Kusut Masai Wajah DPR

Oleh Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

SEBETULNYA bagi kalangan yang concern atas perkembangan yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), persoalan kehadiran bukanlah isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, publik menjadikan kehadiran sebagai salah satu instrumen untuk menilai kinerja anggota DPR.


Oleh karena itu, menjadi amat wajar dan masuk akal ketika isu kehad iran mencuat ke permukaan publik melihat anggota DPR hasil Pemilihan Umum 2009 tidak menunjukkan perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada hal, dengan model pemilihan yang menggunakan proporsional terbuka de ngan suara terbanyak, tidak ada alasan mengabaikan kepentingan rakyat.

Merujuk data yang dirilis Biro Persidangan Sekretar sidangan Sekretariat Jenderal DPR, dalam sembilan bulan terakhir kehadiran anggota DPR menurun secara tajam. Dalam masa sidang I (1 Oktober-4 Desember 2009) tingkat kehadiran anggota DPR tercatat mencapai 92,57%. Berikutnya, selama masa sidang II (4 Januari-5 Maret 2010) tercatat 84,32% yang hadir. Terakhir, dalam masa sidang III (5 April-18 Juni 2010) terjadi penurunan tajam karena tingkat kehadiran hanya mencapai 71,59% (Kompas, 29/7). Bahkan, yang paling sulit diterima masyarakat luas, ada di antara anggota DPR yang tidak hadir sama sekali. Hampir dapat dipastikan, mengabaikan kehadiran adalah mereka yang tidak memaknainya sebagai bentuk pelanggaran serius.

Dalam tata cara kerja lembaga perwakilan rakyat, kehadiran menjadi sangat penting.
Bagaimanapun, kehadiran akan menjadi kunci penentu pelaksanaan semua kewenangan DPR. Karena itu, banyak konstitusi negara-negara modern mensyaratkan batas kehadiran minimal (quorum) anggota lembaga perwakilan rakyat di setiap pengambilan keputusan terutama yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Black's Law Dictionary (1999) menyatakan, kuorum adalah the minimum number of members who must be present for a body to transact a business or take a vote.

Keniscayaan hadir

Kehadiran anggota legislatif dalam proses pengambilan keputusan merupakan keharusan. Meski tidak menutup ruang untuk tidak hadir, kehadiran menjadi potret komitmen mereka terhadap rakyat yang diwakili. Bagaimanapun, kehadiran adalah bentuk konkret pelaksanaan konsep perwakilan rakyat. Dengan cara demikian, terlihat secara nyata bahwa rakyat hadir dalam setiap proses pengambilan keputusan sekalipun hal itu dilaksanakan oleh anggota lembaga perwakilan rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan argumentasi itu, ketidakhadiran anggota DPR dapat dikatakan sebagai bentuk nyata alpanya rakyat dalam proses pengambilan keputusan.

Terkait dengan hal tersebut, CF Strong (1975) menyatakan bahwa cara demikian sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jika anggota lembaga perwakilan rakyat (sebagai representasi rakyat) tidak hadir dalam proses pengambilan keputusan, rakyat sebenarnya absen dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Dalam hal ini, David Close (1995) mengemukakan, perkembangan negara modern, legislatif merupakan institusi pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Namun dalam perkembangan berikutnya, karena kepentingan politik partai politik dan kepentingan politik individu, makna hakiki representasi itu mengalami degradasi secara drastis.

Selain alasan di atas, kehadiran fisik diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengambilan keputusan akhir melalui mekanisme voting. Dalam hal, pengambilan keputusan melalui voting tidak mungkin dihindari, setidaknya sesuai dengan persyaratan minimal yang diperlukan, sebagaimana dikemukakan Robert L Madex (1996) anggota lembaga legislatif harus hadir terutama untuk memenuhi syarat lolosnya legislasi tertentu (to pass certain types of legislation). Jika syarat minimal tidak terpenuhi, putusan yang diambil dapat dikatakan tidak memenuhi persyaratan formal pengambilan keputusan.

Kemana fraksi?

Sebetulnya, ribut-ribut kehadiran anggota DPR telah berlangsung dalam waktu cukup lama. Yang mengherankan, selama itu pula fraksi sepertinya absen memberikan sikap konkret guna menanggulangi masalah kehadiran anggota DPR. Padahal, selama ini, publik melihat secara nyata sepak terjang fraksi ketika ada di antara anggota DPR yang melakukan pelanggaran atas kebijakan partai politik. Pertanyaannya, apakah selama ini fraksi tidak memaknai perilaku mangkir sejumlah anggota DPR sebagai tidak melanggar kebijakan partai politik?

Sebetulnya, dalam konteks dan kepentingan yang lebih luas, fraksi ha rus menempatkan kehadiran sebagai salah satu komponen yang menjadi penilaian utama performance anggota DPR. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3). Dalam hal ini, Pasal 80 ayat (1) UU MD3 menyatakan, untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR. Selanjutnya ditegaskan, guna mengoptimalkan hal itu semua fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik.

Bagi publik, saat menelantarkan kepentingan rakyat dan lebih mengutamakan partai politik (termasuk juga kepentingan elite par tai politik), fraksi kehilangan legitimasinya sebagai salah satu instrumen penting di DPR. Padahal, sekalipun bukan alat kelengkapan DPR, fraksi adalah institusi yang menerima fasilitas uang negara via sekretariat DPR. Guna mengimbangi fasilitas yang diterima itu, fraksi harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya. Salah satu caranya, optimalisasi pengawasan fraksi atas catatan kehadiran anggota DPR.

Dalam konteks itu, menjadi tidak tepat jika ada di antara anggota dan kekuatan politik DPR mempersoalkan dan mempersalahkan sekretariat jenderal ketika merilis rekapitulasi catatan kehadiran anggota DPR ke publik. Bisa dibayangkan sekiranya sekretariat jenderal enggan mengeluarkan rilis kehadiran tersebut, segala record mangkirnya sejumlah anggota DPR ada kemungkinan akan berlalu begitu saja. Oleh karena itu, mereka yang mempersoalkan catatan tersebut dapat dikatakan tidak berniat baik guna mengubah keadaan. Apalagi, peran sebagian fraksi seperti hilang ditelan bumi dalam masalah kehadiran anggota DPR.

Terapi kejut

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak suara yang menghendaki DPR mau memper baiki diri terutama terkait masalah kehadiran. Selama ini ujung tombak untuk mengkritisi `perilaku menyimpang' di internal DPR ada lah kelompok masyarakat yang konsistensi mewakafkan waktunya di DPR. Namun hasilnya dapat ditebak, sebagian yang di lakukan seperti berteriak di tengah gurun pasir. Jamak diketahui, nyaris semua warning yang disampaikan kelompok masyarakat seperti masuk telinga kanan dan keluar lagi di telinga kiri.

Karena pengalaman itu, ketika memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi (MK), saya pernah meyakinkan MK untuk memberi terapi kejut (shock-therapy) bagi DPR. Mayoritas kalangan di negeri ini percaya, tanpa terapi kejut sangat mungkin sulit terjadi perubahan perilaku anggota DPR yang selama ini bermasalah. Bahkan, jika dibiarkan berlarut-larut, mereka yang tidak terbiasa mangkir sangat mungkin terpengaruh melakukan hal serupa. Bentuk terapi kejut yang dikemukakan di MK, menyatakan tidak berlu berlaku undang-undang yang disahkan dalam paripurna yang tidak dihadiri anggota DPR sesuai dengan batas minimal kuorum yang dipersyaratkan.

Melihat perkembangan yang ada, terapi kejut eksternal sulit untuk mengubah situasi yang sudah agak karatan ini. Cara paling ampuh yang harusnya dilakukan, fraksi harusnya bertindak keras terhadap mereka yang selama ini tidak mau memperbaiki diri. Bagaimanapun, membiarkan mereka yang tidak mempunyai komitmen kuat untuk terus bertahan di DPR berpotensi menghancurkan kredibilitas partai politik di mata masyarakat. Ujung-ujungnya, partai politik akan menjadi instrumen demokrasi yang tidak berwibawa.

Selain itu, yang paling dikhawatirkan, prilaku mangkir anggota DPR yang mencuat akhir-akhir ini justru akan semakin mendegradasi lembaga DPR sendiri. Sekiranya itu terjadi, citra DPR akan semakin bergerak pasti menuju titik nadir. Membiarkan sebagian anggota merusak institusi DPR akan semakin membuat wajah DPR bertambah buram. Kalau untuk hadir saja mereka enggan, tentunya memper juangkan aspirasi rakyat akan jauh lebih enggan lagi. Karena, jangan biarkan wajah DPR bertambah kusut masai.