Oleh

Saldi Isra

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Seharusnya, dari posisi historis dan hak asal-usul yang ada, keberadaan Yogyakarta sebagai daerah istimewa akan lebih baik jika disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945."

GELOMBANG pertama kete gangan antara Jakarta dan Yogyakarta di akhiri dengan penyampaian Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta (RUU KDIY) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Penyampaian tersebut dilakukan setelah pemerintah memperbaiki mekanisme penentuan atau pengisian jabatan gubernur yang menjadi isu sentral dalam RUU KDIY.

paya perbaikan itu dapat dibaca sebagai bentuk langkah konkret pemerintah mencari titik temu antara ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan kehendak masyarakat Yogyakarta.

Dikatakan sebagai gelombang pertama karena ketegangan berikutnya sangat mungkin terjadi ketika RUU KDIY dibahas di DPR. Jika merujuk praktik pembentukan undang-undang di DPR, pembahasan merupakan tahap `pertarungan' yang sesungguhnya. Meski pengusul telah menyampaikan rancangan, proses yang berlangsung DPR masih memberi peluang dilakukan perubahan mendasar. Bagaimanapun, RUU KDIY yang disampaikan pemerintahn harus tetap dipandang sebagai sikap `resmi' pemerintah. Karena itu, ketegangan gelombang kedua akan muncul ketika pembahasan berlangsung di DPR.

Ketegangan gelombang kedua mungkin akan muncul dalam banyak sisi. Misalnya, perbedaan sudut pandang dalam melihat keistimewaan Yogyakarta antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR.

Tidak hanya itu, karena keistimewaan Yogyakarta menyangkut otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah, sesuai dengan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasti akan menjadi aktor dan faktor penting yang tidak mungkin diabaikan. Selain itu, ruang masyarakat untuk ikut berpartisipasi akan menjadikan pembahasan RUU Yogyakarta tambah menarik.

Khusus untuk ruang bagi masyarakat berpartisipasi, pengalaman pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (2006) menunjukkan betapa luasnya keterlibatan kelompok-kelompok di luar DPR dan pemerintah. Ketika itu, partisipasi masyarakat itu tidak hanya terjadi di sekitar Gedung DPR, tetapi juga di Aceh. Dari catatan yang ada, belum pernah sepanjang sejarahnya proses pembentukan dan pembahasan RUU mendapat perhatian luas masyarakat seperti saat itu (Saldi Isra, 2009: 449-450). Bahkan saat itu terjadi `pertarungan' tiga versi RUU, yaitu RUU yang berasal dari pemerintah, DPR, dan masyarakat.

Dalam batas-batas tertentu, pembahasan RUU KDIY berpotensi mengalahkan ingarbingar pembahasan RUU Pemerintahan Aceh. Bahkan, bila DPR dan masyarakat menawarkan draf lain, pembahasan RUU KDIY akan menjadi lebih menarik.

Setidaknya, sampai sejauh ini telah ada dua RUU KDIY, yaitu draf yang dipersiapkan DPD dan RUU yang disampaikan pemerintah ke DPR, Kamis (16/12) lalu. Sekalipun ingar-bingar yang akan terjadi potensial mengalahkan suasana pembahasan RUU Pemerintahan Aceh, RUU KDIY hanya akan berada dalam isu yang lebih terbatas, yaitu isu pengisian jabatan gubernur.

Sikap DPRD Meski tidak ada RUU dari masyarakat, keinginan (se-bagian) masyarakat Yogyakarta dapat dilacak dari empat sikap politik DPRD.

Pertama, mempertahankan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam bingkai dan sistem pemerintahan Negara Kesatuan RI. Kedua, pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta melalui mekanisme penetapan. Ketiga, Sultan Hamengku Buwono dan Paduka Paku Alam yang bertakhta ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Keempat, mendesak pemerintah dan DPR membentuk dan menyelesai kan RUUK berdasarkan aspek historis, filosofis, yuridis, dan sosiopolitik Yogyakarta.

Dari keempat sikap DPRD Yogyakarta tersebut, sikap kedua dan ketiga menjadi semacam buah simalakama bagi pemerintah. Bagaimanapun, dengan sikap DPRD tersebut pemerintah harus menyiasati ketentuan yang terdapat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan gubernur dipilih secara demokratis.

Bahkan melalui Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004) frasa `dipilih secara demokratis' itu telah dipersempit menjadi pemilihan secara langsung. Sampai sejauh ini, penyempitan makna itu dilakukan sebagai langkah konkret mewujudkan asas kedaulatan rakyat.

Bagaimanapun, bagi pemerintah, menggeser pendulum penyempitan makna Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dari pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD saja tidak mudah dalam hal mencarikan dasar argumentasi, apalagi menggeser secara drastis menjadi model penetapan.

Kesulitan pemerintah menjadi semakin tidak sederhana karena putusan Mahkamah Konstitusi telah meneguhkan pemilihan kepala daerah secara langsung ketika memutuskan dibukanya ruang bagi calon kepala daerah yang berasal dari perseorangan. Dengan putusan MK, peneguhan penyempitan mak na pemilihan kepala daerah menjadi dipilih secara langsung tidak begitu saja dapat die liminasi dengan men ciptakan undang-undang baru. Banyak kalangan percaya, sikap politik DPRD dan tekanan masyarakat Yogyakarta mampu `memaksa' pemerintah untuk meninjau ulang gagasan melakukan pemilihan gubernur secara langsung. Dalam RUU KDIY yang disampaikan ke DPR, pemerintah secara berani melakukan `modifikasi', yaitu pola penetapan dengan melibatkan DPRD.

Boleh jadi, keterlibatan DPRD menjadi cara paling maksimal yang dilakukan pemerintah untuk tetap berada dalam bingkai ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Keistimewaan Sultan Sekiranya dibaca dengan cermat, RUU KDIY memaknai keistimewaan dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu bidang politik, pemerintahan, kebudayaan, dan pertanahan termasuk penataan ruang. Khusus bidang politik dan pemerintahan, RUU KDIY mengakui secara tegas posisi Kesultanan Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sebagai national heritage.

Dalam posisi itu, dengan merujuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, Sultan dan Paku Alam mendapat legal basis yang semakin kuat sesuai dengan makna `Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa'. Dalam posisi itu, Sultan dan Paku Alam dijadikan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama.

Meski diletakkan pada posisi sebagai warisan budaya bangsa dengan kedudukan lebih tinggi, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak hanya diberi ruang untuk hanya hadir sebagai simbolis. Jika Sultan dan Paku Alam berkeinginan terlibat langsung dalam mengelola pemerintahan sehari-hari dengan cara menjadi gubernur dan wakil gubernur, Pasal 20 ayat (6) RUU KDIY secara eksplisit menyatakan, `Dalam hal Sultan
Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertahta menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, DPRD melakukan musyawarah untuk mufakat menetapkan dan mengusulkan kepada Presiden guna disahkan sebagai gubernur dan wakil gubernur'.

Dengan tersedianya ruang bagi Sultan dan Paku Alam menjadi gubernur utama dan wakil gubernur utama sekaligus menjadi gubernur dan wakil gubernur, pemerintah memberi kesempatan lebih besar. Bisa jadi, kesempatan besar seperti itu tidak akan pernah ditemukan dalam negara-negara yang menggunakan monarki konstitusional sekalipun.

Kesempatan luas itu memberikan pilihan kepada Sultan dan Paku Alam untuk menerjemahkan dan sekaligus mengisi makna hakiki keistimewaan yang diakui dan dihormati Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dan yang dibangun dalam RUU KDIY.

Dalam pengertian itu, boleh jadi, pilihan dan sikap politik Sultan dan Paku Alam akan menjadi gambaran bagaimana model penempatan Kesultanan Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sebagai national heritage dalam bingkai Negara Kesatuan RI. Bahkan, begitu istimewanya posisi Sultan dan Paku Alam, RUU KDIY hanya merasa perlu menyatakan hak gubernur utama dan wakil gubernur utama tanpa diikuti dengan kewajiban.

Padahal, dengan logika hukum yang linear, pemberian hak harusnya diikuti dengan kewajiban. Perubahan konstitusi Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan hadirnya gubernur utama dan wakil gubernur utama tidak dikenal dalam UUD 1945. Meskipun demikian, munculnya terminologi baru ini dapatdikatakan semacam kiat pemerintah `menerobos' makna kepala pemerintahan provinsi adalah gubernur.

Dalam hal jabatan itu disebut gubernur, cara pemilihannya dilakukan secara demokratis. Meski demikian, terobosan yang dilakukan pemerintah itu tetapberpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Pertentangan itu dapat terjadi karena keberanian memunculkan jabatan baru (yaitu gubernur utama dan wakil gubernur utama) dan menerima penetapan gubernur sekalipun tetap melibatkan DPRD.

Selain itu, memberikan kesempatan yang tidak sama kepada warga negara berpotensi melanggar konstitusi. Terkait dengan masalah itu, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.

Tidak hanya itu, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juga menegaskan hal serupa, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dengan potensi itu, secara jujur harus diakui, hasil perubahan UUD 1945 belum dapat menampung secara utuh kebutuhan Yogyakarta sebagai sebuah daerah istimewa.

Seharusnya, dari posisi historis dan hak asal-usul yang ada, keberadaan Yogyakarta sebagai daerah istimewa akan lebih baik jika disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945.

Untuk itu, ada baiknya persoalan keistimewaan Yogyakarta dijadikan sebagai momentum untuk melanjutkan perubahan UUD 1945. Jika hal itu dilakukan, keistimewaan Yogyakarta beserta Sultan dan Paku Alam dapat didorong dan dibahas pada level yang lebih tinggi, yaitu perubahan UUD 1945.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/12/20/ArticleHtmls/20_12_2010_014_003.shtml?Mode=0