Oleh Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar sedang berada dalam pertaruhan sesungguhnya. Selain dituntut menuntaskan sejumlah indikasi mega-skandal korupsi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, KPK juga tengah menghadapi “serangan” dan “perlawanan” yang berlangsung secara sistematis dari kalangan eksternal. Bahkan, melihat perlawanan yang terjadi, serangan juga datang dari elit politik yang seharusnya memberikan dukungan nyata dalam desain besar pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Di tengah situasi itu, institusi negara yang mendapat prediket extra-ordinary body dalam agenda pemberantasan korupsi ini sedang berada dalam masa peralihan menuju generasi ketiga. Peralihan ditandai dengan proses seleksi empat orang pimpinan KPK untuk memenuhi lima pimpinan KPK periode berikutnya. Banyak kalangan berpandangan, apabila generasi ketiga gagal melaksanakan misi extra-ordinary yang diamanatkan UU No 30/2002, bukan tidak mungkin KPK akan menambah monumen kegagalan dalam desain besar pemberantasan korupsi di negeri ini.
Titik balik
Jika dibandingkan dengan generasi pertama (2003-2007), hampir selama periode generasi kedua KPK tak ubahnya seperti sebuah kapal retak yang tengah mengarungi samudera luas. Hantaman ganasnya gelombang laut menjadikan KPK oleng menuju tanah tepi. Apabila mau sedikit menoleh ke belakang, situasi itu bermula setelah Ketua KPK Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnain. Padahal, sebelum kejadian itu, dengan segala cacatan, KPK mampu menjamah hampir semua episentrum korupsi yang sebelumnya tabu dilakukan penegak hukum konvensional.
Tak terbantahkan, status tersangka Antasari dan semua “kebisingan” yang mengitarinya menempatkan KPK dalam situasi yang tidak menguntungkan. Meski status hukum tersebut sulit dikaitkan dengan pelaksanaan tugas KPK, kejadian yang menimpa Antasari memberi beban berat bagi KPK. Terkait dengan masalah ini, saya sering mengemukakan bahwa kasus Antasari seperti tiupan angin topan dahsyat bagi KPK. Sekalipun mampu bertahan, energi KPK banyak terkuras untuk terus bertahan menghadapi segala macam serangan dari segala penjuru mata angin.
Seperti memicu titik balik, skandal yang menimpa Antasari dikuti peristiwa pelik lainnya yang tidak kalah hebatnya: pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah dikriminalisasi. Apabila dalam skandal Antasari tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas KPK, kasus yang menimpa Bibit-Chandra terlihat jelas keterkaitan dengan tugas dan wewenang KPK. Dengan basis argumentasi yang sulit diterima akal sehat, polisi menetapkan mereka menjadi tersangka. Status itu dijadikan dasar menonaktifkan Bibit-Chandra. Untungnya, Tim Delapan berhasil menghimpun fakta: tidak cukup bukti menetapkan Bibit-Chandra menjadi tersangka.
Meskipun akhirnya ditutup melalui instrumen deponeering, skandal yang menimpa Bibit-Chandra telah menghabiskan sebagian energi KPK. Yang sulit dicegah, sepanjang pusaran skandal tersebut, KPK kehilangan daya jelajahnya memberantas tindak pidana korupsi. Boleh jadi, apabila masyarakat terlambat memberikan dukungan, hampir dapat dipastikan KPK akan lumpuh secara permanen. Meski begitu, secara faktual, deponeering tetap saja gagal mengembalikan gairah KPK memberantas korupsi.
Beban berat
Dibandingkan dengan beberapa waktu sebelumnya, tahun terakhir generasi kedua dapat disebut sebagai waktu pertaruhan yang sesungguhnya. Pertaruhan itu terjadi karena terdapat tumpukan skandal korupsi yang masih sangat jauh untuk dapat dikatakan selesai. Sebut saja, misalnya, tidak jelasnya arah penyelesaian skandal bailout Bank Century. Padahal, jamak diketahui, penyelesaian skandal Century menjadi batu uji terpenting untuk menilai kemampuan KPK.
Sejauh yang bisa ditelusuri, dalam menuntaskan skandal Century, KPK seperti kehilangan daya jelajah mengendus misteri yang ada di belakang mega-skandal ini. Dalam cara pandang yang lebih optimis, seharusnya KPK bisa bergerak lebih cepat karena telah disediakan bukti-bukti awal dari proses “inventigasi” di DPR. Bahkan, secara terbuka Panitia Khusus DPR telah menyimpulkan bahwa bahwa patut diduga telah terjadi penyimpangan dalam proses pengambilan kebijakan oleh otoritas moneter. Dengan kesimpulan seperti itu, KPK telah memiliki modal awal untuk membuka misteri bailout dan aliran dana dari hulu hingga ke hilir.
Hampir dapat dipastikan, beban di pundak KPK akan semakin berat ketika lilitan skandal yang menempatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin pada posisi sentral menyeruak ke publik. Sebagai sebuah skandal yang bersinggungan langsung dengan partai politik dan elit yang berada di lingkaran dalam kekuasaan, penyelesaian skandal ini secara tuntas bukan pekerjaan sederhana. Kondisi yang sesungguhnya terasa menjadi lebih rumit karena Nazaruddin pernah menyebut ada “kontak” antara dirinya dengan sejumlah petinggi KPK.
Selain itu, KPK masih memiliki sejumlah tunggakan seperti skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sejauh ini, kasus tersebut benar-benar merusak logika hukum karena pada salah satu sisi mayoritas penerima suap telah menjalani hukum. Sementara itu di sisi lain, pemberi suap masih berselubung misteri. Catatan yang ada itu masih bisa ditambah dengan kasus Pelelawan dan kasus hibah kereta api dari Jepang. Bagaimanapun, penyelesaian yang tidak berujung tersebut telah mengurangi optimisme publik atas KPK.
Dukungan
Dengan status istimewa yang diberikan UU No 30/2002, KPK mampu keluar dari himpitan beban berat yang mendera tersebut. Prasyarat mendasar yang diperlukan adalah dukungan politik dari publik dan pemegang otoritas politik. Sejauh ini, dukungan publik tidak pernah padam pada KPK. Bahkan, tanpa dukungan publik, boleh jadi KPK telah lama berkalang tanah. Sangat disayangkan dukungan serupa nyaris tidak muncul dari pemegang otoritas politik. Salah satu bukti nyata yang sulit dimentahkan, sebagian kekuatan politik di DPR cenderung merong-rong KPK.
Fakta saat ini yang menguatkan kecenderungan tersebut adalah penolakan secara terbuka atas putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan masa jabatan Busyro Muqoddas sampai tahun 2014. Adanya suara yang menghendaki agar pemerintah tetap mengajukan 10 orang calon pimpinan untuk fit and proper test menjadi bukti kuatnya resistensi DPR terhadap KPK. Sekiranya hendak memberikan dukungan, segala perdebatan yang berpotensi kontraproduktif dengan masa depan KPK harus dihentikan.
Salah satu bentuk perdebatan yang dapat dikatakan tidak produktif dengan masa depan lembaga extra-ordinary ini adalah masih tetap mempertahankan pendapat bahwa KPK harus diisi unsur lembaga penegak hukum konvensional (baca: polisi dan jaksa). Selain pandangan tersebut tidak sejalan dengan semangat UU No 30/2002, yang diperlukan untuk menjawab beban berat KPK adalah mencari calon pimpinan yang tidak akan menambah beban KPK. Jika kehadiran pimpinan memberatkan, tumpukkan beban berat tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Karenanya, ketika kita menuntut menyelesaikan semua tunggakan megaskandal yang ada, dukungan politik harus dialirkan ke KPK. Banyak kalangan percaya, aliran tersebut akan menjadi energi dahsyat sekiranya KPK dikelolala oleh pimpinan dengan integritas yang tidak diragukan. Tanpa itu, tumpukkan skandal korupsi akan menggilas dan mengubur masa depan KPK.