurang-kurangnya memperoleh suara sah (1) 20% untuk pemilihan anggota DPR, (2) 30% DPRD provinsi yang tersebar di ½ jumlah provinsi Indonesia, dan (3) 40% DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ¾ jumlah Kabupaten/Kota dalam provinsi. Karena mendapat kritikan yang luas dari banyak kalangan, draf siluman ini ‘menghilang’ dari peredaran.
Kedua, draf awal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memunculkan tiga skenario pencalonan presiden dan wakil presiden (Kompas, 27/12-2002). Skenario pertama, semua pertai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum boleh mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Skenario kedua, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik disaring kembali berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan anggota DPR. Skenario ketiga, disaring berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan anggota DPR.
Ketiga, Pasal 5 ayat (4) RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dalam waktu dekat akan dibahas di DPR menentukan bahwa capres dan cawapres hanya dapat diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang dalam pemilu anggota DPR memperoleh suara kumulatif nasional sekurang-kurangnya 20%.
Sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di DPR, Golkar punya kesempatan meyakinkan kekuatan lain untuk menghormati aturan yang ada dalam UUD 1945. Artinya, kalau memang serius dengan gagasan konvensi nasional, Golkar harus melawan semua upaya sitematis untuk merekayasa pemilihan langsung dengan membatasi kesempatan bagi parpol peserta pemilu dalam mengajukan capres dan cawapres. Dengan begitu, meminjam Tajuk Rencana Kompas, Golkar dapat menghindari dilema antara makna sistem demokrasi dengan fisibilitas sistem politik demokrasi.
Caranya, Golkar harus bergabung dengan kekuatan politik lain di DPR untuk menentang segala upaya yang mencoba membatasi parpol atau gabungan parpol peserta pemilu agar dapat mencalonkan pasangan capres dan cawapres. Golkar perlu meyakinkan semua parpol bahwa mengaitkan pengajuan capres dan cawapres dengan hasil pemilihan anggota legislatif adalah pengingkaran telanjang terhadap UUD 1945, inkonstitusional.
***
Sebetulnya, sikap ambivalen partai Golkar tidak hanya dilihat dari pemaknaan secara benar terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Tetapi juga terkait dengan kemampuan Golkar memperhatikan suara yang berkembang di tingkat akar-rumput. Misalnya, bagaimana Golkar menyikapi status ketua umumnya sendiri. Dalam konteks mendapatkan the best possible candidate untuk seluruh rakyat Indonesia, posisi Akbar Tandjung menjadi penting diselesaikan oleh Golkar.
Untuk kepentingan internal, Akbar Tandjung dapat saja dikatakan sebagai the best possible candidate oleh Golkar. Tetapi untuk kepentingan yang lebih luas, penilaian publik belum tentu sama dengan sikap internal Golkar. Oleh karena itu, Golkar harus segera menyelesaikan ambivalen ini.