Di tengah keraguan publik atas kinerja dan keberlangsungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (1/9), lembaga yang mempunyai wewenang extra-ordinary dalam memberantas korupsi itu menetapkan 26 anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 sebagai tersangka dugaan penerima cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sebetulnya, dalam hitungan waktu, skandal suap yang berada di sekitar keterpilihan Miranda S Goeltom itu terbilang cukup lama ditangani KPK. Karena lama tidak ada kejelasan, menjadi sulit membedakan antara kehati-hatian dan ketidakberanian KPK.
Bahkan, sebagian kalangan yang concern atas agenda pemberantasan korupsi mengira skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI ini akan tenggelam seiring dengan perjalanan waktu. Perkiraan itu bukan tanpa alasan. Buktinya, setelah KPK melimpahkan kasus empat anggota DPR periode 1999-2004 (yaitu Dudhie Makmun Murod, Hamka Yandhu, Endin AJ Soefihara, dan Udju Djuhaeri) publik tidak melihat pergerakan dan perkembangan penting dalam menindaklanjuti skandal itu. Padahal, dalam proses persidangan terungkap sebanyak 39 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menerima cek perjalanan senilai Rp20,65 miliar. Lalu, apakah yang bisa dijelaskan dengan adanya gebrakan KPK menetapkan 26 politikus tersebut menjadi tersangka skandal suap pemilihan Miranda S Goeltom? Dapatkah itu menjadi bukti awal hilangnya 'urat takut' KPK menuntaskan skandal-skandal korupsi di negeri ini?
Memulihkan kepercayaan
Dalam hitungan waktu, sulit dibantah, hilangnya keberanian KPK 'menyentuh' kasus-kasus besar yang terkategori skandal telah berlangsung cukup lama. Meluruhnya nyali menyentuh kasus-kasus besar mulai terlihat seiring dengan banyak upaya sistematis untuk mengerdilkan KPK. Misalnya, berkembangnya keinginan sejumlah politikus DPR untuk mengkaji ulang posisi KPK dalam sistem penegakan hukum. Bahkan, tidak jarang terdengar suara-suara yang hendak memangkas kewenangan extra-ordinary KPK dalam memberantas korupsi.
Sadar atau tidak, dengan makin bertambahnya suara-suara yang mempertanyakan dan menggugat keberadaannyanya, hari demi hari, kepercayaan diri KPK menjadi semakin berkurang. Bagi KPK, menghadapi opini sejumlah politikus di DPR pasti lebih sulit jika dibandingkan dengan menghadapi serangan balik para pelaku korupsi (corruptors fight back). Bagaimanapun, dalam sebuah negara yang terbilang masif praktik korupsinya, dukungan lembaga perwakilan rakyat merupakan modal besar untuk memberantas korupsi. Tanpa itu, agenda memberantas korupsi hampir pasti akan jalan di tempat. Bahkan bukan tidak mungkin layu sebelum berkembang.
Tidak hanya menghadapi problem sulitnya mendapat dukungan luas dari DPR, upaya pengerdilan yang paling memukul adalah kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Nasib 'naas' yang menimpa dua pemimpin KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, tidak saja menimbulkan guncangan hebat, tetapi juga menghabiskan energi KPK. Dengan kondisi itu, KPK seperti kehilangan kekuatan sebagai lembaga extra-ordinary dalam memberantas korupsi. Di tengah deraan yang demikian hebat, penegakan hukum pemberantasan korupsi benar-benar mengalami 'mati suri'. Padahal, jika bicara prestasi pemberantasan korupsi dalam beberapa tahun terakhir, tidak mungkin melepaskan diri dari jerih payah KPK.
Dengan menjadikan 26 politikus itu sebagai tersangka, KPK tengah menunjukkan kepada publik bahwa lembaga itu masih bisa diharapkan untuk melanjutkan pemberantasan korupsi. Meskipun belum tentu akan memulihkan kepercayaan publik secara utuh, langkah KPK terasa ibarat setitik air di tengah gelombang panas badai gurun. Setidaknya, upaya KPK menuntaskan skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI itu menjadi semacam pelipur lara di tengah kekecewaan publik atas grasi dan hujan remisi yang diterbitkan pemerintah ketika peringatan hari kemerdekaan tempo hari.
Jika merujuk kriminalisasi pimpinan KPK beberapa waktu lalu, harapan publik harus tetap dijaga KPK. Setidaknya, ketika lembaga-lembaga formal makin tidak jelas sikap dan dukungannya kepada KPK, publik dan mereka yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi menjadi barisan paling depan yang memberikan dukungan bagi KPK. Agar dukungan itu tidak mengendur, KPK harus membuktikan sebagai garda depan agenda pemberantasan korupsi. Tanpa itu, sulit bagi KPK mempertahankan dukungan publik. Setelah membiarkan dukungan itu meluruh, menggembalikannya bukan pekerjaan mudah. Sekiranya dukungan publik terus tergerus, hal itu bisa menjadi pertanda kiamat untuk agenda pemberantasan korupsi.
Ditunggu publik
Dalam waktu dekat, dukungan publik bisa saja mendekati jumlah seperti yang pernah diterima ketika terjadinya kriminalisasi atas pimpinan KPK. Dukungan serupa potensial diraih kembali jika KPK mampu menuntaskan skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Setidaknya ada tiga perkembangan berikutnya yang sedang ditunggu. Pertama, KPK harus menetapkan status tersangka juga kepada anggota Komisi IX yang lainnya. Jika merujuk vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan sebanyak 39 anggota Komisi IX DPR yang terlibat. Artinya, jika ditambah dengan yang telah divonis bersalah, masih ada beberapa anggota Komisi IX yang belum dijadikan tersangka.
Kedua, menahan mereka yang dijadikan tersangka. Langkah itu penting karena sejauh ini salah satu titik lemah penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, tersangka tidak segera ditahan. Padahal, sebelumnya, untuk banyak kasus, penetapan status tersangka segera diikuti dengan tindakan penahanan. Rasanya, untuk menunjukkan keseriusan KPK mengurai dan mengungkap skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI ini, tindakan penahanan menjadi pilihan yang tak terelakkan. Apalagi, tindakan serupa juga diperlakukan bagi mereka yang telah diproses hukum sebelumnya.
Ketiga, sejauh yang dapat diamati, partai politik yang kader mereka tersangkut dengan skandal pemilihan Deputi Gubernur Senior BI itu dapat menerima tindakan KPK menetapkan mereka sebagai tersangka. Yang dipersoalkan, mengapa KPK hanya menetapkan mereka yang menerima suap? Padahal, logika hukumnya, tindak pidana suap tidak mungkin dilakukan satu pihak saja. Suap pasti melibatkan dua pihak, yaitu pemberi suap dan penerima suap. Jika dalam skandal ini KPK berhenti sampai pada penerima suap, tindakan tersebut tidak hanya merusak logika hukum, tapi juga merupakan bukti nyata diskriminasi dalam penegakan hukum.
Bagi publik, dari ketiga hal tersebut, mendudukkan skandal pemilihan Deputi Gubernur Senior BI ini ke logika hukum yang benar merupakan penantian yang menarik. Sejauh ini, praktik penegakan hukum selalu sulit bersikap adil bagi mereka yang powerful. Jika KPK kesulitan berlaku sama kepada pemberi suap, dapat dipastikan bahwa pemberi suap jauh lebih powerful jika dibandingkan dengan 26 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004.
Perlu dicatat, selama KPK gagal menemukan dan memberikan status hukum yang sama kepada pemberi suap, 'urat takut' KPK belum dapat dikatakan hilang. Bagi publik, perlakuan diskriminatif tersebut akan dikenang sebagai 'parsel Lebaran' yang hambar.
Oleh Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber:http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/14/168146/68/11/Parsel-Lebaran-dari-KPK